Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa lalu Toni, Andi dan Sinta
Sore itu, Toni berdiri dan maju kedepan 'interogasi' Pak Arkan sambil membawa catatan kecil dan ekspresi serius, seolah ia sedang bersiap debat capres.
"Silakan duduk, Tuan Toni. Hari ini bukan debat, tenang saja," canda Pak Arkan.
Toni duduk rapi. "Baik, Pak. Tapi izinkan saya menyampaikan data terlebih dahulu."
"Toni... cerita masa lalu aja cukup, ini bukan forum legislatif," ujar Arkan sambil menahan tawa.
Toni terkekeh. "Baik, Pak. Masa kecil saya itu... unik. Saya suka pidato sejak TK. Tapi anehnya, tema pidato pertama saya adalah soal harga kacang tanah. Saya berdiri di atas bangku, memegang penggaris sebagai mikrofon dan berteriak, 'Jika harga kacang naik, siapa yang akan bertanggung jawab?!'"
Pak Arkan tertawa keras. "Kamu... kampanye kacang sejak dini, ya?"
Toni mengangguk. "Sampai ibu saya malu dan menarik saya pulang dari pentas TK karena saya menuduh tempe naik karena konspirasi antar RT."
Suasana penuh tawa.
"Lalu, masa lalu kelam kamu gimana, Toni?" tanya Pak Arkan setelah suasana reda.
Toni menarik napas. "Saya kehilangan ayah saat SMP, Pak. Bukan meninggal, tapi beliau pergi meninggalkan keluarga kami tanpa kabar. Saya, ibu, dan adik saya harus bertahan sendiri. Sejak itu saya jadi ingin mengerti dunia hukum dan politik, agar tidak ada anak lain yang ditinggalkan tanpa perlindungan hukum. Saya sempat hampir putus sekolah karena biaya."
Arkan terdiam sejenak. "Kamu selalu tampak kuat dan lucu di luar, Toni. Tapi saya tahu, kamu menyimpan sesuatu."
Toni tersenyum. "Kekuatan itu datang karena saya belajar menyampaikan keresahan dengan cara konyol. Dulu saya kesepian, Pak. Tapi sekarang saya punya kalian semua."
Tiba-tiba dari luar terdengar suara Jaka, "Toni! Jangan-jangan kamu agen kacang global!"
"Diam, Jaka! Itu rahasia negara!" balas Toni dengan gaya agen rahasia.
Semua tertawa keras. Pak Arkan menepuk pundak Toni.
"Teruslah bicara, Toni. Suaramu penting. Baik untuk perubahan, maupun untuk membuat kita tertawa."
Toni berdiri dari bangku interogasi sambil menyalami teman-temannya. Reza mengangkat kamera dan berkata, "Kita bikin vlog investigasi soal mafia tempe dan kacang yuk!"
Toni menjawab dengan gaya dramatis, "Demi rakyat kecil dan nasi pecel yang terjangkau, ayo kita ungkap semua!"
...----------------...
Setelah gelombang tawa dari cerita Toni mereda, Pak Arkan memanggil nama berikutnya.
"Andi, giliran kamu. Ceritakan masa lalu dan... tolong jangan bawa zat kimia ke ruang ini," kata Arkan sambil melirik tas Andi.
Andi terkekeh saat duduk. "Saya bawa ini, Pak," ujarnya sambil mengeluarkan sebotol kecil air garam.
"Jangan-jangan kamu mau eksperimen soal air mata," canda Pak Arkan.
Andi mengangguk bangga. "Tepat sekali, Pak. Saya mau tunjukkan kadar elektrolit dari air mata masa lalu."
Semua di ruangan tertawa.
"Oke, lanjutkan, Profesor Andi. Ceritakan masa kecilmu."
Andi mulai bercerita. "Saya anak tunggal, Pak. Ayah saya tukang tambal ban, ibu saya jual gorengan. Dari kecil saya suka utak-atik bumbu dapur, bukan buat masak, tapi buat eksperimen."
"Maksudnya?" tanya Arkan heran.
"Saya pernah coba bikin roket dari soda dan cabai bubuk. Yang ada, dapur terbakar kecil, dan ibu saya ngira ada jin."
Suasana kembali pecah oleh tawa.
"Lalu masa kelammu?"
