'GURUKU ISTRIKU, SURGA DUNIAKU, DAN BIDADARI HATIKU.'
***
Dia adalah gurunya, dia adalah muridnya. Sebuah cinta terlarang yang berakar di antara halaman-halaman buku teks dan derap langkah di koridor sekolah. Empat tahun lebih mereka menyembunyikan cinta yang tak seharusnya, berjuang melawan segala rintangan yang ada. Namun, takdir, dengan segala kejutannya, mempertemukan mereka di pelaminan. Apa yang terjadi selanjutnya? Petualangan cinta mereka yang penuh risiko dan janji baru saja dimulai...
--- INI ADALAH SEASON 2 DARI NOVEL GURUKU ADALAH PACARKU ---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Nggak Seberapa
Tyas dan Kaesang menikmati makanan mereka tanpa suara. Hening. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar beradu di sana.
Lalu Tyas menoleh ke Kaesang. Kaesang terlihat tidak menikmati makanannya. Ia hanya memegangnya tanpa memakannya.
"Kenapa Yang, kok nggak dimakan?" tanya Tyas. "Kamu nggak suka?" lanjutnya.
Kaesang menoleh, tersenyum tipis. "Suka kok. Aku suka semua makanan yang kamu suka. Ini enak kok Dear," katanya. Lalu ia memakan sushi yang di pegangnya dengan sedikit terpaksa.
Bibirnya sedikit bergetar, matanya menyipit samar, dan alisnya mengerut.
Tyas intens menatap Kaesang, lalu ia menggeleng. "Kalo kamu nggak suka bilang aja Yang, kamu bisa pesen yang lain. Nggak usah di paksa gitu," katanya.
Tapi Kaesang tidak mendengar. Ia tetap memakan sushinya hingga habis. Lalu ia menyeruput minumannya dengan sedikit tergesa.
"Segernya!" seru Kaesang. Seperti baru saja memakan makanan pedas, setelah air di gelasnya menyentuh tenggorokannya, rasanya sangat segar dan dingin. Bagaikan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, rasanya sedikit lebih sejuk.
"Kamu kenapa maksa gitu sih Yang?" tanya Tyas, masih menatap Kaesang, lalu matanya menyipit.
Kaesang menoleh. Terkekeh. "Sebenarnya kalau boleh jujur aku itu nggak terlalu suka sama makanan Jepang. Enak sih tapi aku nggak terlalu suka sama rasanya. Contohnya sushi ini, aku nggak suka sama salmon di dalamnya sama rumput laut. Rasanya agak amis," ungkap Kaesang.
Tyas menghela napas kasar. "Yang Yang, sushi itu emang isinya kayak gini. Ada salmonnya dan lain-lain terus bungkusnya itu rumput laut. Kamu aneh banget deh. Kalau nggak suka ya bilang aja. Kamu bisa pesan yang lain daripada maksa gini," kata Tyas. Lalu menggeleng berulang.
Kaesang menepuk tangannya dua kali, setelah itu seorang pelayan datang.
"Mau tambah lagi Mas?" tanya pelayan itu ramah.
Kaesang menoleh ke pelayan itu. "Disini ada menu lain selain makanan Jepang nggak?" tanyanya.
Pelayan itu tersenyum manis, lalu mengangguk sopan. "Ada mas. Makanan Eropa, Indonesia kami juga menyediakannya. Masnya mau pesan apa?" tanyanya.
Kaesang mengangguk. Menoleh singkat ke Tyas, tersenyum manis, lalu kembali menoleh ke pelayan.
"Ehm, honey jam paste, spicy teriyaki sauce, sama minumannya cappuccino hangat. Ada?" tanya Kaesang. Ia memang terbiasa dengan makanan barat. Bahkan menyukainya.
Pelayan itu berpikir sejenak, lalu tersenyum dan mengangguk ramah. "Ada mas. Mau pesan itu saja?" tanyanya lagi.
Kaesang hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya pelayan itu berbalik dan pergi. Meninggalkan meja mereka kembali ke dapur restoran.
"Yang," panggil Tyas. Sedari tadi ia menatap Kaesang, intens.
Kaesang menoleh, sedikit bingung melihat tatapan Tyas. "Kenapa, kok kamu natap aku gitu banget?" tanyanya.
