Seorang Jenderal perang yang gagah perkasa, seorang wanita yang berhasil di takuti banyak musuhnya itu harus menerima kenyataan pahit saat dirinya mati dalam menjalankan tugasnya.
Namun, kehidupan baru justru datang kepadanya dia kembali namun dengan tubuh yang tidak dia kenali. Dia hidup kembali dalam tubuh seorang wanita yang cantik namun penuh dengan misteri.
Banyak kejadian yang hampir merenggut dirinya dalam kematian, namun berkat kemampuannya yang mempuni dia berhasil melewatinya dan menemukan banyak informasi.
Bagaimana kisah selanjutnya dari sang Jenderal perang tangguh ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bisikan yang Menjadi Nyata
Luka Alessia sembuh lebih cepat dari yang diharapkan, tetapi sesuatu yang lain mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.
Perasaan aneh yang membuatnya gelisah setiap kali Ziad berada di dekatnya.
Dulu, kehadiran pria itu hanya membuatnya waspada. Dia tidak percaya pada siapa pun, apalagi seorang dosen yang begitu tampan dan penuh teka-teki. Tapi setelah malam itu, setelah Ziad menemukannya dalam keadaan babak belur dan tanpa berkata apa pun membawanya pergi dari tempat itu… segalanya mulai terasa berbeda.
Setiap kali Ziad menatapnya, ada sesuatu di dadanya yang bergetar.
Setiap kali pria itu mengulurkan tangan untuk membantunya, ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin menolak, tetapi pada saat yang sama tidak ingin melepaskannya.
Dan yang paling buruk, setiap kali dia berpikir tentang Ziad, dia merasa takut.
Takut karena dia tahu perasaan ini berbahaya.
Mereka tidak pernah membicarakan malam itu.
Ziad tidak bertanya siapa yang melakukannya, dan Alessia tidak memberitahunya.
Tapi setelah kejadian itu, interaksi mereka berubah.
Ziad menjadi lebih perhatian.
Dia tidak pernah secara langsung menunjukkan kepeduliannya, tetapi dalam setiap gerakannya, dalam setiap kata-kata yang dia pilih, Alessia bisa merasakannya.
“Jangan terlalu banyak bergerak, lukamu belum sepenuhnya sembuh.”
“Kau sudah makan hari ini?”
“Jangan berjalan sendirian di lorong kampus yang sepi.”
Itu bukan perintah, bukan pula nasihat yang dipaksakan. Itu adalah perhatian yang terselip di antara kata-kata yang sederhana.
Dan Alessia mulai menyadari bahwa dia menyukainya.
Suatu hari, hujan turun deras saat Alessia keluar dari kelas.
Dia lupa membawa payung, dan tidak ada satu pun tempat berteduh yang cukup untuknya.
Saat dia masih berpikir apakah harus menerobos hujan atau menunggu, sebuah mantel tebal tiba-tiba disampirkan ke bahunya.
Dia menoleh dan menemukan Ziad berdiri di sampingnya, memegang payung dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap berada di dalam saku celana.
"Jangan berdiri di sini. Kau akan sakit," katanya singkat.
Alessia mengernyit. "Tapi—"
"Jangan membantah."
Pria itu kemudian berjalan mendahului, meninggalkan Alessia yang masih diam dengan mantel Ziad menutupi tubuhnya.
Dan saat dia menyadari bahwa mantel itu masih hangat, jantungnya berdebar lebih cepat.
Hubungan mereka perlahan berubah tanpa mereka sadari.
Ziad mulai lebih sering mencari alasan untuk menghabiskan waktu dengannya, entah itu dengan dalih membahas tugas atau sekadar mengajak Alessia duduk di taman kampus saat jam kosong.
Alessia, yang biasanya menjaga jarak, mulai membiarkan dirinya terbiasa dengan kehadiran pria itu.
Dan sebelum dia menyadarinya, dia mulai menunggu-nunggu pertemuan mereka.
Menunggu kata-kata sederhana yang diucapkan Ziad setiap hari.
Menunggu perhatian-perhatian kecil yang selalu datang tanpa diminta.
Tapi perasaan itu tetap tidak mereka ucapkan.
