Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Adinda sebenarnya belum mengantuk tapi dia berpura-pura tertidur karena dia masih was-was dan rada-rada khawatir tidur seranjang dengan pria dewasa.
“Lama banget om Baruna tidur, padahal aku sudah pura-pura ketiduran,” sungutnya dalam hati.
Untungnya sandiwara tidurnya dipercayai oleh Baruna sehingga Baruna sudah tertidur.
Adinda sebelum terlelap memastikan bantal pemisah mereka masih terpasang bagus dan aman.
“Aman sudah, waktunya tidur,” batinnya Adinda ketika dia membuka matanya dan melihat ke arah Baruna yang sudah mendengkur halus.
Sudah pukul lima pagi, barulah kedua pengantin baru itu terbangun dari tidurnya. Baruna yang lebih duluan bangun dibuat melongo tak Owe dengan apa yang dilakukannya.
Baruna mendapati tangannya menempel pas di bagian terindah istrinya. Telapak tangan kekar begitu pas menempel di puncak lereng gunung Semeru.
“Kok bisa tangan ini berada di sana? Bukannya ada banyak bantal yang memisahkan tempat kami?” Baruna kebingungan dengan ulahnya sendiri.
Waduh Pak Baruna mana ada tangan yang bergerak sendiri tanpa perintah dari otak yang punya tangan itu. Alasan yang sungguh klise yah readers hihi.
Baruna memukul telapak tangannya, “Pasti ini tangan bergerak sendiri! Untungnya bocah ini belum bangun, coba kalau bangun bakal gempar dan kacau sudah kamar kami.”
“Coba kalau bangun! Maksudnya Om apa?” Tanyanya Adinda parau.
Kedua matanya masih sulit terbuka seolah ada lem tak kasat mata yang menempel di kedua kelopak mata indahnya.
Baruna salah tingkah karena hampir saja semua ucapannya kedengaran oleh istri bocahnya.
“Oh itu maksudnya kalau Om bangun cepat pasti sudah shalat subuh, om sholat subuh duluan yah atau kamu mau shalat berjamaah dengan Om?” Baruna mengalihkan pembicaraan mereka.
“Om duluan saja ambil air wudhu soalnya mataku sepet banget kayak ada yang merekatkan kelopak mataku, Om,” Adinda masih berusaha untuk membuka lebar kelopak matanya.
“Jangan lama-lama yah sudah pukul 5 soalnya, jam 6 kita harus berangkat ke luar daerah ada tugas dadakannya Om,” ujarnya Baruna kemudian berjalan ke arah dalam kamar mandi.
Adinda yang mendengar kata akan bepergian ke luar daerah bersama suaminya reflek bangun dari tidurnya, seketika itu juga bola matanya sudah tidak saling menempel lagi.
“Jadi mulai detik ini aku akan menjadi ibu bhayangkari yah? Ya Allah semoga aku bisa menjalankan amanah itu dan tidak malu-maluin om Baruna,” gumamnya sambil menyibakkan selimut yang menutup sebagian tubuhnya.
Sedangkan di dalam kamar mandi, Baruna sulit melupakan apa yang terjadi semalam dan barusan yang dialaminya.
Baruna mengusap wajahnya dengan gusar,” kenapa sulit banget melupakannya, padahal dadanya datar, tepos kecil lagi tapi malah buat aku sulit menghapus bayang-bayang dia dari pikiranku!” Baruna merutuki kebodohannya.
Adinda mengetuk pintu kamar mandi,” Om jangan lama di dalam sana, saya juga mau mandi keburu waktu shalat subuh habis lagi.”
“Tunggu! Sabar sedikit lagi,” teriaknya Baruna dari dalam kamar mandi.
Baruna kesulitan menenangkan lele dumbonya yang tiba-tiba bangun dari tidur panjangnya hanya mengingat bentuk, size dan warna gunung kembar Jayawijaya milik istri bocahnya sudah bereaksi.