Tyas menggeleng. "Nggak ada. Aku cuma heran aja lihat kamu yang suka banget sama makanan barat. Sementara makanan Jepang kamu nggak suka," jawabnya.
Kaesang terkekeh. "Udah terbiasa aku soalnya sama makanan Barat. Dari dulu aku selalu makanan barat kalo keluar. Kamu sendiri udah terbiasa makan makanan Jepang? Perasaan tiap kita makan bareng aku nggak pernah lihat kamu makan makanan Jepang," heran Kaesang.
Sejenak Tyas tampak berpikir. Menatap ke arah lain restoran. Lalu ia kembali menatap Kaesang, mengangguk perlahan. "Aku suka cuma jarang makan aja. Makanan Jepang mahal, daripada aku cuma buang-buang uang demi makan makanan Jepang, lebih baik aku makan makanan yang sehat tapi murah kan? Aku dulu nabung buat renovasi rumah dan membantu ayah jadi tulang punggung," jelas Tyas.
Mukanya berubah sedih saat mengingat kehidupannya dahulu sebelum kenal dan menikah dengan Kaesang.
Kaesang mendengarkan cerita Tyas dengan seksama. Lalu ia meraih tangan Tyas yang tergeletak di atas meja. "Sekarang kamu nggak usah pikirin soal itu ya. Biar aku yang bekerja dan jadi tulang punggung buat kamu dan orang tua kamu. Ehm, orang tua kita. Aku akan segera menyelesaikan kuliahku dan bekerja. Aku nggak akan membuat kamu susah Dear. Aku akan berjuang buat kamu," janji Kaesang.
Tatapan Kaesang yang serius tapi lembut. Ucapan janjinya membuat Tyas terharu, matanya berkaca-kaca. Sungguh ia merasa sangat bahagia hari ini. Memiliki suami seperti Kaesang yang sangat mencintainya, membuatnya merasakan cukup dalam segala hal.
"Makasih Yang. Makasih karena udah mau berjuang buat aku dan keluarga aku," balas Tyas terharu, matanya berkaca-kaca. Suasana haru benar-benar menyentuh hatinya.
Tak lama makanan pesanan Kaesang datang. Kaesang yang sudah lapar segera memakan makanannya dengan lahap. Tyas pun juga melanjutkan makannya, sampai akhirnya makanan mereka habis.
Kaesang membayar makanan mereka, lalu menggandeng tangan Tyas keluar dari restoran.
Mereka kembali menaiki mobil yang tadi mereka naiki, terparkir di parkiran restoran.
Setelah Kaesang dan Tyas naik, mobil pun berangkat menuju ke rumah utama Kaesang, mengantarkan mereka pulang.
Tak lama tibalah mereka di depan pintu gerbang besar rumah Kaesang. Setelah menekan klakson beberapa kali gerbang pun terbuka, mobil meluncur masuk dan berhenti di depan teras.
Kaesang membantu melepaskan sabuk pengaman Tyas. Lalu mengambil kesempatan untuk mencium bibirnya.
Tyas terkejut melihat tindakan spontan Kaesang. Tapi kemudian pipinya bersemu merah.
"Ayo Dear," ajak Kaesang.
Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang bodyguard yang berjaga. Mereka keluar dari mobil, dua orang bodyguard melongok masuk ke dalam mobil mengambil barang bawaan Kaesang dan Tyas.
Mereka berjalan menuju pintu, lalu mengetuknya.
Tiga kali mengetuk pintu terbuka dari dalam. Seorang art menunduk hormat ke Kaesang, lalu memberi jalan untuk mereka masuk.
Kaesang, Tyas dan dua bodyguard di belakang melangkah masuk. Para bodyguard itu meletakkan barang bawaan Tyas dan Kaesang di sofa ruang tamu. Lalu mereka meminta izin untuk keluar.
Kini tinggallah Kaesang dan Tyas di ruang tamu. Para art kembali ke tempat mereka yakni di dapur.
Tyas duduk di sofa, sementara Kaesang berdiri dan menatap ke arah tangga. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu lagi mikirin apa sih Yang? Duduk sinilah samping aku," pinta Tyas, setelah melihat Kaesang terus berdiri dan menatap ke arah tangga.