Mereka membiarkannya menggantung di udara, tidak tersentuh, tidak diakui.
Sampai akhirnya, tanpa sadar, semuanya terucap begitu saja.
Malam itu, Alessia dan Ziad duduk bersebelahan di sebuah kafe kecil dekat kampus.
Mereka baru saja selesai berdiskusi tentang sebuah makalah, tetapi topik itu menguap begitu saja ketika mereka mulai berbicara tentang hal-hal lain.
Ziad bercerita tentang buku yang baru saja dia baca. Alessia mendengarkan, matanya sesekali menatap ekspresi pria itu saat berbicara.
Dan saat jeda di antara percakapan mereka semakin panjang, Alessia merasakan sesuatu yang berbeda.
Ada sesuatu di dalam matanya yang melihat Ziad tidak hanya sebagai dosen, tidak hanya sebagai seseorang yang ingin melindunginya, tetapi lebih dari itu.
"Aku menyukaimu," ucapnya tiba-tiba.
Suasana hening.
Alessia bahkan tidak menyadari bahwa dia mengatakannya sampai dia melihat bagaimana ekspresi Ziad membeku.
Mata pria itu sedikit melebar, seolah kata-kata itu mengejutkannya.
Alessia merasa seluruh tubuhnya panas. Dia ingin menarik kembali kata-katanya, tetapi sudah terlambat.
Ziad menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil.
"Sejak kapan?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Alessia menelan ludah, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku tidak tahu. Tapi… aku pikir itu terjadi tanpa kusadari."
Ziad tetap diam selama beberapa saat sebelum dia mengulurkan tangannya ke atas meja, menelungkupkan jemarinya di atas tangan Alessia.
"Kalau begitu, kau tidak sendiri," katanya pelan.
Dan di saat itu, semua perasaan yang mereka tahan akhirnya terucap tanpa kata-kata yang lebih panjang.
Alessia tidak menarik tangannya. Ziad tidak melepaskan genggamannya.
Dan meskipun dunia di sekitar mereka tetap berjalan seperti biasa, bagi mereka berdua, segalanya terasa berubah.
.
.
.
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyelinap melalui tirai kamar hotel mewah di Santorini. Laut biru membentang luas di luar balkon, membingkai pemandangan yang seolah diambil dari lukisan. Alessia membuka matanya perlahan, merasakan aroma khas laut yang menyegarkan.
Di sisinya, Ziad masih terlelap, wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan biasanya. Tak ada ekspresi penuh perhitungan seperti saat dia menjadi agen, atau ketegangan yang selalu mengintai dirinya. Hanya ketenangan. Kedamaian.
Alessia menatapnya dengan senyum tipis. Entah bagaimana, sejak pengakuan perasaan mereka beberapa waktu lalu, hidupnya terasa lebih ringan. Tak ada lagi keharusan untuk selalu waspada atau berpura-pura. Setidaknya, di saat seperti ini, dia bisa menjadi dirinya sendiri—tanpa beban sebagai ratu mafia atau mahasiswi culun yang terus dihina.
Dia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Ziad dengan lembut. Lelaki itu menggeliat sedikit sebelum akhirnya membuka matanya. Mata abu-abu itu menatapnya dengan penuh kelembutan, berbeda jauh dari sorot tajamnya saat mengawasi target.
“Kau bangun lebih dulu?” suara Ziad serak karena baru saja bangun.
Alessia tersenyum. “Aku hanya ingin menikmati pemandangan ini.”
“Pemandangan?” Ziad menoleh ke jendela, berpikir Alessia sedang membicarakan laut di luar sana.
Alessia terkekeh pelan, lalu mengusap rambut Ziad dengan gemas. “Bukan. Maksudku, kamu.”
Ziad mengerjapkan matanya, kemudian tertawa kecil. “Kau mulai pintar menggoda, Alessia.”
Alessia hanya tersenyum dan kembali menatapnya. Matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Ziad memahami itu. Maka tanpa ragu, dia menarik Alessia ke dalam pelukannya, membiarkan kehangatan tubuh mereka menyatu di bawah selimut yang masih menutupi sebagian tubuh mereka.
