Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
Di perbatasan antara Buleleng Barat dan Jembrana, sekelompok orang bersembunyi di balik dahan pohon yang rimbun. Mereka mengenakan jubah berwarna gelap yang menyatu sempurna dengan bayangan pekat yang ditimbulkan oleh dedaunan. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah dan daun kering, menambah kesan misterius di sekitar mereka.
Orang-orang ini sedang dalam misi pengintaian untuk mengonfirmasi laporan warga tentang gerak-gerik mencurigakan di wilayah tersebut. Kekhawatiran utama mereka adalah kemungkinan adanya penjarah dari Jembrana yang berusaha mencuri ayam-ayam ternak milik warga Buleleng Barat. Ketegangan terasa menggantung di udara, seolah alam sendiri sedang menahan napas saat menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah berjam-jam bersiaga di atas pohon, akhirnya sebuah pergerakan tertangkap oleh mereka. Suara gemerisik dedaunan dan langkah kaki yang hati-hati mulai terdengar samar.
"Azmi, mereka mendekat!" Bisik salah satu anggota pasukan pengintai nyaris tidak terdengar. Matanya tak lepas dari sekelompok bayangan yang bergerak perlahan di bawah mereka.
Azmi, pemimpin mereka, mengangkat tangan dengan gerakan halus, memberikan isyarat kepada para pemanah di belakangnya untuk bersiap. Jantung mereka berdegup kencang saat membidik para penjarah yang sedang berjalan mendekat. Perlahan-lahan, para penjarah mulai terlihat jelas. Mereka terlihat membawa senjata tajam serta crossbow rakitan. Wajah-wajah mereka terlihat begitu waspada terhadap lingkungan sekitarnya.
Awalnya, para penjarah itu tidak menyadari keberadaan pasukan Azmi yang bersembunyi di atas pohon. Namun, tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh ke atas. Matanya membelalak saat melihat siluet manusia di antara dedaunan.
"ADA PEMANAH DI ATAS POHON!" Teriaknya histeris memecah kesunyian malam.
Namun, segalanya sudah terlambat. Para penjarah itu sudah berada dalam jarak tembak yang mematikan. Sebelum mereka sempat bergerak, tangan Azmi sudah melambai ke bawah sebagai isyarat untuk menembak.
Swoosh!
Belasan anak panah melesat dengan kecepatan yang mengerikan, menembus udara dingin yang menusuk. Suara teriak kesakitan para penjarah itu seketika mengisi kesunyian hutan di malam hari. Beberapa penjarah langsung roboh, sementara yang lain berusaha melarikan diri dengan anak panah tertancap di tubuh.
Namun, Azmi tidak memberikan mereka kesempatan. Tangannya kembali terangkat, memberikan isyarat untuk tembakan kedua. Kali ini, panah-panah itu menghujam dengan akurasi yang mengerikan.
Suara teriakan para penjarah itu semakin berkurang sedikit demi sedikit, sebagai tanda bahwa satu per satu dari mereka telah tewas. Hanya satu penjarah yang masih bertahan, tubuhnya terkapar dengan anak panah menancap di bahu dan kaki.
Dengan gerakan gesit, Azmi dan pasukannya melompat turun dari pohon. Mereka melangkah pelan namun penuh intimidasi, seolah setiap menegaskan siapa yang berkuasa di situasi ini. Azmi mendekati penjarah yang masih hidup itu. Tatapan matanya seolah-olah sedang mengamati kondisi dari pemuda yang terkapar ketakutan di hadapannya.
"Lukamu tidak fatal," ujarnya dengan suara dingin. "Kau hanya terkena panah di bahu dan kaki. Seseorang tidak akan mati dengan mudah hanya karena ini."
Penjarah itu hanya bisa mengerang, wajahnya dipenuhi rasa sakit dan ketakutan. Azmi memandanginya sejenak sebelum berbalik ke arah pasukannya.
"Bawa dia ke desa," perintahnya dengan suara tegas. "Dia akan menjadi sumber informasi kita."
...***...
Para warga desa memandang dengan tatapan ngeri saat melihat pemuda yang dibawa oleh Azmi dan pasukannya. Sejak dibawa keluar dari hutan, pemuda itu terus mengerang kesakitan. Darah segar menetes dari lukanya, meninggalkan jejak merah yang mengalir di sepanjang jalan aspal yang mereka lalui. Setiap langkahnya diiringi oleh erangan yang memilukan, membuat beberapa warga menutup telinga serta memalingkan muka.
"BUNUH AKU, BUNUH SAJA AKU! SAKIT SEKALI!" Teriak pemuda itu dengan suara yang putus asa, memohon untuk diakhiri penderitaannya.