Kaesang menoleh ke Tyas, raut wajahnya masih sama. "Papa sama mama kemana ya Dear? Kok mereka nggak nyambut kita? Aneh banget. Tadi aja Mama yang paling semangat nyuruh kita cepetan pulang. Eh, sekarang giliran kita dah sampe mereka malah nggak ada. Kemana sih mereka?" tanyanya, matanya celingak-celinguk mencari keberadaan kedua orang tuanya yang entah ke mana.
Tyas berdiri, menghampiri Kaesang. "Mungkin mereka lagi keluar Yang. Udahlah duduk aja dulu. Kita kan habis perjalanan jauh, pasti capek. Yuk, duduk dulu," ajak Tyas.
Ia meraih tangan Kaesang, mengajaknya untuk duduk di sofa bersamanya.
Kaesang menurut. Ia duduk di samping Tyas. Lalu mereka terlarut dalam obrolan hangat hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Beberapa menit berselang, mereka masih duduk di sana.
Papa dan mama Kaesang belum juga terlihat.
"Dear, kayaknya aku tau kemana papa sama mama pergi," kata Kaesang setelah mereka tertawa bersama.
"Kemana emangnya?" tanya Tyas.
"Ayo ikut aku." Kaesang berdiri, menarik tangan Tyas untuk ikut berdiri. Kaesang mengajak Tyas menaiki tangga, menuju ke lantai atas.
Setibanya di atas, Kaesang membawa Tyas melewati lorong panjang, lalu berbelok dan berhenti di depan sebuah kamar yang berada di ujung lorong. Kamar dengan pintu berwarna emas dan terdapat beberapa ukiran unik di sana.
"Ini kamar siapa Yang?" tanya Tyas penasaran.
Kaesang menyeringai, matanya tak lepas dari pintu. Tyas ikut menoleh ke arah yang sama. "Kamar papa sama mama. Kamu bisa nebaklah Dear mereka ngapain aja di dalam sana. Pasti mereka lagi ngelakuin itu. Aku yakin banget," kata Kaesang yakin.
Tyas hanya bengong menatap pintu kamar kedua mertuanya.
Lalu...
"Tyas, Kaesang, kalian udah dari tadi?"
Spontan Tyas dan Kaesang menoleh. Di belakang mereka berdiri kedua orang tua Kaesang. Mereka tampak seperti habis memasak. Ada apron yang terikat di tubuh mama Zora.
"Mama sama papa habis dari mana?" tanya Kaesang, sedikit curiga.
Mama Zora tersenyum manis, melangkah maju dan berdiri di depan Kaesang dan Tyas. "Mama habis masak sama papa kamu Kae. Kita pengen masakin kamu sama Tyas sesuatu. Kamu ngapain ada di depan kamar mama sama papa?" tanyanya heran.
"Kamu ngiranya kita ada di dalem kan? Dasar, pikiran kamu kesana mulu," timpal papa Indra, lalu menggeleng.
Tyas tersenyum manis, melingkarkan tangannya di lengan Kaesang. "Kita tadi udah terlanjur makan Ma di restoran. Kita laper jadinya mampir bentar sebelum pulang," ungkap Tyas.
Saat akan menjawab, tiba-tiba dari arah lain terdengar suara langkah kaki mendekat, diiringi suara cempreng seorang art mereka. Mbok Inah.
"Tuan, Nyonya. Maaf mengganggu waktunya, di depan ada tamu yang nyariin kalian," kata Mbok Inah, napasnya sedikit terengah-engah.
Semuanya sontak menoleh ke mbok Inah.
"Siapa Bi?" tanya Papa Indra.
Mbok Inah terlihat bingung. Tidak juga menjawab pertanyaan Indra.
Setelah beberapa saat barulah ia menjawab, "Saya ndak tau Tuan. Tapi dia perempuan, mungkin seumuran Nyonya Zora. Orangnya cantik, kelihatan kayak bangsawan gitu. Tadi saya udah nyuruh orangnya masuk dan duduk. Saya nawarin minum, tapi orangnya menolak. Katanya minta ketemu sama Tuan dan yang lain," jelasnya.
Papa Indra dan yang lain mengangguk, lalu saling menatap sebelum akhirnya pandangan Papa Indra kembali tertuju pada Mbok Inah.
"Ehm, makasih ya mbok infonya. Mbok bisa kembali lagi ke belakang siapin minuman buat tamu. Biar kita ke depan buat temuin tamu itu," kata Indra.
Mbok Inah mengangguk cepat. "Baik Tuan. Saya permisi dulu," katanya, lalu berbalik dan turun ke dapur untuk membuatkan minuman seperti yang di perintahkan.
