Cinta yang habis di orang lama itu, nyatanya bukan karna belum move on, tapi karna dia punya ruang tersendiri.
-anonim-
Kisah cinta pertama yang harus berakhir bukan karena tidak lagi saling mencintai.
"Aku terdiam menutup mataku, berpikir apa yang akan kukatakan. Akhhh Malika... kenapa ini begitu sulit? Tuhan tau betapa keras usahaku untuk melupakanmu, tapi sepertinya kini hanya dinding yang ada di hadapanku. Dulu ada satu titik, kita yakin pada kata selamanya, saat kamu meninggalkanku, rasanya aku menjadi seperti zombie. Aku yakin aku telah melewatinya tapi melihatmu kembali dihadapanku, kenapa aku jadi menggila seperti ini?."
Full of love,
From author 🤎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom fien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Aku ikut bersama keluarga Carlo mengantar Carlo melakukan pemeriksaan di IGD. Aku tidak berani ikut masuk ke dalam dan hanya menunggu duduk di kursi ruang tunggu.
"Carlo bagaimana tante?", mama Carlo datang menghampiriku.
"Ga apa apa Ka, hanya butuh jahitan saja".
"Aku sungguh minta maaf tante, semua ini salahku, maaf tante".
"Kamu juga terluka kan Ka?".
"Aku ga apa apa".
"Bagaimana ceritanya bisa seperti ini Ka?".
Aku menceritakan kejadiannya, tanpa ada yang aku kurangi sedikitpun.
"Ok baiklah".
"Tante aku pamit pulang dulu, besok aku akan kembali menjenguk Carlo dan meminta maaf pada om".
"Ya baiklah", ucapnya pelan tanpa menatap mataku.
Aku mengerti akan sikapnya, orangtua mana yang rela melihat anaknya disakiti.
Aku pulang menggunakan taksi, di dalam taksi aku menelepon mama, mengatakan sekilas apa yang terjadi.
"Ma aku akan ke rumah tante Mur setelah mengambil barang-barangku ya ma".
"Baiklah, hati-hati sayang".
Sesampainya di rumah tante Mur, aku berlari ke dalam pelukan mama sambil menangis menceritakan kejadian itu.
Keesokan paginya aku dan mama sudah berada di rumah Carlo, ia masih tidur dikamarnya. Kami memang sengaja datang pagi, karena lebih ingin meminta maaf pada keluarga Carlo.
Begitu kami dipersiapkan duduk oleh orangtua Carlo, aku berlutut di hadapan mereka dan berkata,
"Maafkan aku om dan tante, karena telah membuat Carlo terluka seperti itu".
Mama Carlo membangunkanku dan memintaku duduk di sofa.
"Semua sudah terjadi, kami tidak akan menuntut apapun", ucap papa Carlo.
"Aku berjanji akan menjauhi Carlo, agar ini tidak terulang lagi ke depannya", ucapku sambil menangis.
Orangtua Carlo hanya terdiam mendengarku.
"Saya tau kelakuan suami saya memang tidak bisa dimaafkan, namun saya tetap meminta maaf untuk apa yang telah terjadi. Kami akan segera pindah ke Jawa Tengah, terima kasih banyak karena telah menerima Malika dengan baik selama ini".
Ada jeda dalam percakapan itu, keluarga Carlo tetap terdiam mendengarkan ucapan mama.
"Mohon maaf sebelumnya jika saya tidak sopan, namun izinkan saya mengganti biaya rumah sakit Carlo kemarin", ucap mama lagi.
"Saya tau anak saya mencintai Malika dengan tulus, saya akan bersalah pada Carlo jika menerima uang itu", ucap papa Carlo.
Mama Carlo tidak berkata apapun, namun ia mendorong kembali amplop coklat yang mama letakkan di meja ke arah mama, sambil mengangguk, mengatakan dalam tindakannya bahwa ia setuju dengan suaminya.
Mama mengambil amplop itu lagi sambil berkata,
"Sekali lagi kami meminta maaf, saya tau sebanyak apapun kata minta maaf kami, tidak akan mengobati luka yang Carlo terima, tetapi kami sungguh meminta maaf. Kami pamit dulu semoga Carlo segera membaik".
"Aku minta maaf om tante", air mata masih terus mengalir membasahi pipiku.
POV Carlo.
Aku bangun siang hari itu, badanku masih terasa sakit akibat pukulan kemarin. Aku menerima jahitan di pelipis mataku, tulang hidungku juga retak, sisanya beberapa lebam di bagian tubuhku.
Aku segera mengecek HP ku, namun tidak ada pesan masuk dari Malika. Aku memikirkan bagaimana dengan keadaannya, aku ingat ia juga menerima beberapa pukulan, mungkin ia juga sedang menenangkan diri di rumahnya atau mungkin rumah tante Mur.
"Malika apa kamu baik-baik saja?", begitu bunyi pesanku.
Namun pesan itu hanya centang 1. Mungkin ia ingin menyendiri dulu pikirku, aku akan menghubunginya sore atau nanti malam saja, kataku dalam hati.
Kutunggu status pesanku berubah hingga malam, kulihat jam dinding kamarku menunjukkan pukul 8 malam. Perasaanku sungguh tidak enak mengenai ini.
Aku turun ke lantai bawah, kulihat papa baru pulang kantor.
