NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misteri Hati

"Ketika wajah seseorang tak bisa hilang dari pikiranmu, mungkin itu tanda bahwa dia telah meninggalkan jejak di hatimu."

Bilal duduk di ruang kerja, menyandarkan punggungnya pada kursi. Tiba-tiba, wajah gadis itu terlintas di pikirannya.

“Kenapa dia tak hilang dari pikiranku?” keluhnya sambil mengusap wajahnya. “Ya Allah…”

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan gadis itu terus menghantuinya.

Gadis yang tak sengaja ia siram dengan air di toko bunga, yang menabraknya di taman desa sore itu, wajahnya, senyumnya, dan cara dia bicara—semua itu terus terngiang dalam pikiran Bilal. Setiap detil tentang pertemuan mereka seperti berputar-putar di benaknya, membuatnya semakin penasaran tentang sosok yang belum lama dikenalnya itu.

Bilal memutuskan untuk beranjak dari ruang kerjanya. Dia merasa butuh suasana baru untuk mengalihkan pikirannya dari bayangan gadis itu. Dengan tekad, ia melangkah menuju masjid di pesantren.

Setelah tiba di masjid, Bilal segera mengambil wudhu. Suara air yang mengalir mengingatkannya pada pertemuan-pertemuan sederhana, termasuk saat ia tidak sengaja menyiram gadis itu di toko bunga. Tersenyum geli mengingat momen itu, ia berdoa dalam hati agar pertemuan mereka tidak berakhir di situ.

Usai berwudhu, Bilal melangkah masuk ke dalam masjid yang tenang. Aroma kayu dan kesunyian yang menyelimuti membuatnya merasa lebih tenang. Ia memilih tempat di pojok masjid, menghamparkan sajadah, dan mulai melakukan sholat sunnah duha.

Setiap gerakan sholatnya membuat hatinya semakin tenang. Bilal berusaha berkonsentrasi, namun bayangan gadis itu tak kunjung sirna. Dalam doa, ia memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk tentang perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

"Ya Allah, jika dia memang ditakdirkan untukku, mudahkanlah jalanku untuk bertemu dengannya lagi," ucap Bilal dalam hati setelah menunaikan sholat.

Setelah selesai, ia duduk sejenak, mengingat setiap detil pertemuan mereka, sembari berharap suatu saat bisa berkenalan lebih dekat. Di saat itu, Bilal merasakan kedamaian yang menyelimuti dirinya, meski pikirannya masih dipenuhi oleh gadis misterius yang tidak bisa ia lupakan.

Bilal menyadari bahwa ia baru bertemu dengan gadis itu dua kali, dan keduanya terjadi pada sore hari. Pertama, saat ia tidak sengaja menyiramnya dengan air di toko bunga, dan kedua, saat mereka berpapasan di taman desa. Meski pertemuan itu singkat, kesan yang ditinggalkan gadis itu sangat mendalam baginya.

Selesai sholat sunnah duha, Bilal masih duduk di masjid, merenungkan setiap detil pertemuan mereka. Ia teringat betapa cerianya senyuman gadis itu, dan bagaimana cara bicaranya yang menenangkan. Semua itu seperti magnet yang menarik hatinya, meski ia tahu bahwa mereka belum saling mengenal dengan baik.

"Kenapa perasaan ini begitu kuat?" pikirnya. Bilal merasa aneh, bingung dengan emosinya sendiri. Apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama?

Setelah beberapa saat, Bilal memutuskan untuk pulang. Saat ia melangkah keluar masjid, sebuah ide muncul di benaknya. Ia harus mencoba mencari tahu lebih banyak tentang gadis itu. Mungkin ada cara untuk bertemu lagi, atau setidaknya mendapatkan informasi tentangnya.

Namun, saat kajian Jumat di desa, Bilal tidak melihat gadis itu. Ia ingat bahwa gadis itu tidak mengenakan hijab, dan pertanyaan muncul di benaknya: Apakah dia seorang non-Muslim? Pikiran itu membuatnya semakin bingung, karena meskipun ia penasaran, ia juga merasa ada batasan yang harus diperhatikan.

Bilal merenungkan hal itu, berusaha memahami perasaannya yang semakin rumit. "Mungkinkah ada kesempatan untuk bertemu lagi?" tanyanya dalam hati, berharap agar takdir mempertemukan mereka sekali lagi.

