NovelToon NovelToon
Endless Shadows

Endless Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Menyembunyikan Identitas / Slice of Life / Kultivasi Modern
Popularitas:241
Nilai: 5
Nama Author: M.Yusuf.A.M.A.S

Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pilihan yang Berat

Hujan deras mengguyur malam itu, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram di jendela kamar Ryan. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih. Kata-kata pria berjubah hitam terus terngiang di telinganya, bercampur dengan rasa bersalah atas apa yang terjadi pada Elma.

Ryan tahu bahwa dia harus membuat keputusan, tetapi pikirannya penuh dengan ketakutan akan konsekuensi yang menunggu di kedua sisi pilihan. Jika ia menerima tawaran pria itu, ia mungkin bisa melawan Hery dan melindungi Elma. Namun, ia juga tahu bahwa kekuatan semacam itu tidak datang tanpa harga yang mahal.

Ketika malam semakin larut, bayangan di sudut kamar Ryan bergerak. Dari dalam kegelapan, pria berjubah hitam muncul seperti bayangan hidup, kali ini dengan aura yang lebih dingin dan menekan. "Waktumu hampir habis, Ryan," katanya tanpa basa-basi. "Hery tidak akan berhenti. Bahkan sekarang, ia sedang merencanakan sesuatu yang lebih kejam, sesuatu yang tidak akan meninggalkan ruang untuk ampun."

Ryan menatapnya tajam. "Apa maksudmu? Apa yang dia rencanakan?"

Pria itu tersenyum tipis\, sorot matanya seperti menembus ke dalam pikiran Ryan. **"Hery tidak puas hanya melihat Elma terluka. Ia ingin menghancurkanmu sepenuhnya. Dan untuk itu\, ia akan menyerang titik terlemahmu orang-orang yang kau cintai."**Kalimat itu seperti pukulan telak bagi Ryan. Ia mengepalkan tangannya\, merasa marah sekaligus takut. "Dia... dia tidak akan sejauh itu\," kata Ryan\, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Pria itu mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan dingin yang menusuk. "Jangan bodoh, Ryan. Hery adalah orang yang tidak mengenal batas. Dia tidak akan berhenti sampai kau kehilangan segalanya rumahmu, keluargamu, bahkan Elma. Ketika itu terjadi, siapa yang akan kau salahkan? Dirimu sendiri, karena terlalu lemah untuk melindungi mereka."

Kata-kata itu mengguncang Ryan. Ia tahu Hery adalah orang yang penuh dendam, tetapi sulit baginya untuk membayangkan seseorang bisa sekejam itu. Namun, dengan apa yang sudah terjadi, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan tersebut.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya akhirnya, suaranya penuh keputusasaan.

Pria berjubah hitam tersenyum lebih lebar. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Ryan. Terima tawaranku, dan kau akan memiliki kekuatan untuk mengakhiri ini sebelum semuanya terlambat. Tapi ingat, waktumu tidak banyak. Hery sudah bergerak, dan setiap detik yang kau habiskan untuk ragu hanya membawa mereka yang kau cintai lebih dekat ke kehancuran."

Di pagi hari, Ryan memutuskan untuk pergi ke rumah sakit lebih awal. Ia ingin memastikan Elma baik-baik saja sebelum membuat keputusan. Rumah sakit itu terasa sunyi meskipun hiruk pikuk aktivitas para dokter dan perawat terus berjalan. Ryan duduk di kursi ruang tunggu dengan kepala tertunduk. Matanya yang lelah terus tertuju pada pintu ICU tempat Elma dirawat. Wajahnya penuh dengan rasa bersalah, dan pikirannya terus memutar kejadian kemarin.

Ia seharusnya bisa melindungi Elma. Ia seharusnya ada di sana untuk mencegah ini terjadi. Namun, sekarang Elma terbaring dalam keadaan tidak sadar, dan Ryan hanya bisa duduk tanpa daya.

Tak jauh dari sana, seorang pria dengan jaket hitam duduk di pojok ruangan, tampak sibuk dengan ponselnya. Namun, sesekali ia mencuri pandang ke arah Ryan. Pria itu terlihat biasa saja, tetapi ada sesuatu yang aneh dalam caranya memerhatikan. Ia tidak pernah benar-benar mengalihkan pandangan dari Ryan.

Tanpa disadari, pria itu adalah salah satu orang suruhan Hery. Tugasnya sederhana: mengawasi setiap gerakan Ryan dan memastikan bahwa ia tidak mencoba sesuatu yang mencurigakan. Hery sudah tahu bahwa Ryan akan mencoba melindungi Elma dengan segala cara, dan ini adalah langkah untuk memastikan bahwa dia tetap berada di bawah tekanan.

Ryan tidak menyadari kehadiran pria itu. Pikirannya terlalu kacau oleh perasaan bersalah dan kekhawatiran. Ketika pintu ruang tunggu terbuka, Ryan mendongak dan melihat kedua orang tua Elma masuk. Wajah mereka penuh kecemasan, tetapi mereka tetap berusaha tegar.

"Ryan," kata ibu Elma lembut, menghampirinya. Ryan segera berdiri, wajahnya penuh rasa bersalah.

"Tante, Om... saya minta maaf," katanya dengan suara bergetar. "Saya tidak bisa melindungi Elma. Semua ini salah saya."

Ayah Elma, seorang pria dengan sorot mata yang bijaksana, menepuk bahu Ryan dengan lembut. "Ryan, tidak ada yang perlu kau salahkan," katanya dengan suara tenang. "Kau masih anak-anak, sama seperti Elma. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang terjadi Kemarin."

"Tapi Om..." Ryan terdiam, mencoba menahan air mata. "Seharusnya saya bisa melakukan sesuatu. Saya seharusnya ada di sana."

