Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 31 — Dendam Tersembunyi
"Kamu? Kamu kok ada di sini?!" tanya Zara dengan heran tatkala melihat kehadiran Davira di kediaman keluarga Danishwara.
"Kamu sudah kenal sama menantuku, Za?" tanya Karina dengan ramah. Ia sama sekali tak tahu menahu dengan hubungan mereka sebelumnya.
Kening Zara berkerut dalam sementara Davira masih tak percaya bahwa dunia bisa sesempit itu mempertemukan mantan calon ibu mertuanya di rumah mertua barunya sekarang.
"Menantu? Perempuan mandul yang sial ini adalah menantumu, Karina? Kamu bercanda, ya?" cibir Zara sambil menatap Davira dengan hina.
Ucapan Zara yang menusuk itu sukses membuat beberapa ibu-ibu mulai berbisik-bisik, siap menabuh gosip dan menyebarkannya ke segala penjuru media.
Karina mulai berang dengan hinaan Zara terhadap Davira. "Jaga bicaramu, Zara!" sentak Karina merasa tak terima.
"Ma, sabar. Jangan marah." Davira mengingatkan dengan lembut. Hatinya sungguh teriris sembilu, namun ia masih berusaha bersikap tenang. Emosi hanya akan membawa masalah kian rumit.
"Benarkah yang dikatakan Jeng Zara itu?" tanya salah seorang di antara mereka, mulai mengorek kebenaran demi gosip.
Karina menatapnya tajam, "Bukan urusanmu!" Kemudian kembali berbalik kepada Zara yang masih menatap Davira dengan tatapan meremehkan.
"Sebaiknya kamu pergi dari sini, Zara. Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan menantuku sebelumnya atau ada masalah apa kamu dengan menantuku. Aku tidak peduli."
Zara mematung, tak pernah ia melihat Karina setegas itu dalam berucap. "A-aku, aku hanya bicara fakta sa—"
"Diam! Aku tidak mau dengar apapun lagi dari mulut kotormu itu, Zara! Jangan sekalipun kamu menghina menantuku lagi. Jangan sampai aku marah dan memutuskan hubunganmu denganmu."
"Karina, dengarkan aku dulu. Aku hanya—"
"Sudah cukup!" potong Karina sedikit berteriak. Ia menatap kesemua perempuan yang diundangnya itu dengan geram. "Kalian semua sebaiknya dengar ini baik-baik!"
Tujuh perempuan yang datang bertamu itu tampak tegang, melihat Karina yang murka berhasil membuat mereka ketakutan. Pasalnya, selama ini, Karina yang mereka kenal sangatlah ramah dan tak pernah menunjukkan sisi marahnya seperti sekarang.
Davira pun baru pertama kali melihat aura kemarahan dari Karina. Tapi diam-diam, ia juga merasa senang karena telah dibela. Ujung nata Davira melirik Zara yang kini tampak gemetar ketakutan.
"Apapun pandangan kalian terhadap menantuku sekarang, keluarga kami memiliki nilai-nilai luhur yang tak akan bisa kalian pahami. Kalian mungkin berpikir kenapa aku memilih menantu yang sederhana seperti Davira dan bukannya perempuan dengan kasta yang sama."
Davira dan semua ibu-ibu yang berada di sana turut mendengarkan dengan seksama. Apapun yang akan Karina katakan, pastilah akan mengubah cara pandang mereka.
"Kami tidak mencari menantu demi status sosial seperti yang kalian lakukan. Dan putraku menikahinya bukan karena untuk mendapatkan ketenaran seperti yang anak-anak kalian lakukan. Apalah artinya status dibanding dengan kebahagiaan keluarga?"
Karina beralih menatap Zara yang kini menunduk dalam, Zara selalu mengagungkan status sosial yang keluarganya miliki tanpa memedulikan arti kebahagiaan itu sendiri.
"Tadi apa katamu, Zara? Menantuku adalah perempuan mandul yang sial? Cih!" Karina membuang muka ke samping, merasa muak melihat teman sosialita yang selalu meninggikan status sosial keluarganya itu.
