"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 19
Saat jam makan siang tiba, Gladys merapikan barang-barangnya di atas meja. Ia harus pergi ke kampus siang ini karena kemarin dosen meminta Gladys untuk menjadi pembicara tamu untuk kelas adik tingkat tentang diskusi santai pengalaman magang.
Sebelumnya Gladys sudah izin ke pihak HRD dan juga Gustav. Perempuan itu bergegas turun ke lobi, di lobi dia bertemu dengan Gustav juga Asisten Nick yang sama-sama mau keluar kantor.
Gladys menghampiri pria itu yang berdiri di dekat sofa menunggunya. Kebetulan sekali tidak ada siapa pun di lobi selain mereka.
“Aku mau pergi ke kampus sekarang,” ucap Gladys melapor. Gustav mengangguk.
“Berangkatlah dengan Nick,” ujar Gustav menunjuk Nick dengan matanya.
Gladys mengangguk, ia pamit masuk ke dalam mobil Nick lebih dulu. Gustav memberi wejangan terlebih dahulu pada Nick sebelum ia mengantar Gladys pergi.
“Ingat, jangan menyentuhnya, jangan menatapnya terlalu lama dan jangan bicara terlalu akrab dengannya,” peringat Gustav.
“Baik, Pak,” jawab Nick mengangguk.
***
Sesampainya di kampus, Gladys keluar dari mobil Nick tanpa mengatakan apapun dia bergegas menuju aula, yang biasa di pakai oleh kampus untuk melakukan seminar.
“Gladys!” panggil seseorang dari belakang.
Seorang lelaki tinggi mengenakan sweater biru tua dan kaca mata bulat mengejar langkahnya.
“Mau ke aula juga?” sapa Nathan tersenyum ramah, mahasiswa fakultas teknik yang paling populer di angkatannya.
“I—iya, nih. Kamu mau ke situ juga?” Gladys mengangguk gugup, Nathan itu sosok yang keren, selain populer karena ketampanannya Nathan juga mahasiswa berprestasi dan lembut, Gladys menyukainya diam-diam semenjak masuk kampus.
Mereka kemudian berjalan beriringan. Gladys berdehem menetralkan kegugupannya. Ia dan Nathan tidak begitu akrab tapi Gladys selalu mengagumi sosok Nathan begitu pun sebaliknya, Nathan menyukai Gladys tapi tidak mau mengajaknya pacaran karena ingin fokus pada studinya.
“Kamu di undang sebagai pembicara juga ya?” tanya Nathan basa-basi.
“Benar, aku habis dari kantor tadi langsung ke sini.”
“Bagaimana rasanya kerja di Serenova?” tanya Nathan lagi Gladys menatapnya bingung.
“Kamu tahu dari mana aku magang di sana?” Nathan gelagapan, gawat dia keceplosan, bisa-bisa Gladys tahu kalau selama ini Nathan men-stalkingnya.
“Eng ... itu ... anu, aku gak sengaja dengar dari temen, katanya kamu dan Mita lolos magang ke Serenova, keren loh susah masuk ke sana,” ucap Nathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh, jadi gitu.” Gladys mengangguk paham.
Nathan mengelus dada lega karena Gladys tidak curiga.
“Jadi gimana rasanya?” tanya lelaki itu penasaran.
“Emm ... ya enggak gimana-gimana biasa aja,” jawab Gladys menggendikkan bahu.
“Pasti banyak yang deketin kamu ya di sana,” ujar Nathan kecewa, gadis secantik dan sepopuler Gladys mana mungkin tidak ada yang mendekati.
“Banyak tapi aku tolak,” sahut Gladys. Ia menoleh pada Nathan di sampingnya. “Mereka bukan tipe aku,” tambahnya lagi.
Nathan diam-diam menarik sudut bibirnya ke atas, lelaki itu membasahi bibirnya yang kering dengan lidah.
“Terus tipe kamu seperti apa? Barang kali aku masuk kriteria cowok idaman kamu, haha,” kelakar Nathan, kedua lesung pipinya terlihat saat ia tertawa, manis sekali, Gladys sampai berdebar melihatnya.
Sebenarnya Nathan ini tipe Gladys sekali, ganteng, pintar, ramah, dan soft spoken tapi sayangnya ia takut Gustav kalau berani mendekati Nathan.
“Yang jelas bukan kayak kamu,” ucap Gladys bohong.
Langkah Nathan terhenti, senyumnya seketika surut. Lelaki muda itu menatap kecewa punggung Gladys yang sudah menjauh.
“Padahal kamu tipeku banget,” gumamnya pahit.
***
“Apa? Gustav berangkat ke kantor bersama anak magang!” teriak Brica tidak terima.
“Benar, gosip ini lagi hot banget di kantor,” jawab seorang gadis cantik menyilangkan kakinya angkuh.
Jangan-jangan anak magang itu kekasih yang dia sembunyikan, batin Brica curiga.
“Siapa nama anak magang itu?” tanya Brica.
“Gladys, Gladys Anastasya,” jawab Fellycia. Gadis itulah yang memberikan informasi pada Brica.
Brica menyuruh Fellycia mengawasi Gustav di kantor dan melaporkan segala sesuatu tentang pria itu padanya. Sudah Brica bilang bukan, bahwa dia akan mengejar semua yang dia suka dengan cara apapun itu.
