“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas memasuki kamar Kahfi dengan langkah hati-hati, membawa secangkir teh jahe yang baru saja ia buat sendiri. Aroma hangat jahe menguap di udara, bercampur dengan semangat Syanas yang sedang bermain peran sebagai istri teladan.
Gamis panjang berwarna pastel yang ia kenakan terasa membatasi gerakannya, apalagi dengan hijab lebar yang baru ia coba hari ini. Namun, semua itu ia lakukan dengan senyum penuh tekad, meskipun ada sedikit kesan licik di baliknya.
Kahfi berdiri di depan cermin. Ia sibuk mengancingkan lengan kemejanya yang rapi. Matanya fokus tanpa sedikit pun melirik ke arah Syanas.
Namun, dari ujung matanya ia tahu Syanas sudah masuk dan mendekat. Ia tidak bereaksi, hanya melanjutkan kegiatannya sambil diam-diam mengawasi.
“Ayang,” panggil Syanas dengan nada lembut mendayu-dayu, hampir seperti suara dari iklan sirup di bulan Ramadhan.
Kahfi menegang sejenak mendengar panggilan itu. Mulut Syanas biasanya lebih fasih memanggilnya dengan nada ketus, atau bahkan tanpa sapaan sama sekali.
Ini jelas bukan kebiasaan. Namun, ia tetap diam, tidak ingin memberikan reaksi yang bisa memberi Syanas kemenangan awal.
Syanas tidak menyerah. Ia meletakkan teh jahe itu di meja kecil dekat Kahfi, lalu mendekat dengan langkah pelan. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengambil kain panjang yang melilit leher Kahfi.
“Biar aku yang rapikan,” ucapnya lagi dengan suaranya begitu lembut hingga hampir membuat Kahfi kehilangan fokus.
Kahfi menatap Syanas dari cermin, alisnya terangkat tinggi. Tapi ia tetap tidak bicara, membiarkan istrinya melanjutkan aksinya. Ketika Syanas mulai membantu memasang kancing di ujung lengan kemejanya, Kahfi mulai merasa ada yang sangat tidak beres.
Setelah selesai, Syanas menatap Kahfi dengan senyum lebar, seolah mengharapkan pujian. Kahfi tetap diam. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan dan memegang kening Syanas dengan gerakan tiba-tiba, membuat perempuan cantik itu sedikit terkejut.
Syanas menatap Kahfi bingung. “Kamu kenapa Yang?” tanyanya dengan nada penuh kepolosan.
Kahfi tidak langsung menjawab. Ia memiringkan kepalanya, tatapannya tajam tapi penuh rasa ingin tahu. “Nggak apa-apa cuma pengen tau aja, kirain kening kamu panas.”
Syanas menghela napas, mencoba tetap tenang meskipun dalam hati ia sudah mengutuk Kahfi.
“Aku cuma ingin berubah kok Yang. Aku sadar, aku bukan istri yang baik untuk kamu,” jawab Syanas dengan nada yang dibuat setulus mungkin.
Kahfi tetap menatap Syanas lekat, tapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya melipat tangan di depan dada, memberi isyarat bahwa ia mendengar, tapi juga sedang menganalisis.
Syanas yang merasa atmosfer semakin canggung, segera melanjutkan. “Aku tau aku banyak salah. Jadi aku mau mulai jadi istri yang lebih baik buat kamu, juga buat kita.”
Syanas mengambil gelas teh jahe dengan penuh gaya, ia menyerahkannya kepada Kahfi. “Ini Ayang. Aku buat khusus untuk kamu. Jangan khawatir, ini aman kok. Nggak ada racun atau apapun.”
Kahfi menatap gelas itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Syanas dengan alis sedikit terangkat. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menerima gelas itu dan meminumnya perlahan. Rasa hangat jahe langsung menyebar di mulutnya
Kahfi hanya mengangguk kecil, namun matanya tetap memperhatikan gerak-gerik Syanas.
Syanas yang melihat gerakan Kahfi yang memujinya secara tidak langsung membuatnya tersenyum lebar, tapi dalam hati ia sudah gemas karena Kahfi tidak memberi reaksi yang lebih besar. “Teh jahe buatan aku cukup sesuai dengan selera kamu nggak?” tanyanya dengan suara lembut, mencoba menutupi ketegangannya.
