Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 | Jus Guava
Terlalu malu jika berlamaan di sana, apalagi ia menyadari pandangan Karin dan teman-temannya menajam, Fara memilih segera masuk ke dalam gedung.
Ia malu bukan main. Bukan hanya karena ada banyak yang melihat, tetapi juga karena perkataan Yuto tadi.
"Memang lagi pengen ke kantor sama Fara, Pak," ulang Fara mengikuti nada santai Yuto tadi, sambil terus melangkah terburu-buru menuju ruang tim ekspor. “Apa maksudnya Bang Yuto ngomong kek gitu?”
Ia berpikir keras, mencoba menemukan jawaban yang paling masuk akal. Berdasarkan drama-drama korea yang selama ini ia tonton, jawaban yang paling masuk akal tentu karena tertarik padanya.
Langsung menggeleng kencang dia.
“Nggak tahu diri kali otakku ini. Mana mungkin Bang Yuto suka sama aku.” Malah mengomel sama dirinya sendiri.
“Kenapa nggak mungkin?”
Fara terperanjat saat mendengar suara itu. Ia spontan menoleh ke belakang dan betapa kagetnya dia saat mendapati Endah sedang berdiri di sana, tersenyum ramah padanya.
“Bu…” sapanya sopan.
Masih dengan senyumnya, Endah mengangguk singkat lalu melangkah mendekat. Endah sentuh pundak Fara, lalu berbisik, “Mulai sekarang coba lebih fokus, biar Fara bisa semakin yakin, apa sebenarnya maksud dari semua perhatian Abang Yuto.”
Setelah menepuk pundaknya sekali, barulah Endah melangkah pergi, meninggalkan Fara yang berdiri kikuk di koridor.
Memikirkan ulang perkataan Endah, merinding sekujur tubuhnya. Ia juga tersentak lagi saat melihat sosok Yuto bersama Pak Andi baru saja melangkah di ujung koridor sana, tentu saja menujunya. Terlalu malu bertemu, Fara buru-buru kembali melangkah lalu segera masuk ke dalam ruangan mereka, dan menemukan Bu Lia, Sisi, dan Imah sudah berada di dalam sana.
“Heh, kenapa? Kok kayak dikejar setan?” tegur Sisi, tak biasanya melihat Fara terburu-buru seperti itu, didukung pula raut wajahnya yang tampak takut.
“Gapapa, Kak,” jawabnya pelan, segera duduk di kursinya.
Baru saja duduk, belum juga menarik napas, pintu ruangan terbuka dan tampaklah Yuto dan Pak Andi yang melangkah masuk. Fara tak berniat menoleh, masih malu kali.
Tapi… ia mendadak merasakan punggungnya menghangat. Saat hendak menoleh, saat itulah suara Yuto terdengar, “Mana nasi goreng buat abang?”
Lembut kali suaranya…
Mana suaranya terdengar sangat dekat dengan telinganya. Ia bisa menebak, kemungkinan Yuto membungkuk di belakangnya dan bertanya langsung di belakang telinganya—ternyata apa yang ia tebak sesuai dengan kenyataan. Yuto memang melakukan itu dan sikapnya itu membuat semua staf di ruangan itu mengulum bibir untuk menahan senyum. Belum lagi melihat raut gugup dan malu di wajah tembam Fara, menggemaskan kali.
Tak jadi menoleh ke belakang, Fara lekas membuka ranselnya, meraih salah satu bekal yang ia siapkan pagi tadi, lalu tanpa menoleh ia arahkan ke belakang bahunya.
Yuto diam sesaat, tak suka Fara nggak melihat ke arahnya, tetapi ia mencoba menerimanya karena tahu Fara sedang malu padanya.
Ia terima bekal itu. “Makasih, ya…” ucapnya, tanpa ragu menepuk pelan dua kali puncak kepala Fara yang ia akhiri dengan usapan lembut.
Membesar mata Fara saat merasakan sentuhan itu.
Ia bahkan tak bisa mengingat kapan terakhir kali orang tuanya melakukan itu padanya. Sewaktu ia masih kecil? Mungkin.
“Yang lain udah sarapan?” tanya Yuto setelah duduk di kursi kerjanya.
“Udah, Pak…” jawab yang lain, kecuali Fara—karena masih merenung memikirkan perlakuan Yuto barusan.
“Fara udah sarapan apa belum?” tanya Yuto setelah itu, tetapi Fara masih diam, matanya terpaku pada layar monitor yang belum menyala.
“Fara?” tegur Yuto lagi, tetapi Fara masih diam, terlalu larut dalam pikirannya.
Semua staf sudah menoleh padanya, bahkan Sisi terpaksa menyenggol lengannya yang kemudian barulah Fara mengerjap pelan lalu mendapati seisi ruangan sedang melihat ke arahnya.
“K-kenapa?” tanyanya, memandang bingung ke arah mereka, dan melihat mereka mengarahkan padangan menuju Yuto. Langsung saja Fara menoleh ke Yuto dan tampaklah olehnya, Yuto sedang menatapnya dengan sorot teduh seperti biasanya. Tapi ia bingung, kenapa Yuto menatapnya.
“Kenapa, Bang? Eh, Pak?” Ia bertanya lagi, jelas kali terdengar gugup.
Yuto tersenyum lagi dan kembali bertanya, “Abang tanya, Fara udah sarapan?”
Ruangan menjadi hening. Tanpa sadar, Bu Lia, Pak Andi, Sisi, dan Imah, ikut diam menunggu Fara menjawab.
