Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercerita
Setelah pertemuan yang cukup menguncang emosi, Aluna memilih pulang tanpa membawa mobilnya, Ia serahkan kunci mobil Cooper ungu kesayangannya ke William, sementara dirinya dan Willona naik mobil milik kakak-beradik itu menuju rumah Willona.
Sebenarnya Wiiliam malu membawa mobil kecil lucu warna ungu itu, apalagi sekarang ditambah bunga-bunga yang membuat mobil Aluna tambah imut nan mengemaskan. Mau malu sama oto-otot yang dibangun di gim, tapi dia juga tidak tega melihat tangis Aluna tadi.
Sepanjang perjalanan, Aluna hanya terdiam, menatap kosong ke luar jendela. Tangannya masih menggenggam bucket bunga mawar merah yang diberikan Cakra. Hati dan pikirannya berkecamuk dengan semua rasa yang memenuhi dirinya. Rasa bimbang dan sayang yang bercampur aduk.
Aluna memejamkan matanya, lelah sangat jelas tergambar di wajah cantik gadis berambut coklat gelap itu. Willona yang duduk di sebelah sesekali melirik sambil terus memperhatikan jalan. Pertama kalinya Willona melihat sahabatnya seperti ini, ingin rasanya Willona bertanya. Tapi ia tahu Aluna masih butuh ruang.
Mobil berwarna merah itu akhirnya sampai di rumah besar. Kedatangan keduanya disambut hangat oleh wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan seksi, siapa lagi kalau bukan Laura.
Laura tersenyum pada Aluna dan Willona yang baru turun dari mobil. Dua gadis cantik itu memeluk singkat Laura.
"Luna kenapa? kok asem gitu mukanya?" tanya Laura.
Aluna hanya tersenyum kecut, sebelum akhirnya menjawab," nggak apa-apa Tante."
Laura hanya tersenyum tipis, tidak apa-apanya seseorang pasti ada apa-apa.
"Ya udah, mumpung Luna main ke sini. Ikut kita main salon-salonan yuk," ajak Laura.
Tanpa menunggu jawaban dari Aluna, Laura menarik tangan kedua anak gadisnya itu. Mereka berjalan masuk, melewati tamu dan terus berjalan kehalaman belakang. Setelah melewati kolam renang mereka pun sampai di bangunan yang terpisah dari rumah utama.
Sebuah bangunan yang tidak begitu besar tapi cukup asri, di depannya ada dua pohon bunga kamboja besar dan air mancur. Begitu merek masuk, dua orang wanita cantik menyambut mereka.
"Selamat datang, kami siap memanjakan Anda," ucap dua wanita berseragam pink itu dengan senyuman ramah.
"Luna sama Willona mau perawatan apa?" tanya Laura yang sudah duduk di kursi empuk berwarna pink dengan boneka helo kitty dipangkuannya.
"Apa ya Ma?" Willona balik bertanya, gadis itu masih berdiri menatap list treatment yang di sediakan salon pribadi Mamanya itu. Sementara Aluna hanya menyapu salon bernuansa bali dengan printilan hello kitty di beberapa sudut dengan malas.
"Pengen meni-pedi aja deh Ma," jawabnya.
"Kalau Aluna?"
Aluna hanya menjawab pertanyaan Laura dengan gelengan pelan.
"Ya udah, Shinta tolong meni-pedi mereka. Kalau saya mau facial dulu, baru nanti meni-pedi juga," titahnya pada salah seorang pegawai salon pribadinya.
"Baik Bu," jawab wanita berseragam pink itu.
"Kakak berdua silahkan duduk, nanti dua teman saya akan melayani kalian," ucap Shinta dengan ramah.
"Iya kak Shinta," jawab Willona dengan centilnya.
"Oia, Kak Luna sama Kak Ona mau minum apa? jus, teh, susu atau mau yang lain?"
"Teh herbal aja kali ya Kak, biar kita relaks, lo mau kan Lun teh herbal?" tanya Willona pada sang sahabat.
"Terserah lo aja Na," sahut Aluna dengan malas.