“Shit!! Lama-lama bisa-bisa aku terlambat berangkat ke luar daerah kalau gak bisa ditenangkan!?” Kesalnya pada dirinya sendiri.
Akhirnya mau tidak mau Baruna si pria dewasa berusia 40 tahun yang masih awet muda itu bermain olahraga tangan di pagi buta.
“Argh!!” Pertanda si lele dumbo bisa ditenangkan juga.
Baruna buru-buru melanjutkan acara mandinya yang sempat tertunda beberapa menitan karena dia harus mengerjakan hal yang cukup penting daripada pusing kepala atas bawah sehingga jalan satu-satunya bersolo karir.
Baruna berjalan ke arah keluar, Adinda menatap lekat wajah suami tuanya yang nampak segar dan semakin bercahaya terkena air wudhu yang masih terlihat menetes membasahi wajahnya.
“Subhanallah kalau pagi-pagi gini di suguhkan pemandangan seperti ini terus bakalan mata ini terbebas dari minus,” gumamnya.
Adinda melongok sampai-sampai mulutnya menganga lebar menatap ketampanan suaminya.
“Menyala Om Komandan!” ceplosnya Adinda.
Baruna ingin tertawa mendengar perkataan dari istrinya yang tanpa disadarinya itu, tapi kembali lagi dia harus jaga image sebagai seorang Pak Kapolsek.
Adinda buru-buru mengatupkan kedua bibirnya saking tak menduganya kalau dia akan berbicara seperti itu.
“Hehe! Maaf Om kagak sengaja keceplosan soalnya,” Adinda bergegas menuju kamar mandi karena terlalu malu dengan tindakannya terang-terangan mengagumi keindahan wajah dan tubuh suaminya sendiri.
Berselang beberapa saat kemudian, keduanya sudah duduk bermunajat kepada-Nya. Mereka bersimpuh menengadahkan tangannya ke atas.
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang–orang yang bertakwa,”
“Amin ya rabbal alamin,” Adinda mengaminkan doa-doanya Baruna.
Setelah mereka melaksanakan shalat subuh berjamaah bersama untuk pertama kalinya, mereka segera bersiap-siap untuk berangkat ke luar daerah.
“Om saya pakai baju apa?” Tanyanya Adinda yang masih memakai mukenahnya.
“Tunggu saja Bisma akan mengantar pakaianmu,” balasnya Baruna.
Adinda yang melihat Baruna kesulitan mengancing lengan bajunya, Adinda berinisiatif untuk membantunya.
“Sini Om, saya bantuin,” tawarnya Adinda padahal sudah memasangkan kancing bajunya Baruna.
Baruna hendak mencegah istri bocahnya tapi sudah terlambat karena Adinda tanpa mendapatkan persetujuan langsung melakukannya.
“Kalau mau minta tolong tidak perlu sungkan Om, saya kan istrinya Om meski masih di atas kontrak dan Om dengan saya belum saling mencintai tapi apa salahnya saling bekerjasama dalam hubungan ini,” celotehnya panjang kali lebar sama dengan luas Adinda.
Baruna bukannya fokus mendengarkan ucapan dari Adinda melainkan hanya fokus menatap bibir seksi Adinda yang terus berceloteh tanpa jeda dan spasi seperti rel kereta api saja.
“Saya dengan Om Baruna sampai detik belum saling mencinta, tapi Saya ingin meraih pahala yang banyak banget dalam pernikahan kita Om, katanya pesannya almarhumah ibuku dulu seorang istri itu harus berbakti kepada suaminya meski tanda kutip ni yah kita belum saling mencintai,” jelasnya Adinda.
Adinda tetap menunduk memasangkan beberapa pasang kancing tanpa menyadari jika ulahnya membuat suaminya semakin frustasi panas dingin melihat bibirnya yang seksi itu.
“Kenapa ini bocah semakin diperhatikan semakin keluar aura cantiknya padahal tidak makeup malah lebih natural tapi cantiknya semakin terpancar,” batinnya Baruna.