Fara yang masih saja gugup pun menjawab, “Belum, Pak.”
Yuto mengangguk pelan. “Kalau gitu makan dulu,” balasnya.
Fara juga mengangguk, tapi tampak kikuk dan bagi mereka semua itu sangat menggemaskan. Pak Andi sampai harus menutup mulutnya dengan tangan agar tawanya tidak pecah.
Dan yang membuat mereka semakin gemas, karena mereka yakin, Fara belum menyadari maksud dari perhatian yang Bos mereka berikan padanya.
Namun perhatian Yuto tidak berhenti di situ saja.
Saat ia mulai menyantap nasi goreng buatan Fara, dengan santainya ia mengatakan, “Hmm, ini sesuai dengan selera abang.”
Dan saat ia melihat Fara juga mulai menyantap miliknya, Yuto dengan sigap melangkah keluar dari ruangan. Cukup mengagetkan mereka semua karena Yuto pergi tidak mengatakan apapun—dan tanpa mereka ketahui, Yuto masuk ke ruangan Yuki lalu membuka lemari es di dalam ruangan itu.
“Om, minta minumannya dua, ya,” katanya, mengamati sejenak minuman apa saja yang ada di dalam kulkas itu, lalu pilihannya jatuh ke dua kotak jus guava. Setelah itu, dengan senyum puas Yuto kembali ke ruangannya.
Seisi ruangan langsung tertuju padanya saat melihatnya melangkah dengan santai, masih ada senyuman pula, terlihat melepaskan sedotan dari plastik lalu menancapkan sedotan pada kotak jus itu. Barulah kemudian Yuto letakkan jus itu di atas meja Fara, tepat di depan bekal yang sedang Fara santap.
Mulut Fara berhenti mengunyah tepat saat Yuto melakukan itu.
Dengan pipinya yang masih menggembung—karena baru saja memasukkan satu potong utuh bakwan—Fara menoleh kaku kea rah Yuto yang sudah kembali ke kursinya.
“Diminum.” Hanya itu yang Yuto katakan padanya.
Langsung hilang nafsu makannya.
Siang harinya, Yuto dan Pak Andi tampak keluar, bergabung bersama karyawan laki-laki lainnya untuk salat jumat di masjid terdekat. Begitu ruangan mereka ditinggal sementara oleh bos mereka itu, Sisi, Imah, dan Bu Lia pun langsung menggoda Fara.
“Sihi… yang lagi dideketin Pak Yuto nih ye…” goda Bu Lia, sambil mengetik.
“Perhatian Pak Yuto patut diacungi jempol, sih. Soalnya cowokku malah nggak pernah seperhatian itu,” sahut Imah.
Bu Lia mengangguk senasib. “Betul kali. Suami ibu pun nggak pernah kek gitu. Bukan dia yang ambilkan minum, tapi ibu.”
Sisi tertawa. “Berarti saya masih ada harapan dapetin cowok sebagik Pak Yuto, ya…” Karena dia masih jomblo.
“Ya, semoga,” balas Imah. “Tapi jangan banyak kali milik. Banyak kali milih, malah habis stok laki karena udah kau tolak.”
Sisi tersinggung. “Lah, justru karena untuk seumur hidup ya harus dipilih. Kita nyetir mobil, kalau teman di sebelah nggak asik, pasti bakalan ngantuk. Itu untuk yang beberapa jam aja. Sedangkan suami untuk seumur hidup. Bayangin kalau dapat suami yang nggak asik dan harus bertahan seumur hidup.”
Imah pun kehilangan kata-kata dan Bu Lia tak berniat menyela.
“Kau beruntung kali, Dek, didekati Pak Yuto,” lanjut Sisi, tertuju kepada Fara. “Lihat sekilas aja kakak udah yakin dia orangnya baik. Atau lihat ajalah keluarganya. Pak Rio, Pak Yuki, semuanya keliahatan sopan kali. Pak Yuki lah contohnya. Ganteng kali loh itu, banyak yang suka di sini, tapi mana pernah jelalatan sama cewek lain, padahal karyawan cewek kita kan lumayan loh. Tetap aja setia sama Bu Endah.”
“Kakak ngomong apa sih? Didekati apa?” tanya Fara, masih tidak bisa menerima kenyataan itu. “Bukan deketin loh, Kak… Pak Yuto itu memang kek gitu orangnya. Perhatian.”
Imah tertawa. “Dek… dek. Dari cara dia tatap kau aja udah beda loh, Dek. Apalagi tadi, jelas-jelas dia keluar cuma untuk ambil jus. Beuh, kurang jelas apa itu?”
Bu Lia menambahkan. “Nikmati aja dulu, Dek. Nanti lama-kelamaan, tanpa sadar, adek malah rindu sama perhatiannya. Kalau udah kayak gitu, berate adek juga suka. Simpel kali, kan?”
Fara terdiam sejenak, menatap meja kerjanya dengan pandangan kosong. Komentar-komentar dari Bu Lia, Imah, dan Sisi membuatnya merasa canggung dan sedikit risih. Dia nggak terbiasa dengan pembicaraan seperti ini, terutama yang membahas tentang perasaan dan hubungan asmara.
Ia memang menyadari perlakuan Yuto mulai terasa berbeda, tapi ia selalu berusaha untuk menganggapnya sebagai bentuk kebaikan dan perhatian biasa. Ia selalu berusaha untuk tidak berpikir lebih jauh, karena takut salah paham dan takut jika perasaannya salah.
Lagi pula, ini baru hari ketiga mereka kembali bertemu.
.
.
.
.
.
Continued...