Ciuman pertama di pagi itu terasa lembut, seolah menjadi penegasan bahwa hari ini hanya milik mereka. Tidak ada rencana balas dendam, tidak ada penyamaran, tidak ada pertarungan brutal di balik bayang-bayang dunia bawah tanah. Hanya mereka berdua, di tempat yang jauh dari kehidupan mereka yang sebenarnya.
Setelah menghabiskan waktu di kamar, mereka akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Santorini. Alessia mengenakan gaun putih sederhana, sementara Ziad mengenakan kemeja santai dengan lengan yang digulung hingga siku. Mereka berjalan berdampingan, tangan Alessia menggenggam tangan Ziad dengan erat.
Di sepanjang jalan, beberapa pasangan lain juga menikmati keindahan kota itu. Ada yang berfoto, ada yang duduk menikmati kopi di kafe kecil, dan ada yang hanya saling menatap dengan penuh cinta.
“Kita terlihat seperti pasangan normal,” gumam Alessia.
Ziad menoleh padanya. “Memang kita pasangan normal.”
Alessia tertawa kecil. “Tidak ada yang normal dari seorang mantan jenderal perang yang bereinkarnasi sebagai ratu mafia dan seorang agen intelijen yang menyamar sebagai dosen.”
Ziad ikut tertawa. “Baiklah, kalau begitu, kita pasangan abnormal yang sedang menikmati waktu normal.”
Mereka berdua tertawa bersama, sesuatu yang jarang terjadi dalam hidup mereka.
Mereka duduk di sebuah restoran dengan pemandangan laut yang luas. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, membawa aroma asin khas pantai.
“Dulu, aku tidak pernah berpikir akan mengalami momen seperti ini,” kata Alessia sambil menyeruput jusnya.
“Kenapa?”
Alessia menatap laut di depannya. “Karena aku selalu hidup dalam peperangan. Ketika aku masih menjadi Alexa, aku tidak punya waktu untuk memikirkan cinta atau menikmati hidup. Setelah aku mati dan bereinkarnasi, hidupku juga tidak lebih baik. Aku terus berjuang untuk bertahan.”
Ziad terdiam.
“Aku terbiasa berada di tengah pertarungan, terbiasa menjadi orang yang kuat,” lanjut Alessia. “Tapi bersamamu… aku merasa aku boleh lemah. Aku boleh menjadi manusia biasa.”
Ziad menatapnya dengan dalam. Kemudian, dia meraih tangan Alessia dan menggenggamnya erat. “Kalau begitu, aku akan memastikan kau selalu memiliki tempat untuk menjadi ‘manusia biasa’ bersamaku.”
Alessia tersenyum. Dan entah dorongan dari mana, dia bergerak lebih dekat dan mencium Ziad tepat di bibirnya. Ciuman yang awalnya lembut itu berubah semakin dalam, seakan mereka ingin mengukir momen ini dalam ingatan mereka selamanya.
Saat mereka kembali ke hotel di malam hari, suasana menjadi lebih intim. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan. Hanya tatapan, sentuhan, dan kehangatan yang memenuhi udara.
Ziad mengangkat Alessia ke dalam pelukannya dan membawanya ke ranjang.
“Apakah kau yakin?” tanyanya pelan.
Alessia menatapnya tanpa ragu. “Aku yakin.”
Dan malam itu, mereka membiarkan cinta mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa mereka ucapkan.
Keesokan paginya, Alessia bangun lebih dulu. Dia menoleh ke sisi tempat tidur dan melihat Ziad masih tertidur nyenyak. Ada sesuatu yang aneh di hatinya.
Ketakutan.
Bukan ketakutan akan dirinya sendiri, tapi ketakutan bahwa kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama. Dunia mereka bukan dunia yang aman. Cepat atau lambat, kenyataan akan menarik mereka kembali ke dalam pusaran kekacauan.
Ziad membuka matanya dan melihat ekspresi Alessia. Dia menarik gadis itu ke dalam pelukannya lagi.
“Jangan pikirkan hal lain,” bisiknya. “Setidaknya, untuk saat ini, biarkan kita menikmati kebahagiaan ini.”
Alessia mengangguk. Untuk saat ini, dia akan melupakan segalanya. Untuk saat ini, dia akan tetap berada dalam pelukan Ziad.
Bersambung...