Andi menarik napas. "Saya sering di-bully waktu SD. Dibilang aneh karena suka belajar sendirian di belakang kelas, bawa botol-botol aneh. Pernah satu sekolah dikosongkan karena saya bawa 'asap misterius', padahal cuma cuka dan baking soda. Tapi karena itu saya jadi makin penasaran dan makin cinta ilmu kimia."
Pak Arkan tersenyum haru. "Dan sekarang kamu yang ngajarin teman-temanmu tentang reaksi. Bukan cuma reaksi kimia, tapi reaksi semangat."
"Saya cuma pengen buktiin, Pak, bahwa orang aneh juga bisa sukses," ujar Andi sambil mengangkat botol kecilnya.
Tiba-tiba Reza berteriak dari luar ruangan, "Andi! Kamu yang bikin nasi goreng di kantin meledak kemarin, ya?!"
"Itu uji coba reaksi nasi dengan MSG dosis tinggi!" balas Andi penuh percaya diri.
Toni menimpali, "Andi itu, kalau dikasih lab sendiri, bisa bikin pesawat dari tepung!"
Suasana jadi kacau lagi dengan tawa. Pak Arkan menggeleng, "Kalau gini terus, saya harus tulis laporan: sekolah ini penuh ilmuwan gila. Tapi yang saya tahu pasti, kalian luar biasa."
Andi tersenyum lebar. "Terima kasih, Pak. Suatu hari nanti saya ingin punya laboratorium sendiri, dan meneliti cara membuat energi murah dari singkong."
"Mimpi yang luar biasa. Dan dengan semangat kamu, saya yakin itu akan jadi kenyataan," ujar Pak Arkan penuh bangga.
...----------------...
Pak Arkan menghela napas panjang, memandangi daftar nama yang hampir selesai.
"Sinta, kamu yang terakhir. Ceritakan apa yang membuatmu jadi sehebat sekarang."
Sinta bangkit dari duduknya, membawa penggaris panjang dan kalkulator, lalu duduk di depan Arkan seperti seorang guru siap mengajar.
"Bapak, saya nggak yakin cerita saya menarik... tapi baiklah. Saya lahir di keluarga yang sederhana. Ayah saya sopir angkot, ibu saya penjahit. Tapi dari kecil, saya senang menghitung apa pun. Bahkan jumlah lipatan baju ibu saya atau uang kembalian pelanggan ayah."
"Wah, calon auditor sejak kecil," celetuk Deri.
"Lebih tepatnya... calon penemu metode hitung cepat versi konyol," ujar Sinta, membuat semua tertawa.
"Apa yang membuatmu begitu kuat dalam matematika?" tanya Arkan.
"Waktu kecil saya sering diejek anak-anak komplek karena pakai seragam tambal dan sepatu bolong. Saya nggak punya banyak teman. Tapi guru SD saya bilang, 'Sinta, kamu bisa bikin dunia takluk dengan logika'. Kata-kata itu saya bawa sampai sekarang."
Sinta menunduk sejenak. "Tapi yang paling sulit bukan ejekan itu... tapi saat ibu saya sakit keras waktu saya SMP. Saya harus bantu jahit baju tetangga, jual gorengan keliling, dan tetap belajar malam-malam. Sering saya tidur sambil peluk kalkulator."
"Bisa dibilang... kamu memeluk masa depanmu sejak dini," gumam Arkan, tersentuh.
"Iya Pak, dan sekarang saya pengen jadi arsitek. Saya ingin bangun sekolah gratis, rumah baca, tempat les. Dan semoga... kalau Tuhan izinkan... semua anak bisa punya masa kecil yang lebih bahagia daripada saya."
Tiba-tiba Reza mengangkat tangan. "Saya usul! Sinta harus jadi Menteri Pendidikan 2035!"
"Setuju!" seru yang lain serempak.
Toni menimpali, "Asal jangan suruh kita hafalin rumus sambil lari pagi."
Sinta tertawa. "Tenang aja. Rumus bisa dihitung, tapi kenangan indah tak bisa. Dan kalian semua bagian dari kenangan terbaikku."
Pak Arkan berdiri dan mengangkat tangannya. "Selesai sudah sesi curhat kilat kita. Terima kasih semuanya, kalian membuat saya bangga. Dan lebih dari itu... kalian membuat saya percaya bahwa masa depan Indonesia aman di tangan kalian."
Saat pak Arkan melangkah keluar kelas mereka berteriak. "wah.. Curang pak Arkan ngak cerita masa lalunya juga."
Arkan membalikan badanya menatap mereka semua. "apa !!!" teriak Arkan gugup.