Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Bertemu Mertua
Mobil Dzaki pun tiba di sebuah rumah mewah berlantai tiga. Saat datang, seorang pria berseragam satpam datang membukakan pintu gerbang. Dzaki membawa masuk mobilnya dan berhenti di cart port yang mungkin cukup jika diisi dengan sepuluh mobil SUV bergaya sport yang besar-besar itu.
Nabila tercengang. Masih tercengang dengan pernyataan Dzaki yang mengatakan bahwa ternyata pernikahan paksa mereka itu direncanakan oleh Dzaki, dan juga tercengang melihat rumah sang mertua ternyata sebesar dan semewah ini.
"Sekali lagi aku minta maaf," sesal Dzaki saat sudah mematikan mesin mobilnya. "Tapi aku bener-bener serius sama kamu, Yang, makanya aku senekat itu. Bayangin, kamu gak kenal aku, aku udah nyimpen rasa sama kamu sejak lama tapi aku gak bisa deketin kamu karena aku mikirnya kamu udah bersuami. Tapi tiba-tiba aku ada di kamar kamu di hotel itu. Dan malam itu kamu lupa buat ngunci pintu kamar. Bukankah itu takdir, Yang? Lagian aku mabuk malam itu, alasannya juga karena aku stress tiba-tiba ngelihat kamu lagi dan aku sadar aku masih belum bisa lupain kamu."
"Ya ampun, Mas..." Nabila tak tahu harus mengatakan apa.
Dzaki menyentuh pipi sang istri. "Dan aku bener-bener bersyukur kamu bisa membalas perasaan aku, Yang. Makasih dan juga maaf ya buat waktu itu," ujar Dzaki tulus. Didekatkannya Nabila kepadanya dan mengecup kening sang istri.
Nabila menghela nafasnya seraya tersenyum tipis setelah Dzaki menjauh darinya. Ia sendiri tak bisa marah atau kesal pada sang suami atas apa yang ia lakukan. Semua yang terjadi memang di luar kendalinya. Semua terjadi begitu saja dan entah bagaimana Dzaki berhasil mengisi hatinya yang sudah lama terasa kosong.
"Siap buat ketemu mertua kamu lagi?" tanya Dzaki kemudian.
Nabila langsung meringis gugup.
"Pasti siap dong. Kan udah beliin ini," ujar Dzaki meraih sebuah paperbag berisi cake premium kesukaan sang mertua yang dibeli Nabila sebelumnya.
"Ya udah, yuk," ujar Nabila.
Kemudian keduanya pun turun dari mobil dan memasuki pintu utama. Nabila kembali tercengang, betapa rumah itu menggambarkan status sosial keluarga suami barunya.
"Assalamualaikum," salam Nabila saat dua orang paruh baya yang pernah ditemuinya, turun dari tangga besar melingkar di pusat ruang tengah.
"Waalaikumsalam, eh menantu kita udah dateng," sapa Dini dengan ramahnya. Kemudian ia menghampiri Nabila.
Nabila tersenyum seraya mencium khidmat tangan kedua mertuanya itu. "Maaf saya baru bisa berkunjung ke sini," ujar Nabila sopan.
"Gak apa-apa, Nak. Papa tahu kamu sibuk kerja. Lagian Mama sama Papa juga baru pulang dari Kuala Lumpur. Jadi kita memang harus baru ketemu sekarang," ujar Anwar.
"Nih, buat Mama dari menantu Mama sama Papa yang paling cantik." Dzaki mengulurkan paperbag yang dipegangnya kepada sang ibu.
"Ya ampun ini 'kan cake kesukaan Mama. Makasih banyak ya. Ayo kita makan siang dulu. Sengaja Mama minta Bi Harti buat masak banyak karena mau nyambut menantu semata wayang kita," ujar Dini semangat seraya merangkul Nabila.
"Jadi ngerepotin, harusnya saya yang menjamu... umm... Mama sama Papa," ujar Nabila sedikit canggung karena belum terbiasa memanggil kedua mertua barunya tersebut.
"Gak apa-apa, lain kali kamu yang harus menjamu Mama sama Papa ya. Gimana rumah yang Dzaki beli? Udah bisa ditinggali?" tanya Dini. Mereka pun tiba di ruang makan dan mereka duduk di kursi-kursi yang menghadap ke sebuah meja dengan berbagai makanan di atasnya.
"Belum, Mah," sahut Dzaki. "Aku pengen ngajak Nabila buat beli furniturnya dulu. Lagian kita buat sementara belum bisa tinggal bareng."
"Kenapa?" tanya Anwar.
"Soalnya Nabila masih rahasiain pernikahan kita dari Hazel," terang Dzaki.
"Iya, Pah, Mah. Maaf saya masih butuh waktu buat bilang sama anak saya tentang pernikahan saya sama Mas Dzaki. Anak saya sangat sayang sama almarhum ayahnya, jadi masih butuh waktu buat Hazel menerima kehadiran Mas Dzaki."