"Baik, kalau begitu dua teh herbal dan biscuit almond. Mohon ditunggu sebentar."
Aluna dan Willona pun duduk di sofa khusus yang nyaman dengan warna pink menyala. Dua orang wanita datang membawa air hangat dan mulai merendam dan membersihkan kaki dua gadis cantik itu.
Aluna hanya menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dengan malas membiarkan sang pegawai salon melakukan pekerjaan mereka.
"Lun ... lo nggak apa-apa?" tanya Willona dengan hati-hati, Aluna hanya mengangguk dalam diamnya.
Willona terkekeh kecil, dia merasa konyol menanyakan hal itu sementara keadaan Aluna jelas menujukan hal sebaliknya.
"Silahkan minumannya," ucap Shinta ambil meletkan nampan berisi gue gelas teh herbal hangat dan semangkuk biscuit almond.
"Makasih Kak Shinta," ujar Wilona.
"Sama-sama, kalau butuh yang lain bisa panggil saya."
"Ok Kak."
Shinta pun tersenyum lalu meninggalkan dua gadis itu. Shinta adalah penanggung jawab di salon pribadi Laura. Salon yang khusus di bangun oleh Rian untuk sang istri tercinta.
Aroma chamomile dan lemon kering yang menguar mengoda Aluna. tangan gadis itu terulur malas mengambil satu cangkir teh herbal yang ada di meja kecil anatara dia dan Willona.
"Lun, gue tau nggak seharusnya gue ikut campur masalah pribadi lo. Tapi gue khawatir lihat lo kayak gini, ini pertama kalinya gue lihat lo seperti ini."
Willona mengusap pelan lengan Aluna, membuat gadis itu menoleh menatap sang sahabat yang memberikan dia tatapan hangat.
"Kita udah sahabatan dari kita kecil, gue harap lo bisa bagi sedikit beban lo buat gue. Sama halnya kalau gue yang selalu bagi cerita gu ke lo," tutur Willona.
Aluna masih diam, ia menunduk, matanya menatap kosong pada cangkir teh herbal yang mengepulkan aroma mint. Suasana begitu nyaman, tapi hatinya... kacau, seolah badai besar mengamuk di dalam dada. Willona pun kembali mengalihkan pandangannya, dia tidak memaksa Aluna bercerita, dia hanya ingin Aluna tahu kalau dia tidak sendiri.
“Cakra ... dia mantan gue.” suaranya nyaris tak terdengar, bergetar, berat—seperti keluar dari tenggorokan yang tercekat tangis.
Willona menoleh cepat, mendapati wajah sahabatnya yang pucat, mata sembab, dan bibir yang terus-menerus digigit oleh gigi kecilnya—kebiasaan lama Aluna kalau sedang menahan emosi.
“Gue nggak tau mesti gimana, gue bingung Ona. Gue bener-bener bingung sama dia,” lanjutnya, mencoba menjaga nada tenangnya, walau jelas-jelas gagal. Di matanya ada air, tapi tidak jatuh. Hanya berkaca-kaca, menggantung di ujung, menunggu waktu untuk pecah.
"Pelan-pelan, ambil nafas dalam."
Aluna pun mengambil nafas dalam ayang ia bisa, berusaha sedikit menormalkan sesak yang menghimpit dadanya.
"Kalau lo belum siap, nggak usah dipaksain."
Aluna menggeleng cepat.
"Gue butuh lo, gue butuh berbagi," ujar Aluna dengan bibir yang gemetar, jemarinya meremas kuat cangkir kaca yang ada dalam genggamannya.
Willona mengangguk, tanpa sepatah kata pun. Ia tahu, ini bukan cerita biasa. Ini luka, luka yang sahabatnya simpan entah berapa lama. Aluna menghela napas panjang, seperti sedang mengumpulkan seluruh sisa keberanian yang ia punya.
onaaaaaa km dateng nya gak tepat bgt deh
km udh gk suci lg.. udh tergoda gra2 500rebu haha mna belinya motif pikachu knp gk cherry aja