***

Pukul 12:00 siang, Raya baru saja pulang dari sekolah. Saat memasuki rumah, aroma masakan bunda yang menggugah selera menyambutnya. Namun, sebelum ia sempat beristirahat, bunda memanggilnya.

"Raya, tolong ambilkan kue pesanan itu dan antarkan ke pesantren Aljazair ya," kata bunda sambil menyusun kue-kue cantik di dalam kotak.

Raya mengangguk meskipun merasa lelah setelah seharian di sekolah. Dia masih mengenakan seragam putih abu-abu yang dipadukan dengan rok pendek selutut dan hoodie berwarna pink. "Kue apa yang harus aku bawa, Bun?" tanyanya.

"Yang ini," jawab bunda sambil menunjuk kotak berisi kue lapis yang baru saja ia buat. "Hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai kue-nya rusak, " Kata bunda mengingatkan. Setelah mengucapkan salam kepada bunda, Raya segera mengambil sepeda.

Setelah 20 menit bersepeda, Raya akhirnya tiba di pesantren Aljazair. Begitu ia melangkah masuk ke area pesantren, perhatian langsung tertuju padanya. Pakaian yang ia kenakan, seragam sekolah putih abu-abu dengan rok pendek selutut dan hoodie pink, menjadikannya pusat perhatian di antara para santri.

Banyak santriwan menundukkan pandangan, berusaha untuk tidak terlihat memperhatikannya, sementara beberapa di antaranya terpesona oleh kulit putih bersih Raya yang terlihat kontras dengan suasana pesantren yang lebih konservatif. Santriwati yang melihatnya tampak berbisik-bisik satu sama lain, melontarkan tatapan tak suka, seolah menganggap penampilannya tidak pantas di lingkungan mereka.

Namun, Raya sama sekali tidak peduli. Dia tetap melangkah dengan santai dan percaya diri, menampakkan senyum ceria di wajahnya. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa setiap orang memiliki keunikan masing-masing, dan dia tidak akan membiarkan pandangan orang lain mengganggu semangatnya. Dengan tekad untuk menyampaikan kue pesanan, ia berjalan menuju bagian depan pesantren, siap menghadapi apapun yang ada di depannya.

"Assalamualaikum," ucap Raya di depan rumah Kyai Rosyid.

"Walaikumsalam," jawab seseorang dari dalam.

"Raya!" seru orang itu, Fatimah yang terkejut melihat kedatangan sahabatnya, terutama karena pakaian yang dikenakan Raya.

"Astaghfirullah, kamu ngapain?" tanyanya, kaget.

"Gue anter amanah Bunda nih, Mama kamu pesan kue," jelas Raya dengan santai.

Raya melihat Fatimah dengan tatapan penuh harap. "Eh, Fat, boleh nggak aku numpang ke kamar mandi sebentar? Gue kebelet, sumpah!"

Fatimah menatap sahabatnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, silakan. Kamar mandinya di belakang, lewat sini." Ia melangkah ke samping Raya dan menunjukkan arah jalan.

Raya berjalan dengan terburu-buru, dan setelah selesai, dia keluar dari kamar mandi dengan lega. Saat ingin menuju ruang tamu, ia melihat dari jendela seorang laki-laki yang ia temui di taman desa. Laki-laki itu sedang dikelilingi santriwan. “Dia? Ah, nggak mungkin, pasti beda orang, cuma mirip aja,” pikirnya.

"Sudah selesai, Ray?" tanya Fatimah, tiba-tiba muncul dan membuyarkan pikirannya.

Raya melihat Fatimah dengan tatapan penuh harap. "Eh, Fat, boleh nggak aku numpang ke kamar mandi sebentar? Gue kebelet, sumpah!"

Fatimah menatap sahabatnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, silakan. Kamar mandinya di belakang, lewat sini." Ia melangkah ke samping Raya dan menunjukkan arah jalan.

Raya berjalan dengan terburu-buru, dan setelah selesai, dia keluar dari kamar mandi dengan lega. Saat ingin menuju ruang tamu, ia melihat dari jendela seorang laki-laki yang ia temui di taman desa. Laki-laki itu sedang dikelilingi santriwan. “Dia? Ah, nggak mungkin, pasti beda orang, cuma mirip aja,” pikirnya.

"Sudah selesai, Ray?" tanya Fatimah, tiba-tiba muncul dan membuyarkan pikirannya.