Salah satu prajurit Azmi mengerutkan keningnya karena merasa jengkel.
"Azmi, orang ini terlalu berisik! Haruskah kita melakukan sesuatu agar dia diam?" Tanyanya dengan suara yang terdengar kesal.
Azmi, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti. Langkahnya yang tegas membuat seluruh pasukan ikut berhenti. Ia berbalik dengan wajah yang dingin dan sedikit kesal. Tanpa berkata-kata, ia menghampiri tawanannya yang terus mengerang itu.
BUAK!
Azmi menghantam wajah pemuda itu dengan satu pukulan keras. Suara pukulannya menggema dengan keras dan tubuh pemuda itu langsung pingsan seketika. Suara erangan itu pun berhenti, digantikan oleh keheningan yang datang tiba-tiba.
"Hah..." Azmi menghela napas panjang yang mewakili rasa kesalnya. "Akhirnya, sedikit ketenangan untuk kita semua." Ujarnya dengan nada datar, seolah baru saja menyelesaikan tugas kecil yang menjengkelkan.
"Harusnya kau lakukan itu lebih awal." Celetuk sarkas salah satu prajurit yang membopong tubuh tawanannya itu.
Tiba-tiba, dari ujung jalan di arah timur, terlihat seorang penunggang kuda yang mendekat dengan cepat.
Penunggang kuda itu melambaikan tangan kanannya dengan gerakan yang khas, sebagai tanda bahwa ia bukan ancaman. Seketika, Azmi dan pasukannya yang melihat isyarat tangan itu pun menyadari bahwa penunggang kuda di hadapan mereka adalah salah satu prajurit Monasphatika milik Indra.
Azmi mengangkat tangannya dengan isyarat yang sama, sebagai tanda bahwa situasi di antara mereka sudah aman.
Penunggang kuda itu segera menghentikan kudanya di depan Azmi dan turun dengan gesit. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tetapi ia tetap menunjukkan sikap yang profesional.
"Selamat pagi, Azmi." Ucapnya sambil menawarkan jabat tangan.
"Selamat pagi. Kau dari Monasphatika?" Tanya Azmi sambil menjabat tangan pemuda itu.
"Iya, ini surat dari Indra. Dia baru saja pulang dari Denpasar kemarin sore." Jawab si prajurit sambil mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya.
Azmi mengambil surat itu dan membacanya dengan cepat. Matanya menyapu setiap kata yang tertulis, lalu ia mengangguk pelan. "Dia bilang akan berkunjung kesini sehari sejak surat ini diantarkan. Itu artinya ia akan datang besok." Gumam Azmi.
Dengan senyum ramah, Azmi menepuk bahu prajurit itu. "Baiklah, kalau begitu, ayo sarapan bersama kami! Kau pasti kelelahan setelah perjalanan jauh."
Prajurit Monasphatika itu tersenyum sungkan. "Ah, ngga apa-apa, mereka sudah membekaliku dengan beberapa kentang rebus dan air. Aku bisa memakannya saat perjalanan pulang."
Azmi menggeleng, wajahnya menunjukkan sikap tegas. "Ayolah, nggak usah sungkan. Indra bilang di surat ini untuk memberimu makanan dan tempat beristirahat sampai dia datang." Ujarnya sambil menunjukkan paragraf terakhir surat itu.
Akhirnya, prajurit itu pun mengalah. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Azmi."
...***...
Seperti yang tertulis dalam suratnya, Indra tiba di Buleleng Barat tepat sehari setelah Azmi menerima kabar tersebut. Sore itu, ia datang dengan menunggangi kuda, diikuti oleh dua anak buahnya yang mengendarai kereta kuda sederhana tanpa atap. Kereta itu dipenuhi dengan pasokan pakaian hangat dan senjata untuk Azmi serta pasukannya.
Azmi, yang sejak pagi sudah menunggu di alun-alun desa, menyambut kedatangan Indra dengan senyum lebar. Wajahnya terlihat lega sekaligus antusias melihat sosok yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba.
"Yo, Nak Indra! Wajahmu kacau banget, ya, setelah pulang dari Denpasar." Sapa Azmi sambil menjabat tangan Indra. Tangannya yang kasar menggenggam erat tangan Indra dengan penuh semangat.
Indra tertawa lepas dengan wajah yang babak belur akibat pertarungan di Mall Bali Galeria beberapa hari yang lalu.
"Hahaha, yah, begitulah. Tapi setidaknya wajahku jadi jelek karena pertarungan yang epik. Bukan karena bulu yang tumbuh tanpa henti di wajah seperti brewokmu itu." Balasnya sambil menunjuk brewok Azmi yang sudah semakin panjang dan terlihat tidak terurus.