"Aku tidak pernah melihat ada perempuan yang lisannya begitu busuk sepertimu, Zara. Kenapa aku baru menyadari hal ini sekarang, ya?" cibir Karina, membalas hinaan Zara terhadap menantunya tadi.
"Menantuku bukanlah perempuan sial. Memangnya kenapa jika menantuku tak bisa hamil? Putraku tidak menikahinya demi mendapatkan keturunan. Putraku menikahi perempuan baik-baik ini atas dasar cinta."
Zara terdiam seribu bahasa, semua yang dikatakan Karina berhasil membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
"Tapi bukankah sebelumnya putramu menikah karena dasar status sosial, Karina?" tanya salah seorang memberanikan diri.
Karina menatapnya dengan tegas. "Benar dan aku sangat menyesalinya. Pernikahan putraku hancur dan kehidupan cucuku juga hancur. Maka dari itu aku tidak lagi menjadikan status sosial sebagai patokan pernikahan."
Perempuan itu juga terdiam, sebagai sosialita kelas atas, mereka selalu dituntut untuk sempurna demi status sosial keluarga. Bahkan begitu pula dengan pernikahan yang mereka jalani. Bahkan anak-anak mereka tak luput menjadi barang demi status sosial itu.
Davira kian terharu, perkataan Karina barusan juga nyatanya berhasil mengubah sedikit perspektif Davira terhadap orang-orang kaya yang hanya mengejar strata sosial. Ternyata, masih ada keluarga kaya yang mementingkan kesederhanaan dan nilai diri.
"Aku merasa sebaiknya kita mulai mengubah pola pikir kita dari sekarang," ucap Karina setelah terdiam selama beberapa saat. Memandang Davira, ia tersenyum lembut dan meraih kedua tangan menantunya.
"Ada hal-hal yang semestinya kita pegang, yaitu nilai diri yang sesungguhnya tidak dinilai dari seberapa tinggi status sosial yang kita miliki. Karena nyatanya kesederhanaan seseorang bisa membawa kebahagiaan yang paling sempurna."
Davira tersenyum haru saat Karina tanpa malu memeluknya di hadapan semua teman-teman sosialita-nya itu. Sedangkan Zara terdiam seribu bahasa, menatap kesal ke arah Davira yang entah bagaimana bisa menjadi menantu keluarga Danishwara yang terkenal.
•••
"Lagi-lagi kau membuatku malu!" omel pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Lauren dengan murka dan penuh kekesalan.
Bagaimana tidak kesal, di sela-sela kesibukannya untuk mencari investor, istrinya itu malah membuat ulah yang mengharuskannya mengeluarkan banyak uang untuk menebus Lauren dari balik jeruji besi.
"Aku hanya ingin anakku!" seru Lauren tak terima dipermalukan dengan cara seperti itu.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Lauren. Rasa panas dan nyeri langsung menyerang pipinya, tamparan itu meninggalkan bekas kemerahan di pipinya yang putih mulus.
Memegangi pipinya yang teras panas, Lauren menunduk sambil merasakan nyeri. Semakin hari, suaminya semakin berani berlaku kasar terhadapnya.
"Sekali lagi kau bersikap bodoh seperti itu, aku tidak akan segan-segan untuk mengurungmu di rumah!" seru pria itu, masih merasa kesal dengan sikap Lauren yang menurutnya semakin tidak tahu diri.
Lauren tak berkata apa-apa, ia hanya bisa menundukkan kepala, merasakan nyeri dan panas yang menjalar ke pipinya. Bukan hanya pipi, bahkan hatinya pun terluka dengan sikap kasar suaminya.
Meski begitu, Lauren masih belum sadar juga. Dalam hati ia berjanji akan membalaskan dendamnya kepada Kavindra dan juga keluarganya. Karena merekalah yang membuatnya berada dalam kondisi seperti ini.
"Lihat saja nanti, Kavindra. Aku pasti akan membuatmu hancur!" janjinya penuh dendam. "Aku tidak akan pernah membuatmu bahagia sampai kapanpun!"