"Sudah, " Kata Raya lalu, melihat ke jendela lagi, laki-laki itu sudah tidak ada.

" Ayo aku antar sampai gerbang, " Ajak Fatimah.

Raya mengangguk , mengikuti Fatimah. Banyak santri yang melihat Raya dengan tatapan tak suka tapi tak berani menegurnya, itu karena Raya bersama dengan Fatimah. Ada juga yang terpesona dengan kecantikan Raya.

“Makasi, Fatimah! Gue langsung pulang ya,” ucap Raya sambil melambaikan tangan.

“Ya, hati-hati di jalan, Ray! Jangan lupa bawa kue itu dengan baik,” balas Fatimah dengan senyum lebar, terlihat senang bisa membantu sahabatnya.

Raya melangkah pergi, menikmati udara segar di luar pesantren. Dalam hatinya, ia merasa senang sekaligus penasaran. Gadis yang baru saja ia temui di pesantren, dan laki-laki yang terlihat akrab di sana, semuanya seperti potongan-potongan teka-teki yang ingin ia selesaikan.

Sambil berjalan, ia teringat wajah laki-laki yang ia lihat dari jendela. “Apa dia memang sama?” pikirnya. Namun, dengan segala keraguannya, Raya berusaha menepis pikiran itu. “Ah, mungkin hanya kebetulan saja,” katanya dalam hati.

***

Raya pulang dari mengantar kue dengan langkah ringan. Saat memasuki rumah, dia melihat Rian, adiknya yang berusia 14 tahun, sedang duduk di meja belajar, tenggelam dalam buku-buku pelajaran yang menumpuk. Sambil menggaruk kepalanya, Rian tampak serius mencatat, sepenuh perhatian pada tugas yang harus diselesaikannya.

“Eh, tadinya ada yang nyariin lo, Kak,” kata Rian tanpa mengalihkan pandangannya dari bukunya.

“Siapa?” tanya Raya penasaran.

“Cowok lo, Bang Leo,” jawab Rian sambil mengangkat alisnya.

“Ah, sembarangan! Leo itu temen gue,” Raya menjawab sambil tersenyum, mencoba menutupi rasa malunya.

“Temen? Kayaknya dia lebih dari sekadar temen deh,” Rian menggoda sambil tersenyum nakal.

“Ya udah, lo jangan ngelawak. Lagian, dia cuma nanya doang, bukan ngungkapin perasaan,” balas Raya dengan tawa kecil, merasa sedikit lega.

Rian mengangguk, tapi senyumnya tetap lebar. “Oke, oke. Tapi hati-hati, Kak. Gue lihat dia perhatian sama lo.”

“Sok tauk! " Raya memilih masuk ke kamar dari pada meladeni.

"Solat dulu kak, lu pasti belum solat dhuhur kan, " Kata Rian setengah berteriak. Tak ada jawaban dari Raya.

" Solat lah sebelum disolatkan, " Rian berteriak sekali lagi.

" Solat kakak, solat... Solat... " Teriaknya masih belum menyerah.

BUKKK !!!

Raya melempar bantal ke arah adiknya.

" Berisik, " Katanya sebelum ia berlalu ke dapur.

Bunda sudah biasa dengan keributan kecil itu. Dari dapur, ia mendengar suara Rian yang tak kenal lelah menggoda kakaknya. Dengan senyuman, ia melanjutkan memasak, menikmati kehangatan suasana rumah yang penuh dengan canda tawa.

“Rian, jangan ganggu kakakmu! Biarinlah dia istirahat sebentar,” Bunda berteriak lembut, meski jelas ia tahu keributan itu adalah bagian dari interaksi sehari-hari mereka.

“Aku cuma kasih tau, Bun! Kakak ini kadang suka lupa solat,” jawab Rian sambil menyeringai, matanya masih tertuju pada buku yang terbuka di hadapannya.

Raya melangkah ke dapur dan mengambil segelas air. “Nah kan, Bun, dia tuh nge jawab aja,” ujarnya sambil tersenyum nakal, tidak mau kalah.

Bunda hanya tertawa, merasakan kasih sayang dan keceriaan di antara mereka. “Kalian berdua, ya. Selalu saja ada drama. Tapi ingat, kalian harus saling jaga.”

“Kak Raya udah gede, Bun. Gak perlu dijaga, jagoan kampung dia tuh,” kata Rian bercanda, membuat Raya mendengus kesal.