Baruna dan Adinda sama-sama sering mengagumi tanpa disadarinya. Adinda merasakan selama mengenal Baruna, dia seperti mendapatkan sosok seorang ayah dari dalam dirinya Baruna.
Sedari lahir hingga ibunya meninggal, Adinda belum pernah merasakan kasih sayang yang namanya seorang bapak.
“Om, pasti Nadhira bangga dan bahagia memiliki Om sebagai bapaknya. Ngomong-ngomong kalau saya menganggap Om sebagai pengganti ayahku, Om tidak keberatan kan?” Tanyanya Adinda setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Baruna menatap Adinda sedangkan Adinda melakukan hal yang sama pula.
“Om Baruna enggak suka ya kalau saya anggap Om sebagai pengganti sosok ayahku?”
Kedua bola matanya Adinda berkaca-kaca karena merasa kecewa dan sedih Baruna tidak memenuhi permintaannya.
Baruna terenyuh melihat perubahan raut wajahnya Adinda yang semula bahagia, ceria secerah sinar mentari pagi, tiba-tiba berubah sedih dan kecewa seolah-olah mendung menyelimuti wajahnya.
Baruna reflek menarik tubuhnya Adinda ke dalam pelukannya itu,” silahkan saja kalau kamu mau menganggap Om adalah pengganti ayahmu. Om tidak mempermasalahkannya asalkan Kamu bahagia lakukan saja.”
Adinda tersenyum mendengar perkataan dari Baruna,” Alhamdulillah makasih banyak Om. Saya janji tidak bakalan kecewakan Om. Tapi saya minta bimbingannya agar saya bisa menjadi pendamping hidupnya Om yang bertanggung jawab dan menyayangi Nadhira setulus hati, yang paling penting sanggup menjadi ibu bhayangkari yang tidak malu-maluin Om.”
“Om hanya meminta padamu lakukan semua yang sudah kita sepakati diawal sebelum kita menikah dan kedua jangan pernah menuntut Om untuk melakukan hubungan suami istri kecuali Om sendiri yang memintanya kamu harus siap,” ujarnya.
Adinda hendak membalas perkataan dari Baruna tapi bel berbunyi nyaring, sehingga keduanya melerai pelukannya.
Bisma lah yang datang dengan membawa beberapa paper bag dan dua buah koper besar untuk kedua pengantin baru itu.
Bisma melirik sekilas ke arah Adinda,” lumayan cantik juga padahal tidak makeup. Berarti anak ini kemarin-kemarin terlihat dekil dan kumal karena tidak pernah merawat dirinya,” monolog Bisma.
Adinda berdiri mematung melihat ke arah Bisma adik iparnya yang bahkan lebih tua dari usianya.
“Abang semua kebutuhan kalian berdua sudah Mama sediakan di dalamnya,” ujarnya Bisma.
“Abang tidak ingin ada lagi pakaian dinas malam! Abang tidak ingin melihat ada pakaian kekurangan bahan yang diselipkan ke dalam kopernya istriku seperti kemarin,” jelasnya Baruna.
Bisma menautkan kedua alisnya,” oh lingerie seksi maksudnya?” Bisma terkekeh mendengar perkataan dari kakaknya.
Baruna mendelik tajam ke arah adiknya itu,” Haha! Kayaknya itu ulahnya Nadira dengan Briana, bukan Mama setau aku sih.”
“Silahkan berangkat ke kantor, kami ingin bersiap-siap berangkat ke luar daerah. Mobil kamu simpan yang Abang minta seperti yang saya sampai ditelpon,”
“Mobilnya ada di depan lobi hotel, mobil dinasnya Abang. Kalau gitu aku permisi Abang,”
Bisma sempat-sempatnya menoleh ke arah Adinda yang masih betah memakai mukena nya.
“Kok dia semakin cantik yah,” batinnya Bisma yang mengakui kecantikan alami Adinda.