"Kira-kira siapa ya Ma? Ehm, Yas, Kae, kalian bisa istirahat dulu. Biar papa sama mama yang ke depan temuin tamu itu," ujar Indra, menoleh ke Tyas dan Kaesang.
Mereka mengangguk serentak. "Yaudah Pa, Ma, kita ke kamar dulu ya, mau bersih-bersih sama istirahat. Yuk, Dear."
Kaesang mengajak Tyas ke kamarnya, meninggalkan papa dan mama Kaesang yang masih berdiri di tempat mereka.
"Yuk Ma kita turun," ajak papa Indra ke istrinya.
Mama Zora mengangguk. Lalu mereka pergi dari sana, menuruni tangga menuju ke ruang tamu. Sesampainya di sana mereka menemukan seorang wanita yang sangat familiar bagi mereka sedang duduk dan menyilakan kedua kakinya.
Wanita itu terlihat elegan dan anggun. Zora dan Indra mendekat, lalu duduk tidak jauh dari wanita itu.
"Mbak Eleonor?" panggil Indra.
Wanita itu menoleh, sudut bibirnya perlahan terangkat, memperlihatkan senyum tipis yang begitu menawan.
"Mas Indra, mbak Zora, bagaimana kabarnya? Lama kita tidak bertemu," tanya wanita itu, Eleonor.
Mama dari perempuan yang dulu pernah hampir di jodohkan dengan Kaesang. Reina. Eleonor adalah mamanya. Orang yang paling berambisi dalam perjodohan itu.
Zora terlihat tidak nyaman dengan kedatangan Eleonor ke rumahnya. Sementara Indra yang juga merasakan hal yang sama berusaha seramah mungkin dan tersenyum tipis.
"Baik. Mbak sendiri bagaimana kabarnya?" tanya Indra seadanya.
Eleonor tersenyum, tapi matanya berkilat tajam. Tangannya pun tampak mengepal di bawah sana.
"Bad. Very bad. Saya kesini karena ada yang ingin saya katakan sama kalian. Terutama kaesang. Dimana Kaesang? Apa dia tidak ada di rumah?" tanya Eleonor terkesan memaksa.
Papa Indra terdiam sejenak, lalu menoleh ke isterinya. Zora menggeleng. Lalu papa Indra kembali menoleh ke Eleonor.
"Ada keperluan apa mbak sama Kaesang? Dia sedang sibuk, tidak bisa di ganggu," kata Indra berbohong.
Eleonor menghela napas kas4r, memutar bola matanya. "Kalian tidak perlu berbohong. Kaesang pasti--"
"Ma, Pa, tamunya siapa? Kok tadi aku denger ada nyebut nama aku?" tanya Kaesang tiba-tiba.
Semuanya terkejut melihat Kaesang yang tiba-tiba muncul. Terlebih Eleonor. Tatapannya yang setajam pisau tertuju lurus ke Kaesang.
"Kamu lupa sama saya Kae?" tanya Eleonor.
Kaesang menoleh ke Eleonor. Sejenak pikirannya loading, dia lupa siapa wanita yang duduk di sana. Tapi kemudian matanya melebar. Dia ingat!
"Tante...Tante bukannya mamanya Reina ya? Untuk apa Tante datang kesini?!" tanya Kaesang sedikit ketus. Ia duduk di sebelah papa dan mamanya, menatap tajam ke arah Eleonor.
"Saya---"
"Yang," panggil Tyas. Tiba-tiba ia datang dan terkejut melihat Kaesang yang sedang marah.
Semua atensi langsung tertuju pada Tyas. Termasuk Eleonor. Matanya memicing menatap Tyas. Ia menatap Tyas dari ujung rambut hingga kaki.
"Jadi ini wanita yang Reina bilang pacar Kaesang," batin Eleonor. "Nggak seberapa. Kalo sama Reina ya jelas cantikkan Reina kemana-mana. Modelannya aja kampungan gini, udah tua juga. Ternyata seleranya Kaesang nggak banget! Jelek!" lanjut Eleonor di dalam hati.
Mengejek dan meremehkan Tyas. Ia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, mendengus kesal.
"Kenapa Dear?" tanya Kaesang, lalu berdiri dan menghampiri Tyas.
"Ah, aku..."
Bersambung ...