Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dgn nada penuh amarah.
mau lanjut??
yuk baca karya aku ini🥰🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ini semua, demi agama!
Dengan motor sport hijau yang meraung di tengah malam, Dendi melaju dengan kecepatan tinggi menuju alamat apartemen Najiha. Alamat itu ia dapatkan dari Kasih, sahabat Najiha. Sesampainya di depan pintu nomor 21, ia menghela napas panjang, mencoba mengatur keberanian sebelum mengetuk pintu.
Tok tok tok... Suara ketukan pintu menggema di lorong apartemen yang sepi.
Dari dalam terdengar suara Najiha yang terdengar jelas kesal, "Aduh, siapa sih ini, malam-malam buta begini!" Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan wajah Najiha yang dingin dengan tatapan tajam.
"Elo?! Ngapain lo ke sini? Dan darimana lo tau alamat apartemen gue?" tanya Najiha tanpa basa-basi, suaranya menusuk.
Dendi menelan ludah, merasa tekanan luar biasa dari aura dingin Najiha. "Aduh... kok bisa Haidar suka sama cewek kayak gini," gumamnya tanpa sadar, tapi cukup keras hingga terdengar oleh Najiha.
"Apa lo bilang?!" Najiha langsung menatapnya tajam, membuat Dendi mundur setengah langkah.
"Ah, nggak, nggak! Gue cuma ngomong sendiri. Eh, maksud gue, aku ke sini karena ada hal yang mendesak banget," jawab Dendi terbata, mencoba menutupi kekakuannya.
"Cepetan ngomong apa? Gue nggak punya waktu buat basa-basi," balas Najiha dengan nada malas, menunjukkan betapa sedikitnya ia peduli.
Dendi menggaruk belakang kepalanya, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Reyhan... ups, maksud gue, Haidar lagi mabuk parah di bar. Sejak tadi sore dia nggak berhenti minum. Gue mohon, cuma lo yang bisa ngebujuk dia buat pulang," katanya dengan nada memohon.
Najiha mengangkat alisnya, ekspresinya tetap datar. "Kok gue? Apa urusannya sama gue?" tanyanya santai, jelas tidak tergerak.
"Ayolah, Naj. Gue mohon banget. Kalau bokapnya tahu soal ini, Haidar bisa habis, Naj. Bisa-bisa dia dikirim ke Amerika lagi!" ucap Dendi, mencoba membuat Najiha sedikit bersimpati. Namun, Najiha hanya mendengus kecil dan mulai menutup pintu.
"Ini udah malam, Den. Udah hampir jam 12. Gue mau tidur," katanya dingin.
Namun, Dendi tidak menyerah. Dengan cepat, ia mencoba taktik lain. "Naj, lo kan orang yang fanatik sama agama. Lo selalu ngejaga dari yang haram. Ini Naj, Haidar itu minum minuman keras, sesuatu yang jelas haram. Tolong, demi agama, lo harus mencegah kebatilan ini," katanya dengan nada meyakinkan.
Najiha menghentikan gerakannya, memandang Dendi dengan tatapan penuh arti. "Hmm, pintar juga lo ngasih dalil biar gue ke sana, ya," katanya, sedikit mengejek, tapi nada suaranya sudah sedikit melunak.
"Jadi lo mau bantu?" tanya Dendi dengan wajah penuh harap.
Najiha menghela napas panjang, lalu mengambil jubah hitam dengan hoodie yang digantung di dekat pintu. Ia mengenakan kerudung pashmina dengan cepat, menutupi kepalanya dengan rapi. "Baiklah, kalau gitu, ayo kita berangkat," katanya tegas, berjalan ke arah lift dengan langkah cepat.
Dendi mengikuti dari belakang, merasa lega karena usahanya berhasil. Tapi dalam hati, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika Najiha bertemu Haidar dalam keadaan mabuk seperti itu.
...----------------...
Setelah tiba di depan bar yang remang-remang, Najiha memarkir motor Fazio miliknya di area parkir. Dia memandangi tempat itu dengan perasaan ragu, namun akhirnya menghela napas panjang, mencoba menguatkan dirinya.
"Ampuni Najiha, ya Allah," gumamnya lirih sebelum melangkah masuk. Tempat itu adalah tempat yang selama ini dia hindari, tempat di mana segala maksiat dilakukan. Langkahnya terasa berat, tapi ia tahu harus melakukannya. Dendi mengikuti di belakangnya, tak berani bicara banyak, membiarkan Najiha memimpin.
Begitu masuk, aroma alkohol yang menyengat bercampur asap rokok langsung menyergap. Musik keras membuat suasana terasa asing bagi Najiha, membuat hatinya semakin gelisah. Namun, ia tetap berjalan dengan kepala tegak, mencoba menyingkirkan rasa takutnya.
"Itu dia, di sudut kursi sana, Naj," ujar Dendi, menunjuk ke arah Haidar yang duduk terpaku di pojok, dengan tubuh yang terkulai di atas meja penuh botol kosong. Wajahnya memerah, matanya setengah terpejam, menandakan ia sudah benar-benar mabuk.
Najiha melangkah mendekat, tatapannya berubah, kali ini ada sedikit rasa peduli di balik sikap dinginnya. "Aduh, Haidar, ngapain lo di sini?" ucap Najiha dengan nada rendah, lebih kepada dirinya sendiri.
Haidar mengangkat kepalanya perlahan, karena sedikit bekas luka tadi pagi. matanya yang buram berusaha fokus pada sosok yang berdiri di hadapannya. "Najiha..." gumamnya, suaranya berat dan berantakan, namun penuh dengan emosi yang tak tersampaikan. "Lo dateng juga akhirnya..." lanjutnya, dengan senyum miris.
