The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07.) Berbagi
Chapter 7: Sharing
“Perutku rasanya penuh banget.” keluhku mengusap pelan perut yang sedikit membuncit karena kebanyakan makan.
Mas Satya melirikku sebentar sebelum kembali memfokuskan pandangan ke jalan karena sedang menyetir.
“Kalap sih jajannya.” sahut Mas Satya.
Aku tertawa. “Tampilannya menggoda banget, mana rasanya enak juga. Aduh!”
“Kenapa?”
“Jangan ajak bercanda dulu, Mas. Ga enak nih buat tertawa.” Kutepuk-tepuk perutku agar ada sedikit angin yang keluar sehingga perut lebih terasa longgar.
Mas Satya mengulurkan tangannya. Menyingkirkan tanganku yang masih menepuk perutku dan meletakkan telapak tangannya untuk mengusap-usap perutku.
Aku menahan napas. Tubuhku menegang karena interaksi kami yang cukup intim ini.
“Exhale, Kalila… Relax, oke”
Aku menghembuskan napas mengikuti perkataan Mas Satya. Perasaan tenang dan nyaman langsung segera kurasakan. Mas Satya masih mengelus perutku yang tertutup dress dengan pelan.
“Kalau dipukul gitu nanti malah keluarnya gas. Bisa tewas kita, ntar.” lanjutnya tertawa keras.
Aku merengut mendengar candaannya. Kusingkirkan tangannya dari atas tubuhku dan memukul lengannya kesal.
“Eh, aduh.. duh.. Sayang… Masih nyetir nih..”
Tak kugubris protesan Mas Satya, tetap kupukul lengannya karena masih merasa kesal.
Mas Satya melajukan mobilnya lebih cepat dan membelokkan mobilnya kearah basement bangunan tinggi yang sangat kukenali. Gedung apartemenku.
Ia memarkirkan mobilnya dengan mulus di slot parkir yang dekat pintu masuk. Lantas menggenggam kedua tanganku yang tadi memukulnya.
“Maaf ya, Sayang.. Bercanda tadi..” katanya sambil mengecup kedua tanganku.
Aku memalingkan muka menghadap jendela. Menahan rasa panas yang muncul di pipi.
“Gemas banget sih… Pacarnya siapa ini?” godanya.
Ia memegang daguku pelan dan mengarahkanku menghadap dirinya.
Dengan menahan rasa panas yang semakin menjadi di pipi, aku menatap langsung kedua matanya.
Blush…
Pipiku memerah. Kutundukkan wajahku menahan rasa malu karena menatap Mas Satya yang menunjukkan rasa suka sangat jelas.
Mas Satya menangkup kedua pipiku. Telapak tangannya terasa hangat di tengah dinginnya AC mobil yang terhembus maksimal. Ia mengangkat wajahku agar menatap dirinya.
“Cantiknyaa…” Mas Satya mengelus kedua pipiku. “Kok bisa merah muda gini?” tanyanya.
Aku mengangkat kedua bahu. “Makanya jangan gombal-gombal.” omelku.
“Siapa yang gombal? Kalau sama Kalila, Mas selalu jujur apa adanya.”
Tak kugubris pembelaan dirinya. Aku mengedarkan pandang menatap basement gedung apartemenku dengan heran.
“Kenapa berhenti di gedung apartemenku? Papa sama Mamaku masih di rumah Om Radja, loh.”
“Jadi Kalila tinggalnya di sini?” tanya Mas Satya. “Ga kejauhan emang kalau mau ke Gedung YMB?”
Aku menggeleng. “Yang penting ga macet, jadi ga kerasa jauh.”
“Mas juga punya apartemen di sini, makanya ini mampir sekalian. Kan tadi Mas udah dapat cukup banyak informasi tentang Kalila dari anak-anak YMB. Nah sekarang saatnya Mas sharing tentang diri Mas ke Kalila. Biar adil.”
Aku memerhatikan Mas Satya yang turun lebih dahulu untuk membukakan pintu mobilku. Mengikuti langkahnya menuju lift basement, aku setuju dengan inisiatifnya untuk sharing tentang dirinya saat ini. Karena Mas Satya sudah mendapat banyak informasi tentangku yang 70 persen akurat dari anak-anak YMB.
“Penthouse?” ujarku melihat Mas Satya menempel kartu akses berwarna silver ke sensor lift khusus.
“Ya. Mas suka berada di puncak, biar bisa hal melihat lebih luas.” jawabnya.
Ia menarik tanganku masuk ke dalam lift.
“Lagian Mas juga butuh tempat yang bisa menyediakan privasi penuh dan mobilitas yang cepat.” tambahnya.
Aku mengangguk paham. Sebagai bupati dengan segala kesibukannya, Mas Satya tentu butuh tempat pribadi yang bisa memberikannya akses mobilitas yang cepat dan fleksibel. Helipad yang berada di atap gedung ini memang hanya bisa diakses pemilik penthouse. Begitupun dengan lift khusus yang berada agak tersembunyi dari lokasi lift utama, hanya bisa diakses pemilik penthouse dan 2 lantai dibawah penthouse saja. Dengan lebih mengutamakan pemilik penthouse tentunya.
Aku juga sangat mengetahui jika hanya gedung apartemen ini saja yang bisa menawarkan keamanan privasi tertinggi kepada penghuninya. Sebagai bupati yang ternyata sangat terkenal bukan hanya di daerahnya saja, tapi hampir di seluruh Indonesia, tentu Mas Satya memilih tempat ini sebagai gua pribadinya.