“Gladys? Aku seperti pernah mendengar nama itu di suatu tempat,” gumam Brica berusaha mengingat.
Fellycia mendengus. “Gladys itu sainganku sejak SMA. Anak yatim piatu sok pintar dan sok cantik,” gerutunya.
“Ah, pantas saja aku merasa tidak asing,” celetuk Brica.
“Menurutku ya, Brica. Kamu harus kasih peringatan pada Gladys agar dia tidak berani dekat-dekat lagi dengan Gustav, dia itu licik, bisa saja Gladys memanfaatkan Gustav karena Gustav kaya,” ujar Fellycia memengaruhi pikiran Brica licik.
Jika Fellycia berhasil menarik Brica ke sisinya maka menghancurkan Gladys bukanlah hal sulit lagi baginya, si ular licik itu tidak akan bisa berkutik di hadapan seorang Brica.
Brica mengangguk setuju, ia melihat Gladys sebagai ancaman bagi masa depannya dengan Gustav, ia harus segera menyingkirkan ancaman itu agar Gustav hanya fokus padanya.
“Kamu benar Fellycia, aku harus memperingatkan gadis itu agar jangan coba-coba dekat dengan Gustav, gadis yatim piatu miskin sepertinya tidak pantas bersanding dengan orang se hebat Gustav-ku,” tekad Brica. Fellycia tersenyum senang akhirnya sekarang dia memiliki sekutu.
“Apa kamu punya rencana?” tanya Brica pada Fellycia yang sejak tadi duduk tenang.
“Tentu saja punya, sini-sini.” Fellycia meminta Brica mendekat, gadis sombong itu membisikan rencana jahatnya.
“Apakah itu tidak terlalu kejam?” tanya Brica ragu. Rencana yang dibisikkan oleh gadis itu terdengar terlalu sadis di telinganya.
Fellycia menggeleng meyakinkannya. “Percaya saja padaku, setelah ini pasti Pak Gustav akan benci padanya dan kau bisa mendekati Pak Gustav dengan mulus.”
Wanita itu akhirnya mengiyakan ajakan Fellycia karena tekadnya untuk memiliki Gustav sudah terlalu besar, dia rela melakukan apapun termasuk mempertaruhkan reputasinya sendiri.
“Baiklah, aku setuju.”
***
Sesi diskusi santai terkait pengalaman dunia magang dengan adik tingkat berakhir pada pukul lima sore.
“Sekali lagi kami ucapkan terima kasih pada kak Gladys Anastasya dan Kak Nathan Sinclair karena sudah menyempatkan waktu untuk menjadi narasumber dan memberikan tips and trik seputar kuliah dan magang,” ucap MC memberikan terima kasih pada Gladys juga Nathan diikuti oleh tepuk tangan para peserta.
Kedua mahasiswa itu tersenyum ramah. Nathan mengangkat mikrofon, mengucapkan terima kasih balik.
“Saya dan Gladys juga berterima kasih sudah mengundang kami berdua sebagai pembicara hari ini, semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik dan sukses ke depannya.”
“Aamiin,” jawab para peserta diskusi serentak. Acara pun berakhir.
Nathan turun dari atas panggung sementara Gladys berpamitan pada dosen dan MC, saat hendak turun Nathan mengulurkan tangan padanya.
“Sini biar aku bantu,” ucap lelaki itu. Gladys menerima uluran tangan Nathan karena memang agak susah turun sebab tangga panggung cukup tinggi.
“Terima kasih,” ucap Gladys.
“Kamu pulang ke mana? Mungkin aja kita se arah jadi kita bisa barengan.”
“Enggak usak enggak usah,” tolak Gladys menggeleng-geleng. Bisa habis dia berani pulang di antar oleh Nathan.
Perempuan itu tersenyum halus mengeluarkan ponselnya dari saku.
“Aku sudah pesan taxi, bentar lagi nyampe,” ucap Gladys.
Nathan tersenyum masam, gagal deh dia mendekati pujaan hatinya. Nathan sangat menyesal tidak pernah mendekati Gladys dari dulu, sekarang Gladys menghindari semua pria yang mencoba mendekatinya, mungkin saja itu ia lakukan karena sudah memiliki kekasih, pikir Nathan.
“Yaudah aku duluan ya, bye,” pamit Nathan.
“Bye.” Gladys melambaikan tangan sekilas. Ia bisa merasakan kekecewaan di mata Nathan karena Gladys pun merasakan hal yang sama.
“Nathan kamu itu tipe aku banget tahu, seandainya orang tuaku masih ada dan hidupku baik-baik saja aku pasti nerima kamu,” sesal perempuan itu menghembuskan napas kecewa.
Ting!
Notifikasi dari taxi Online yang dia pesan tadi mengabarkan jika taxi nya sudah sampai, ia langsung menuju ke depan kampus.
Dari jauh Gladys melihat mobil kuning logo taxi Online parkir, setelah melihat pelatnya sama dengan yang tertulis di aplikasi Gladys segera masuk ke dalam.
“Maaf ya Pak, saya agak lama tadi dari toilet,” ucap Gladys menunduk melepas sepatunya yang gerah.
“Ga papa Mbak, saya juga baru sampai.”
“Eh?” Gladys mendongak, suara itu ... terdengar tidak asing baginya. Si sopir tersenyum, menoleh ke belakang sambil membuka masker dan topinya.
“George?”