Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemunculan Sang Raja
Langit yang semula cerah mendadak gelap, seolah diselimuti oleh kabut tebal yang datang dari arah barat. Angin dingin berhembus kencang, membawa suara gemuruh yang menyerupai derap ribuan kaki kuda. Di kejauhan, terlihat iringan prajurit kerajaan, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan, membawa bendera kerajaan Mandaraka yang berkibar di bawah langit yang mendung.
Prajurit-prajurit ini terbagi menjadi dua lapisan. Barisan depan terdiri dari prajurit biasa yang membawa tombak dan tameng, sementara di belakang mereka tampak ksatria-ksatria elit dengan tubuh besar, memancarkan aura kanuragan yang luar biasa. Namun yang paling mencolok adalah sosok di tengah udara, melayang dengan gagah di atas kerumunan. Raja Mandaraka sendiri turun tangan.
Raja itu adalah seorang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah merah keemasan yang berkilauan. Matanya menyala dengan api kemarahan, sementara kedua tangannya memancarkan energi hitam yang berdenyut-denyut. Ia memandang ke arah desa yang telah menjadi medan pertempuran, lalu turun perlahan hingga berdiri di atas tanah yang retak akibat pertarungan sebelumnya.
“Bharada!” teriaknya, suaranya menggelegar seperti petir yang memecah langit. “Aku telah mendengar bagaimana kau berani melawan hukumku, menghancurkan prajurit-prajuritku, dan menantang kekuasaanku. Kini, aku datang sendiri untuk mengakhiri pemberontakanmu!”
Penduduk desa yang melihat kemunculan Raja Mandaraka hanya bisa gemetar ketakutan. Beberapa wanita memeluk anak-anak mereka, sementara para lelaki yang sebelumnya memberanikan diri untuk mengintip dari balik rumah kini berjongkok, berdoa agar mereka selamat. Bahkan bumi seakan merasakan aura mengerikan dari sang raja, karena tanah mulai bergetar meski ia belum bergerak.
Mpu Bharada berdiri di tengah jalan desa, tongkat kayunya masih teguh di genggaman. Ia menatap Raja Mandaraka tanpa gentar, meski ia tahu kekuatan sang raja tidak bisa dianggap remeh. Ajian Rengkah Gunung yang dimiliki Raja Mandaraka adalah salah satu ilmu pamungkas yang mampu menghancurkan seluruh wilayah hanya dengan satu pukulan.
“Kau datang dengan pasukan besar hanya untuk melawan seorang pengembara tua,” kata Mpu Bharada dengan tenang. “Itu menunjukkan betapa takutnya kau pada kebenaran.”
“Diam!” bentak Raja Mandaraka. Ia menghentakkan kakinya ke tanah, dan seketika itu pula bumi bergetar hebat. Getaran itu menjalar hingga ke desa-desa di sekitar, mengguncang rumah-rumah hingga roboh. Pohon-pohon tumbang, dan retakan besar muncul di tanah, membuat beberapa penduduk berteriak panik.
Dengan satu gerakan cepat, Raja Mandaraka melompat tinggi ke udara, tubuhnya melayang seperti elang raksasa. Ia mengangkat tinjunya yang memancarkan cahaya hitam berkilauan, lalu menghantamkan pukulan itu ke tanah. Ajian Rengkah Gunung dilepaskan, menciptakan gelombang energi besar yang menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Desa tempat Mpu Bharada berdiri langsung porak poranda. Dinding-dinding rumah runtuh, sawah-sawah hancur, dan tanah menjadi kawah besar.
Namun, ketika debu mereda, Mpu Bharada masih berdiri tegak. Ia memutar tongkatnya dengan perlahan, menciptakan perisai energi yang melindunginya dari dampak serangan itu.
“Kekuatanmu besar, Raja,” katanya. “Tetapi kekuatan yang digunakan untuk menindas hanya akan membawa kehancuran.”
Sang raja tidak menjawab. Dengan gerakan secepat kilat, ia menyerang Mpu Bharada lagi, tinjunya melesat dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan batu-batu besar di sekitarnya. Kilatan energi kanuragan memancar setiap kali pukulannya mengenai perisai Mpu Bharada, menciptakan ledakan-ledakan kecil yang menghancurkan pepohonan dan bangunan di sekitarnya.