Azmi mengelus-elus brewoknya sembari tertawa. "Hahaha. Hei, jangan gitu, dong. Aku masih berkabung atas kepergian istriku, tau." Ujarnya dengan nada setengah bercanda.
Azmi menghela napas setelah tertawa lepas bersama Indra. "Ngomong-ngomong, ikuti aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu. Biarkan saja keretanya di sini, anak buahku akan mengurus barang-barangnya." Ucap Azmi.
"Lalu dua temanku ini?" Tanya Indra menunjuk dua prajurit yang ikut bersamanya.
Ia kemudian menunjuk ke arah gazebo yang berada di tepi alun-alun desa. "Mereka bisa beristirahat sejenak di gazebo itu. Di sana ada matras untuk rebahan. Nanti akan kusuruh anak buahku membawakan mereka makanan."
"Oke deh!" Jawab Indra singkat sebelum mengikuti Azmi.
...***...
Azmi membawa Indra menuju Puskesmas Desa. Suasana di dalam puskesmas itu sepi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong-lorong kosong.
Azmi menuntun Indra ke sebuah ruangan kecil yang terhubung dengan ruangan lain. Kedua ruangan itu dipisahkan oleh pintu kayu geser dengan kaca tebal di bagian atasnya, memungkinkan siapapun yang berada di luar untuk melihat ke dalam.
Di dalam ruangan itu, terlihat seorang pemuda berambut cepak sedang duduk di kasur yang terletak di pojok ruangan. Wajahnya penuh luka dan memar, matanya kosong seolah sudah menyerah pada nasibnya. Pemuda itu tidak bisa bergerak dengan bebas akibat luka yang diderita pada kaki dan bahunya.
Indra mengerutkan kening karena kebingungan. "Apa maksudnya ini? Kau mengurung orang ini karena dia punya virus menular?" Tanyanya dengan nada skeptis.
Azmi menggeleng. "Nggak, dia adalah tawanan. Aku jadikan dia sumber informasi untuk mengulik sebuah komplotan dari Jembrana yang mau menjarah hasil ternak kami."
Indra memandang pemuda itu dengan lebih cermat. "Damn, wajahnya jauh lebih bonyok daripada aku. Kalian pasti habis mukulin dia, kan?" Komentarnya sambil menyeringai.
Azmi menghela napas. "Itu dia masalahnya. Kami telah mencoba berbagai cara untuk menginterogasinya, tapi dia tetap nggak mau buka mulut mengenai komplotannya. Dia bahkan nggak ngasih tahu namanya sama sekali."
Indra mengangguk pelan, lalu duduk di sebuah kursi panjang di dekatnya. Ia menopang dagunya dengan tangan, seolah sedang memikirkan sesuatu dengan serius. "Kalian udah nyoba buat motong jarinya satu per satu?" Celetuknya dengan nada bercanda.
Azmi tertawa kecil. "Andai kami bisa sekejam dirimu, Nak Indra, aku yakin dia pasti sudah berbicara sebelum kau datang ke sini."
Indra tersenyum tipis. "Itu artinya kau memintaku untuk melakukan pekerjaan ini, kan, Pak Tua?" Ucapnya mencoba menebak niat Azmi.
Azmi tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Kau selalu bisa membaca pikiranku, Nak."
Indra bangkit dari kursinya, lalu merangkul Azmi dengan erat. "Oke, kalau begitu serahkan ini padaku. Tapi ini nggak gratis, ya." Ujarnya sambil menjentikkan jarinya.
Azmi mengangguk dengan ekspresi yang sedikit malas. "Iya, aku ngerti. Apa yang kau mau sebagai imbalannya?"
Indra mengernyitkan dahi, seolah sedang berpikir sejenak. "Aku masih belum bisa memutuskan apa yang aku mau. Mungkin akan kuberitahu saat semuanya sudah beres."
Ia kemudian menuntun Azmi keluar dari ruangan dengan tangan yang masih merangkul bahu Azmi. Pandangannya sempat melirik kembali ke arah ruangan yang berisi tawanan itu untuk beberapa saat.
"Tapi tenang aja," Azmi melirik Indra yang terlihat sudah menemukan cara untuk membuat tawanan itu berbicara. "aku jamin lantai puskesmasmu yang masih bagus ini tidak akan terkena darah setetes pun hanya untuk membuatnya bicara." Ucap Indra dengan nada penuh keyakinan.
Ilustrasi Tokoh:
...Azmi Ibrahim...