"Kamu mau kemana Lo?", tanya papa.
"Pa ma, aku keluar bentar ya, aku mau ke rumah Malika, dari tadi pesan aku cuma centang 1".
"Udah malam Lo, besok aja cari Malika nya", ucap mama.
"Aku khawatir ma, kemarin Malika juga dipukul sama papanya, aku hanya ingin lihat keadaanya sebentar aja".
"Malika mungkin sudah ga ada dirumahnya Lo, besok pagi aja kamu carinya", ucap mamaku lagi.
"Sebentar aja ma, aku cuma mau cek sebentar, kalau dia udah ga tinggal disitu, seengganya besok aku tau harus cari kemana ma", aku memohon kepada mama.
"Sudah biarkan dia", ucap papa.
Akhirnya aku diizinkan keluar. Aku berjalan pelan karena masih merasakan sakit pada tubuhku. Kulihat rumah Malika gelap, kuintip jendela rumahnya, sepertinya benar apa kata mama, Malika mungkin saat ini berada di rumah tantenya.
Aku melangkahkan kakiku kembali ke rumah.
Aku masih menunggu pesan Malika, namun sampai pagi ini semua pesanku masih centang 1. Sengaja aku bangun pagi hari ini, kulihat papa dan mama belum berangkat kerja ke kantor.
"Pa ma apa Malika mengatakan sesuatu saat di rumah sakit kemarin? Sampai pagi ini ga ada kabar dari Malika".
Mama melihat kearah papa seakan menanyakan persetujuan, kemudian papa berkata,
"Sudah saatnya dia tau", ucap papa singkat.
"Duduk Lo", mama memintaku duduk disampingnya.
"Kemarin pagi Malika dan mamanya datang ke rumah, mereka meminta maaf atas kejadian ini. Malika berkata ia akan memastikan bahwa kejadian ini tidak akan terulang lagi", kemudian mama terdiam seakan bingung harus berkata apa.
"Maksudnya bagaimana ma? Malika hanya pergi ke rumah tantenya kan ma?".
Mama menggelengkan kepalanya.
"Mereka berkata akan pergi tinggal ke Jawa Tengah", jawab mama.
"Iya Carlo tau Malika mau ikut mamanya tinggal disana tapi nanti saat kuliah, itu juga masih kemungkinan".
"Bukan nanti Carlo, tapi sekarang", ucap mama.
"Apa kamu tidak mengerti maksudnya Carlo, atau kamu menolak untuk mengerti?", tanya papa.
"Malika ga mungkin pergi begitu aja pa! iya kan ma?".
"Maafkan mama Carlo".
Aku bangkit berdiri hendak menuju rumah Malika lagi, dia tidak mungkin pergi begitu saja pasti ia hanya membutuhkan waktu sendiri sebentar, ucapku dalam hati.
"Carlo coba pikir, Malika mematikan HP nya dari kemarin kan, apa menurutmu itu berarti ia akan mau menemuimu?", tanya papa.
Aku tidak perduli dengan perkataan papa, aku tetap keluar menuju rumah Malika. Kulihat tidak ada perubahan pada rumahnya, masih sama seperti terakhir aku mengeceknya, tidak ada tanda tanda Malika pernah pulang. Aku kembali ke rumah dan mengambil jaketku.
"Kamu mau kemana Lo?", tanya mama.
"Ke rumah tante Mur", jawabku singkat sambil membereskan isi tasku, meletakkan dompet dan HP ku.
"Tidak hanya kemarin, Malika sudah mengatakan hal sama sejak kamu di rumah sakit Lo".
"Kenapa mama baru bilang sekarang ma?!", tanyaku marah.
"Karena mama tau kamu pasti mencarinya, meskipun dengan keadaan kamu yg seperti ini bukan?".
"Ya, kalau begitu jangan hentikan aku pergi sekarang".
"Baiklah mama antar kamu ke rumah tante Mur", ucap mama pasrah.
Sesampainya disana aku hanya bertemu dengan tante Mur, ia mengatakan bahwa Malika dan mamanya sudah tidak berada di rumahnya lagi.
Aku memohon, bahkan aku berlutut padanya, tapi tante Mur tetap berkata bahwa ia tidak tau dimana mereka saat ini.
Mama membawaku pergi dari rumah tante Mur. Di dalam mobil aku memejamkan mataku, dan menahan air mataku.
"Carlo, sebaiknya beri kesempatan untuk kalian menenangkan diri dulu Lo. Malika tidak akan mau bertemu denganmu saat ini. Mungkin keadaan akan membaik nanti, beri kesempatan pada waktu untuk memulihkan hubungan kalian Carlo".
"Ma, Malika tidak bersalah apapun, aku yang salah ma. Aku yang memintanya ciuman itu ma. Lagipula kami tidak pernah melampui batas ma, aku bukan cowok brengsek ma".
Dalam tangisku, aku mendengarkan perkataan mama, mataku masih terpejam merenungi apa yang baru saja terjadi? Apa yang akan aku lakukan selanjutnya? Bagaimana keadaannya saat ini? Aku yakin ia juga pasti sedang menangis sepertiku sekarang. Mungkin benar apa kata mama, aku harus memberikan kesempatan kepada waktu, jika sudah tenang mungkin ia akan kembali padaku.