"Mama ngerti. Memang pernikahan ini pasti sulit buat diterima sama dia. Apalagi ayah sambungnya cuma beda tujuh tahun dari dia. Dan yang Mama denger Hazel sangat sayang dan menjaga kamu. Dia pasti perlu waktu."
"Iya, Mah. Makasih Mama dan Papa udah mau ngertiin keadaan saya," ujar Nabila lega.
"Kamu udah membesarkan anak kamu dengan sangat baik, Nabila. Papa salut," puji Anwar.
Nabila hanya tersenyum simpul mendengar pujian itu.
"Mama juga setuju. Kamu seorang ibu yang baik. Makanya, tolong secepatnya, kasih Mama sama Papa cucu, ya? Pasti dia akan sebaik Hazel," ujar Dini dengan semangatnya.
Sontak Nabila dan Dzaki saling tatap dengan malu-malu.
"Loh kenapa kalian malah malu-malu begitu. Papa juga pengen secepatnya punya cucu, karena Papa dan Mama cuma punya anak satu, jadi rasanya pengen cepet ada bayi di rumah ini. Biar gak sepi kalau kita lagi ada di rumah. Iya 'kan, Mah?" timpal Anwar tak kalah semangat.
"Apaan sih Mama sama Papa." Dzaki salah tingkah, "tenang aja. Secepatnya Nabila bakal hamil." Dzaki memegang tangan sang istri dengan bahagia.
Nabila hanya tersenyum. Ia berharap bisa segera mengabulkan keinginan suami dan juga kedua mertuanya itu. Namun dalam hati, Nabila sedikit merasa khawatir. Ia sudah tak muda lagi. Apakah ia masih bisa mengandung di usinya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun?
"Ya udah, yuk sekarang kita makan dulu. Makan yang banyak ya, Bila," ujar Dini.
"Iya, Mah. Makasih banyak," ujar Nabila.
Setelah makan, Nabila dan Dini duduk di dekat kolam renang sambil menyesap teh dan cake yang Nabila bawa. Sedangkan Dzaki dan sang ayah mengobrol di dekat kolam ikan koi di sisi lain beranda belakang rumah itu.
"Bila, Mama ingin berterima kasih sama kamu," ujar Dini serius setelah beberapa saat mereka mengobrol hal-hal ringan.
"Makasih untuk apa, Mah?"
"Makasih karena sepulang dari Bali minggu lalu, Dzaki benar-benar berubah jadi lebih baik. Sejak dia kecil Dzaki memang kekurangan perhatian karena Mama dan Papa sering bepergian untuk mengurus bisnis kami. Dzaki tumbuh jadi anak yang badung. Walaupun sempat boarding school selama dua tahun, kebiasaan Dzaki kembali lagi saat dia kuliah. Kami tahu Dzaki seperti itu karena pengen Mama sama Papa lebih perhatian sama dia. Mama sama Papa merasa kecewa sekali sama Dzaki, tapi di saat yang bersamaan kami merasa bersalah. Makanya kami gak pernah bisa negur dia secara tegas. Tapi setelah menikah sama kamu, Dzaki benar-benar jadi orang yang berbeda. Dia jadi rajin sholat dan ngaji lagi. Dia berhenti ngerokok. Stok minuman yang biasa dia simpan di kulkas, dia buang semua. Dan yang terpenting, dia kerjain lagi skripsinya. Mama bener-bener bahagia sekali. Bersyukur sekali. Mama kira dia gak serius akan beresin skripsinya kalau kami mengizinkan dia menikahi kamu. Ternyata dia tepati janjinya. Sekali lagi, makasih ya, Nak. Mulai sekarang Mama titip Dzaki. Karena kamu jauh lebih tua, tolong berikan Dzaki kasih sayang seorang ibu yang selama ini jarang sekali bisa Dzaki rasakan dari Mama."
"Mama gak usah bilang makasih. Saya juga bahagia bisa menikah sama Mas Dzaki. Saya juga gak nyangka pernikahan yang asalnya saya anggap sebuah paksaan, tapi malah membuat saya dan Mas Dzaki bahagia. Mama dan Papa doakan kami terus ya, supaya kami bisa segera tinggal bersama dan rumah tangga kami dipenuhi keberkahan."
"Mama dan Papa pasti selalu doakan yang terbaik untuk kalian. Kamu juga cepet kasih kabar baik sama Mama dan Papa ya. Mama gak sabar pengen gendong cucu," ujar Dini penuh harap.
Seketika Nabila merasa terbebani. "Insyaa Allah, Mah. Doain aja ya, Mah."
Nabila berniat setelah pulang dari sini, ia akan mengunjungi dokter spesialis kandungan. Ia ingin tahu, kira-kira seberapa besar kemungkinan dirinya untuk bisa mengabulkan keinginan mertuanya.