Najiha duduk di kursi di depannya, menatapnya dengan pandangan serius. "Lo sadar nggak, apa yang lo lakuin ini salah besar?" tanyanya dingin, tapi ada nada prihatin yang tak bisa ia sembunyikan.
Haidar tertawa pelan, tapi lebih terdengar seperti tawa putus asa. "Salah? Gue nggak peduli lagi, Naj... semuanya udah hancur. Lo... lo nggak pernah peduli..." katanya, suaranya bergetar, matanya mulai basah.
Najiha menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Lo pikir, dengan minum kayak gini masalah lo selesai? Lo cuma bikin semuanya makin buruk, Haidar," ucapnya tegas.
Namun Haidar hanya menunduk, menggenggam botol di tangannya dengan erat. "Lo nggak ngerti, Naj. Lo nggak ngerti apa yang gue rasain..." bisiknya, hampir tak terdengar di tengah bisingnya musik bar.
Najiha menarik botol itu dari tangan Haidar, lalu menatapnya tajam. "Gue mungkin nggak ngerti apa yang lo rasain, tapi gue ngerti satu hal: lo nggak boleh terus kayak gini. Lo lebih baik dari ini, Haidar. Ayo, kita pulang," katanya dengan nada penuh kepastian.
Dendi yang berdiri di belakang mereka hanya bisa mengangguk pelan, kagum dengan cara Najiha menangani situasi. Namun, ia juga tahu bahwa membawa Haidar keluar dari sini bukanlah tugas yang mudah.
Di dalam bar, Haidar tertawa keras, namun di balik tawanya itu tersimpan luka dan kekecewaan. "Hahaha, ngapain lo peduli sama gue, Naj? Bukankah gue ini orang aneh, kata lo tadi sore?" ucapnya sambil menatap Najiha dengan pandangan buram.
Najiha menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya. "Astagfirullah... Jadi ini gara-gara omongan gue tadi," gumamnya penuh penyesalan. Ia baru sadar bahwa perkataannya di siang hari mungkin melukai Haidar lebih dalam dari yang ia kira.
"Haidar, bukan itu maksud gue. Gue cuma kebawa emosi aja. Lagian, lo juga yang mancing gue buat marah-marah!" ucap Najiha, sambil mencoba menjauhkan botol alkohol dari tangan Haidar.
Haidar tersenyum miring, matanya setengah terpejam. "Ah, masa iya?" katanya, suaranya masih diliputi pengaruh mabuk.
Najiha memejamkan matanya, mencoba menguatkan hati. "Astagfirullah... Begini ya rasanya ngadepin orang mabuk," gumamnya. Lalu, ia menatap Haidar tajam. "Haidar, cepetan berdiri. Gue nggak akan biarin lo terus kayak gini," ucapnya tegas.
Melihat Haidar tetap tak bergeming, Najiha mengalihkan pandangannya ke dua lelaki di belakangnya. "Dendi, dan... siapa nama lo?" tanyanya sambil menunjuk Aron.
"Aron," jawab Dendi cepat, karena Aron tampak terlalu kaget melihat karakter Najiha yang tegas dan dominan.
"Oke, Aron. Cepet kalian berdua bantu gue bawa Haidar keluar. Kalau kayak gini terus, kapan habisnya?" Najiha mengarahkan, suaranya penuh wibawa.
Haidar menatap Najiha dengan senyum tipis, lalu berkata lirih, "Kalau gue nurut, lo bakal nurut apa kata gue juga, kan?"
Najiha mendekatkan wajahnya ke arah Haidar, mencoba membuatnya mendengar lebih jelas. "Iya, Haidar. Lo nurut sama gue sekarang, dan nanti gue bakal nurut sama lo," ucapnya dengan nada lembut, meski tetap tegas.
Senyum kecil Haidar mengembang, dan ia mencoba berdiri, meskipun tubuhnya masih sempoyongan. Dengan sigap, Dendi dan Aron membopongnya keluar bar menuju parkiran.
Najiha mengikuti mereka hingga ke luar, memastikan Haidar masuk ke dalam mobil Aron dengan selamat. Di depan mobil, ia berkata, "Haidar, gue sampai sini aja ya. Udah larut malam, gue harus pulang." Nada suaranya sedikit melunak, menunjukkan sisi lembutnya.
Haidar menatapnya dengan mata yang masih berat. "Lo hati-hati, Naj," ucapnya pelan, meskipun ia tahu tubuhnya sedang tak stabil.
Sebelum pergi, Najiha menatap Dendi dan Aron. "Kalian berdua jaga Haidar baik-baik. Ganti bajunya yang bau alkohol itu, dan jangan biarin dia ngelakuin hal bodoh lagi."
Aron secara refleks memberi hormat. "Siap, Nona!" ucapnya penuh keseriusan, membuat Dendi meliriknya dengan heran.
"Ngapain lo hormat segala? Ini bukan upacara bendera," sindir Dendi sambil menahan tawa.
"Ehehe, kebiasaan," Aron menggaruk kepala, canggung.
Najiha menghela napas, lalu berbalik meninggalkan mereka. "Gue pulang dulu. Assalamu'alaikum," ucapnya sambil berjalan menuju motornya.
Namun, ketika melihat Najiha pergi sendirian, Haidar yang setengah sadar masih sempat menunjukkan kekhawatirannya. "Den, lo ikutin Najiha. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa di jalan. Udah tengah malam," katanya dengan nada serak, tapi penuh ketegasan.
Dendi mendesah, sambil melirik Haidar yang masih terlihat kacau. "Aduh, bro. Lo mabuk aja masih sempat mikirin keselamatan Najiha," ucapnya, lalu segera menghidupkan motor sport-nya dan mengejar Najiha di jalan.