Penduduk desa yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa memandang dengan ngeri. Suara tangisan terdengar di mana-mana, dan beberapa bahkan jatuh berlutut, memohon perlindungan dari para dewa.
“Apa yang sedang terjadi?” bisik seorang lelaki tua. “Ini bukan pertempuran manusia… ini adalah perang dewa-dewa.”
Mpu Bharada memanfaatkan kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan Raja Mandaraka. Ia melompat ke udara, tongkatnya memancarkan cahaya keemasan yang memotong gelombang energi hitam yang dilontarkan sang raja. Namun, setiap kali ia mencoba menyerang balik, Raja Mandaraka selalu mampu menangkisnya dengan mudah. Kekuatannya luar biasa, bahkan mungkin setara dengan Mpu Bharada sendiri.
Pertempuran antara dua raksasa kanuragan itu membuat kekacauan yang tak terbayangkan. Getaran dari benturan kekuatan mereka menjalar hingga ke ibu kota kerajaan, yang berjarak puluhan mil. Dinding-dinding istana, yang terbuat dari batu besar, mulai retak. Beberapa menara tinggi bahkan runtuh, membuat para penghuni istana berteriak ketakutan.
Di desa, penduduk tidak tahu harus berbuat apa. Tanah tempat mereka berpijak terus bergetar, seolah-olah akan runtuh kapan saja. Air dari irigasi meluap, membanjiri jalan-jalan yang sudah hancur. Langit dipenuhi oleh kilatan energi, seperti petir yang tidak pernah berhenti. Bahkan prajurit-prajurit kerajaan yang sebelumnya mengepung desa kini mulai mundur, takut terkena dampak dari pertempuran itu.
“Ini bukan pertarungan biasa,” kata seorang ksatria, matanya penuh rasa takut. “Raja kita benar-benar murka… tetapi lelaki tua itu tidak kalah kuatnya.”
Raja Mandaraka mengangkat kedua tangannya ke udara, memusatkan energinya.
“Cukup main-main!” teriaknya. “Aku akan menunjukkan kekuatan sebenarnya dari seorang raja!”
Tubuhnya memancarkan aura hitam yang membesar, membungkus dirinya seperti lapisan baja. Dengan gerakan cepat, ia menghentakkan tinjunya ke tanah sekali lagi, melepaskan versi penuh dari Ajian Rengkah Gunung. Kali ini, gelombang energi yang dihasilkan jauh lebih dahsyat. Bukit-bukit di sekitar desa mulai runtuh, menciptakan longsoran besar yang menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Desa-desa di kejauhan ikut merasakan guncangan, dengan rumah-rumah mereka runtuh dan tanah yang terbelah.
Mpu Bharada melompat tinggi ke udara, menghindari gelombang energi itu. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan serangan ini berlanjut. Dengan kekuatan penuh, ia menghentakkan tongkatnya ke tanah, menciptakan dinding energi besar yang menahan gelombang Ajian Rengkah Gunung.
Dampak dari benturan kekuatan mereka menciptakan ledakan yang begitu besar hingga langit menjadi putih terang sejenak. Suara ledakan itu menggema hingga ke ujung kerajaan, memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tanah di bawah mereka retak lebih parah, menciptakan jurang-jurang besar yang membelah desa menjadi beberapa bagian.
Ketika ledakan itu mereda, Mpu Bharada berdiri dengan napas terengah-engah. Tongkatnya memancarkan cahaya redup, tetapi ia masih berdiri tegak. Di depannya, Raja Mandaraka juga masih berdiri, meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan.
“Kau kuat, Mpu Bharada,” kata sang raja dengan nada penuh penghargaan. “Tetapi kau hanya menunda yang tak terelakkan. Hari ini, aku akan memastikan bahwa kau tidak akan pernah melawan kekuasaanku lagi.”
“Jika kau ingin menghentikan ku, maka kau harus melindas keadilan itu sendiri,” jawab Mpu Bharada. “Tetapi ingatlah, kekuatan tanpa kebenaran adalah awal dari kehancuran.”
Di kejauhan, para prajurit dan penduduk desa hanya bisa menyaksikan dengan ngeri, menyadari bahwa pertarungan ini belum berakhir. Dan dampaknya bisa menghancurkan lebih dari sekadar desa kecil ini. Pertempuran sesungguhnya antara dua kekuatan besar ini baru saja dimulai.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