“Gak lucu, ” bantah Raya sambil mencubit pipi Rian, yang membuat adiknya meringis.

“Eh, kakak kok ngelakuin kekerasan sih?” Rian pura-pura cemberut, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya.

“Kalau lo terus ganggu, gue bakal lempar bantal lagi, ya!” ancam Raya dengan nada bercanda, mengambil bantal dari sofa.

"Aaa takuttttt, " Kata Rian menirukan suara anak kecil.

"Nah, beneran ini, " Kata Raya sambil ancang-ancang mau melempar bantal.

"Jangan dong, " Kata Rian.

" Makanya diem, "

" Siap kapten, " Rian berdiri dengan posisi hormat kepada Raya.

Bunda memandang mereka dengan bangga, merasakan betapa berartinya momen-momen sederhana seperti ini, penuh tawa dan cinta yang menghangatkan rumah. Meskipun mereka sudah terbiasa menjalani hari-hari tanpa sosok ayah yang sudah meninggalkan mereka. Waktu itu Raya berusia 10 tahun dan Rian tujuh tahun, menyaksikan penceraian orang tua. Bagi Bunda, mereka adalah sumber kebahagiaan yang tak ternilai.

Terkadang, bayangan masa lalu masih hadir dalam pikirannya, terutama saat mereka melewati momen-momen indah bersama. Namun, Bunda selalu berusaha tegar dan tersenyum, percaya bahwa meskipun hidup mereka tidak sempurna, cinta dan kebersamaan adalah yang terpenting.

Bunda hanya menggelengkan kepala, tertawa kecil. “Kalian ini, selalu saja ada yang diributkan. Sudahlah, Raya, istirahat dulu kalau memang capek. Tapi jangan lupa, solat itu tetap harus jadi prioritas.”

Raya mengangguk, menghabiskan airnya, dan berbalik menuju kamar. Sebelum pintu tertutup, dia mendengar suara Rian yang masih berusaha menegurnya, namun kali ini lebih lembut, “Jangan sampai lupa lagi ya, Kak.”

Dengan senyum tipis, Raya berbaring di kasurnya, memejamkan mata sejenak. Pikiran tentang pesantren, Fatimah, dan laki-laki yang ia lihat dari jendela terus bermain di benaknya. “Kenapa perasaanku seperti ini? Apa aku mengenalnya?” Raya menggulingkan badannya, mencoba menghilangkan pikiran tersebut. Namun, jauh di lubuk hatinya, rasa penasaran semakin kuat.

***

Disisi lain..

Bilal Duduk di depan meja, tangannya menggenggam pena, mencoba fokus pada buku-buku yang harus ia pelajari untuk kajian nanti malam. Namun, pikirannya terus saja berkelana, seakan bayangan gadis itu tak mau pergi.

“Kenapa aku terus memikirkannya?” bisik Bilal, frustrasi dengan dirinya sendiri. Dia bahkan hampir tidak tahu apa-apa tentang gadis itu, kecuali bahwa dia pernah bertemu dengannya di taman desa, dan sebelumnya di toko bunga ketika ia tak sengaja menyiram gadis itu dengan air. Sebuah pertemuan yang seharusnya sederhana, namun malah meninggalkan bekas yang mendalam di hatinya.

Bilal mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca Al-Quran. Ia berharap kalam suci itu bisa mengalihkan pikirannya dari perasaan yang belum sepenuhnya ia pahami. Tetapi, saat melantunkan ayat demi ayat, bayangan senyuman gadis itu terus saja muncul, memecah konsentrasinya.

Dengan berat hati, Bilal menutup mushaf di hadapannya dan merapatkan kedua tangannya. Dalam hati, ia memohon kepada Allah untuk diberikan kejelasan.

“Ya Allah, jika ini hanya godaan nafsu, hilangkanlah. Tapi jika ini adalah rasa yang Engkau ridhoi, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku.”

Setelah berdoa, Bilal mencoba untuk kembali fokus. Ia menatap sekeliling ruang kerjanya yang sunyi, berharap suasana itu bisa memberinya ketenangan. Namun, di sudut pikirannya, gadis itu tetap ada. Gadis yang tak mengenakan hijab, dengan wajah ceria, yang mungkin berbeda keyakinan dengannya. Sebuah perasaan campur aduk menghantam dirinya; antara harapan, kekhawatiran, dan rasa penasaran yang begitu kuat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!