Bawera Palace. Nama gedung ini. Masih satu komplek dengan pusat perbelanjaan terbesar dan hotel bintang 5 paling mewah di pusat kota Bawera. Masih masuk juga dalam jaringan usaha perhotelan milik Adipramana Group yang dikelola oleh keluargaku.
“Sepertinya penthouse ini lebih difungsikan jadi gua persembunyian ya, Mas?” celetukku saat masuk ke penthousenya yang terasa dingin jarang ditempati.
“Lebih sering di sini atau di rumah dinas?” tanyaku.
Mas Satya merangkul bahuku masuk ke dalam penthousenya. Melewati ruangan dengan sofa-sofa besar bermodel kaku, yang kutebak digunakan sebagai ruang tamu. Kami terus masuk menuju ruangan berdesain kasual yang nyaman, dengan sofa santai besar yang diatur menghadap dinding kaca, menampakkan kota Bawera dari ketinggian.
“Dulu di rumah dinas,” katanya. Ia menghelaku duduk berdampingan di sofa.
“Kalau sekarang bakalan lebih sering di sini. Soalnya Kalila juga tinggal di sini.” Ia mengedipkan sebelah matanya kearahku.
Aku menabok lengannya. “Gausah banyak tingkah! Kita di sini mau sharing-sharing, bukan flirting.” peringatku.
Mas Satya mengacungkan dua jarinya tanda damai. “Siap, Ibu Satya.” katanya cengengesan.
Aku melotot kesal kearahnya. Kupukul kesal tubuhnya berkali-kali. Meski tidak sungguhan memukul, Mas Satya berusaha menahan serangan bertubi-tubi yang kulayangkan.
Hingga ia tak kuat lagi menahannya dan jatuh merebah di sandaran kursi yang rendah.
Tubuhku yang tak siap pun juga ikut jatuh menimpa tubuhnya.
“Mmm…” gumamku sembari menggerakkan tubuh menjauh.
Dengan sigap Mas Satya menautkan tangannya di punggungku. Mengunci tubuhku agar tidak bisa bergerak menjauh. Aku menatapnya gugup.
“Kenapa, Sayang?” Ia menatapku lembut.
“Emm… Bisa kita duduk dengan normal?”
Mas Satya menaikkan alisnya. “Bukannya lebih nyaman seperti ini?”
“Ttapi kita kan sedang mau sharing soal pribadi Mas Satya.”
“Bagaimana kalau kita langsung nikah saja, Sayang? Jadi sharingnya bisa lebih banyak lagi. Ga cuma ngomong-ngomong aja.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya gini…”
Mas Satya memajukan wajahnya mendekat, kemudian mengecup bibirku singkat.
Aku mematung.
Ia kembali mendekatkan wajahnya untuk mengecup bibirku, tapi kali ini sambil menempelkan bibirnya lama.
“I love you, Darling.” bisiknya. Dengan bibir yang masih menempel di bibirku.
Setelahnya, ia melepaskan rangkulannya di punggungku. Membuatku langsung menegakkan dudukku, yang diikutinya.
“How, can?” tanyaku terbata. “How can you fall in love with me that fast?”
“Coz you are lovely, Darl.”
“I need an explain!”
“Sure. Bukankah kita di sini untuk sharing-sharing?” tanyanya menggoda.
“Not the type of sharing, Mas.” sergahku yang mengetahui maksud perkataannya.
“Aku tidak menyangka akan langsung berciuman di pertemuan pertama yang bahkan tujuannya adalah berkenalan, bukan kencan.” cibirku.
Mas Satya tertawa. “Itu tadi bukan ciuman, Sayang. Kapan-kapan aku tunjukan bagaimana berciuman itu.”
Aku meliriknya sinis. “Pervert.”
Kembali Mas Satya tertawa keras. Ia menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya.
“Seorang ahli pernah mendefinisikan kalau rasa cinta terbangun atas 3 hal yaitu keintiman, hasrat, dan komitmen.” monolognya.
“Mas sudah merasakan keinginan untuk mendekat secara emosional ketika tahu ada wanita cantik bernama Kalila Adipramana di lingkaran sosial Mas.” Ia menggenggam kedua telapak tanganku.
“Mas juga merasakan ingin selalu mendekat dan bersentuhan fisik secara intim dengan Kalila ketika bertemu secara langsung.” Ia menundukkan kepalanya dan mengecup pelipisku sayang.
“Dan kini Mas ingin menjalin komitmen seumur hidup dengan Kalila, biar cinta yang sudah terpupuk ini bisa tumbuh dan berkembang abadi.” bisiknya di telingaku.
Aku mendongakkan kepalaku, mencari matanya untuk menemukan bahwa apa yang dikatakannya bukan hanya bualan semata.
Dan hanya ketulusan cinta yang dapat kulihat dari keseluruhan ekspresinya.
“Sepertinya benih-benih cinta juga sudah mulai terpupuk pada diriku.” bisikku menatap matanya berani.
Mas Satya tampak mengerjab bahagia.
“Benarkah?” Ia menangkup kedua pipiku.
Aku mengangguk. “Ajari aku memupuk cinta ini agar tetap abadi, Mas.”
Mas Satya merundukkan kepalanya. Bibirnya mencari bibirku untuk dikecup berulang kali.
“Tentu, Sayang. Mas akan ajak kamu memupuk cinta ini agar tetap mekar abadi di dunia kita.”
Kembali ia menunduk untuk menciumku. Kali lebih intens karena ia mulai memberi lumatan-lumatan kecil yang lebih intim.
Dan aku hanya mengikuti setiap pergerakannya, sembari menikmati kepak-kepak kupu-kupu yang beterbangan di perut dan dada.