Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Satu ketukan, dua ketukan bahkan tiga ketukan keras. Namun, sama sekali tidak ada jawaban dari dalam sana.
“Apa dia sudah tidur?” Aluna memegang handle pintu dan menekannya kebawah. “Tidak dikunci?” gumamnya.
Aluna, memutuskan untuk masuk dan memanggil nama Noah berulang kali. Nihil, lagi-lagi tidak ada jawaban.
Kedua manik mata hitam itu berkeliling, memperhatikan sekitarnya. Tidak ada siapapun di sana. Hingga samar-samar terdengar suara gemericik air berjatuhan ke lantai kamar mandi.
“Sebaiknya aku menunggunya selesai mandi. Tidak sopan jika hanya meletakkan jas ini lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih, bukan?”
Berdiri tidak jauh dari ranjang, Aluna sesekali bergumam melihat desain interior kamar milik Noah yang terkesan gelap dan sedikit menyeramkan.
“Apa laki-laki selalu suka kamarnya seperti ini? Kalau aku lebih suka warna pink dengan gambar hello kitty.” Aluna tersenyum, mengingat kamar tidurnya yang pernah ia tinggali bersama Hugo—pamannya.
Meski kenangan bersama Hugo tidak sehangat yang ia bayangkan. Aluna masih menghormati pria itu sebagai seseorang yang sudah berjasa membesarkannya sampai dewasa seperti ini.
Mendengar suara pintu yang terbuka, juga langkah kaki seseorang keluar dari kamar mandi, membuat jantung Aluna berdetak sangat kencang.
Noah keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Rambutnya masih basah, tetesan air itu menetes ke leher kemudian turun ke bawah melewati enam otot perutnya yang terbentuk sempurna.
Tidak diragukan lagi, wanita yang melihat pemandangan itu pasti akan dibuat sesak nafas karenanya.
Menyadari sudah terlalu lancang masuk dan melihat tubuh setengah telanjang Noah tanpa izin, Aluna langsung memalingkan wajahnya.
“S—selamat malam, Tuan.” Aluna membungkuk sekilas memberi hormat pada pria itu.
Tak menanggapi ucapan Aluna, Noah malah balik bertanya dengan suara beratnya. “Apa yang kamu lakukan disini, hum?” lalu mengambil kemeja lengan pendek berwarna hitam dan juga celana jeans yang berwarna senada.
“Em…begini, Tuan, sebenarnya saya—”
Noah menghentikan gerakan tangannya lalu melirik ke arah Aluna.
“Sejak kapan kamu jadi gagap begitu?
“Maaf, Tuan. Sebenarnya, saya hanya ingin mengembalikan jas yang sudah anda pinjamkan.” Aluna mengulurkan jas milik Noah.
“Tidak perlu. Aku tidak membutuhkannya.” Noah memakai kemejanya. “Aku tidak suka memakai barang bekas! Apalagi bekas disentuh oleh gadis yang pernah mempekerjakan dirinya di klub malam,” lanjutnya.
Mendengar itu, Aluna menahan gemuruh di dadanya. Rasanya ingin sekali marah. Tapi untuk apa? Toh memang benar bukan kalau dirinya pernah tinggal di klub malam meski hanya semalam?
“Maaf, Tuan. Saya sudah mencucinya dan baru saja mengeringkannya. Saya juga sudah menyemprotkan minyak wangi, agar tidak tertinggal bau saya di jas anda.”
Noah mengeraskan rahangnya. Ia paling tidak suka ucapannya dibantah oleh siapapun. Meski perempuan sekalipun.
“Apa kamu tuli, hah?! Kubilang buang, ya buang!” teriakan Noah yang tengah membentak Aluna terdengar menggelegar dan menggema di setiap sudut kamarnya. Membuat kedua pundak gadis itu reflek terangkat karena kaget.
“Kenapa kamu masih diam disini? Kamu benar-benar tidak punya sopan santun! Berani sekali kamu masuk ke kamarku tanpa izin!” Noah mendelik, kedua bola matanya memerah. “Apa mungkin aku terlalu baik padamu selama ini? Jadi kamu bisa bersikap seenaknya sendiri!”
Aluna sama sekali tidak peduli dengan teriakan dan caci maki Noah. Ia hanya berniat untuk mengembalikan apa yang bukan miliknya, itu saja.
Aluna juga sadar diri, mungkin ia memang bukanlah gadis baik-baik. Mana ada pria yang mau menerima dirinya yang pernah tinggal di tempat yang paling menjijikan itu.
“Tapi, bukankah kemarin anda mengizinkan saya tidur di ranjang milik Tuan?” Aluna masih menunduk, tidak berani mendongak dan menatap Noah.
“Kamu terlalu percaya diri! Aku terpaksa melakukan itu dan asal kamu tahu…” Noah mendekat perlahan ke arah Aluna dan berbisik lirih di samping telinganya. “...aku sudah membakar dan mengganti semua barang yang pernah kamu sentuh!”
Setelah mengatakan itu, Noah kembali menjaga jarak dengan Aluna.
Aluna meremas kuat jas yang ia pegang. Sambil mengatur ritme jantung juga nafasnya yang naik turun menahan emosi.
“Dan sekarang, aku harus mengganti pintu dan juga permadani yang sekarang kamu injak.” Noah menatap ke bawah, dimana mereka berdiri sekarang.
Begitupun dengan Aluna.
Gadis itu menahan air matanya. Kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir Noah menusuk tepat sampai ke hatinya.
‘Seburuk dan sebegitu menjijikan kah dirimu, Aluna? Sampai-sampai tidak ada yang mau menerimamu dengan tulus?’ Aluna menahan tangis dalam hati.