Kahfi meneguk teh itu sekali lagi, lalu menatap Syanas dengan pandangan yang sulit ditebak. “Lumayan,” jawabnya. Namun, ia langsung menambahkan, “Tapi aku penasaran. Kamu berubah ini karena sadar atau cuma memainkan peran?”
Pertanyaan itu membuat Syanas terkejut. Sekilas ekspresi wajahnya berubah, tapi ia segera menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kelembutan menatap Kahfi.
“Aku bersungguh-sungguh kok Yang. Aku sadar setelah mendengar nasehat dari Sahnum. Aku tau jadi istri itu nggak mudah, dan sejujurnya, awalnya aku sangat syok dan cukup berat menjalani pernikahan ini.”
Syanas berhenti sejenak, mengatur napas. Ia melanjutkan, “Tapi aku berusaha kok. Aku ingin menjadi perempuan yang kamu mau.”
Kahfi masih menatap Syanas dengan sorot mata menyelidik. “Syukur kalau memang begitu,” ujarnya datar. “Tapi kamu tau kan aku menikahimu karena ibumu menjualmu padaku?”
Mendengar itu, wajah Syanas langsung memerah. Amarahnya mendidih, tapi ia berusaha keras menyembunyikannya di balik senyuman manis.
Dalam hati, ia sudah mengumpat Kahfi dan ibunya berkali-kali. Namun, Syanas tetap menjaga ekspresinya. “Aku sedih mendengar itu Yang. Tapi aku butuh waktu untuk bisa menerima semuanya.”
Kahfi mengangguk pelan, masih dengan ekspresi datarnya. “Semua memang butuh proses,” ujarnya. “Semoga kamu bisa menerima apa yang sudah terjadi.”
Dalam hati Syanas berkata sebaliknya. Ia tidak akan pernah menerima kejadian dan pernikahan ini. Tapi ia hanya tersenyum lembut dan menjawab, “Iya Ayang. Insya Allah.”
Melihat respon Syanas, Kahfi mengangguk pelan. “Untuk saat ini, lebih baik kamu belajar mengenal lingkungan pesantren dulu. Mulai dari hal-hal kecil bersama Sahnum. Kalau ada yang ingin kamu tanyakan atau sampaikan, kamu bisa langsung bicarakan ke aku.”
Syanas hanya mengangguk, tetap memasang senyum lembut meski dalam hati sudah muak. Ia benar-benar tidak tahan berada di lingkungan itu.
Kahfi kemudian mengulurkan tangannya, mengisyaratkan untuk bersalaman.
Syanas mengikuti saja, menjabat tangan Kahfi dengan gerakan yang dibuat semanis mungkin. Namun, ia langsung terkejut ketika Kahfi tiba-tiba mencium keningnya.
Jantung Syanas berdetak lebih cepat. Dalam hati, ia ingin sekali memukul lelaki tampan di hadapannya itu, tapi ia hanya bisa menahan diri. Wajahnya sedikit memerah, bukan karena cinta, tapi karena marah.
Kahfi mengusap kepala Syanas dengan lembut dan kemudian melangkah mundur secara perlahan. “Aku pamit dulu ke pesantren. Ingat! Jangan coba-coba untuk kabur dari rumah. Jika kamu berani, kamu akan menanggung hukuman yang aku berikan.”
Syanas hanya mengangguk, menahan rasa kesalnya. Tapi ketika Kahfi sudah memunggunginya, ia tanpa sadar mengangkat tangannya, seolah ingin memukul.
Namun, seakan sudah bisa membaca niat itu, Kahfi menoleh dengan cepat. Syanas langsung menurunkan tangannya dengan salah tingkah, memasang senyum canggung. Kahfi hanya menggeleng pelan sambil berjalan keluar kamar.
Begitu pintu tertutup, Syanas membuang napas berat. “Dia itu benar-benar bikin gue pengen ngamuk!” gumamnya pelan sambil menatap pintu dengan kesal.
Begitu emosinya mereda, Syanas menutup matanya sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. “Gue harus sabar.” batinnya.
Ia mengepalkan tangan, mencoba menguatkan tekadnya. Demi kebebasannya, ia harus bertahan dan memainkan perannya dengan lebih meyakinkan. Semua ini hanyalah bagian dari rencana. Sedikit lagi, ia akan menemukan celah untuk keluar dari semua ini.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..