Ibu Elma mendekat, menggenggam tangan Ryan dengan lembut. "Ryan, mendengar kau merasa bertanggung jawab sudah cukup bagi kami. Itu menunjukkan bahwa kau peduli pada Elma seperti kami. Tapi ingat, ini semua sudah takdirnya. Kita hanya bisa menerima dan berdoa yang terbaik untuknya."

Kata-kata itu bagaikan angin sejuk di tengah gurun yang membara, meredakan sedikit rasa bersalah yang mencekik hati Ryan. Namun, bayang-bayang kegagalan tetap ada di pikirannya. Ia hanya mampu menunduk, menelan rasa bersalah yang tak kunjung sirna.

Di sudut ruangan, pria suruhan Hery mengetik pesan di ponselnya:

"Ryan masih di sini. Tidak ada gerakan mencurigakan. Akan terus memantau."

*********

Ketika orang tua Elma masuk ke dalam ICU untuk melihat putri mereka, Ryan tetap tinggal di ruang tunggu. Kepalanya penuh dengan pikiran, tetapi kini ada rasa hangat dari kata-kata orang tua Elma. Mereka tidak menyalahkannya, meskipun ia merasa pantas disalahkan.

Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Seolah-olah ia diawasi. Tatapannya perlahan menyapu ruangan, dan matanya menangkap sosok pria berjaket hitam yang duduk di sudut. Pria itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke ponselnya, tetapi gerakannya terlalu mencolok.

Ryan mengerutkan kening, mencoba memastikan apakah ia pernah melihat pria itu sebelumnya. Rasa curiga mulai tumbuh di dalam dirinya, tetapi ia memutuskan untuk tidak bertindak gegabah.

"Apakah ini ada hubungannya dengan Hery?" pikir Ryan.

Malam semakin larut, dan ruang tunggu semakin sepi. Namun, Ryan merasa kehadiran pria itu tetap seperti bayangan yang tidak hilang. Kini, ia tahu bahwa ancaman dari Hery tidak berhenti hanya pada kecelakaan Elma. Hery mengawasinya, bahkan di tempat ini.

Ryan mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa waktu untuk bersikap pasif telah usai. Jika Hery mengincar mereka yang ia sayangi, maka ia harus bergerak terlebih dahulu sebelum semuanya terlambat.Kali ini ia telah membuat keputusan. Ia berpamitan kepada orang tua Elma untuk segera pulang. Ia beralasan bahwa Ibunya sendirian dirumah, Kedua orang tua Elma tersenyum dan akhirnya menitipkan salam untuk Ibunya.

*********

Sesampainya dirumah, Ibunya sudah menunggu untuk menutup rumah karena hari sudah larut. Tak lupa ia  menyampaikan salam dari Orang tua  Elma, Ibunya hanya tersenyum dan segera menyuruhnya untuk tidur. Malam itu di kamarnya, Ryan berdiri tegak saat pria berjubah hitam muncul kembali untuk terakhir kalinya. "Aku punya syarat," katanya sebelum pria itu bisa berbicara.

Pria itu tertawa kecil, suaranya seperti gema yang datang dari kegelapan. "Oh, syarat? Katakanlah, Ryan. Aku mendengarkan."

Ryan mengepalkan tangannya. "Jika aku menerima tawaranmu, aku ingin kekuatan itu hanya digunakan untuk melindungi Elma. Tidak lebih."

Pria itu tersenyum, tampak terhibur. "Sederhana, tetapi menarik. Aku setuju, Ryan. Kekuatan itu akan menjadi milikmu, hanya untuk tujuan yang kau sebutkan."

Ryan mengangguk pelan\, merasa bahwa ia tidak memiliki pilihan lain. **"Baiklah. Aku terima." **Pria itu mendekat\, dan Ryan merasakan udara di sekitarnya berubah menjadi dingin. "Bagus sekali\, Ryan. Dengan ini\, takdirmu telah ditulis ulang."

Pria berjubah hitam itu merentangkan tangannya, dan bayangan gelap di sekitarnya seolah-olah hidup. Bayangan itu melingkari tubuh Ryan, menyelimuti dirinya seperti kabut pekat. Sensasi dingin yang menusuk tulang menjalari tubuhnya, tetapi bersamaan dengan itu, ia merasakan kekuatan yang luar biasa mulai mengalir di dalam dirinya.

Ketika semuanya berakhir, Ryan berdiri dengan tubuh yang terasa lebih ringan tetapi sekaligus lebih berat oleh beban yang tak kasat mata.

"Aku memberimu Tenebris Dominion" kata pria itu. "Bayangan adalah senjatamu, dan kegelapan adalah sekutumu. Kau dapat membentuk bayangan menjadi apapun yang kau butuhkan: perisai untuk melindungi, pedang untuk menyerang, bahkan belenggu untuk menahan musuhmu. Namun, ingatlah, kekuatan ini berasal dari kehampaan, dan kehampaan selalu menuntut harga."

Pria itu melangkah mundur, tetapi sebelum menghilang, ia menatap Ryan dengan serius. "Dan satu lagi, Ryan. Ketika kau berhadapan dengan Hery, jangan ragu. Dia sudah melampaui batasnya. Rencananya berikutnya akan jauh lebih kejam, dan jika kau tidak menghentikannya sekarang, tidak hanya Elma yang akan hancur. Hery akan membuat segalanya berakhir dalam kehancuran total. Gunakan kekuatan ini dengan bijak, atau bersiaplah kehilangan segalanya."

Ryan menatap kedua tangannya. Ia mengangkat satu tangan, dan bayangan di sudut kamar tampak bergerak mengikuti kehendaknya. Dengan satu gerakan kecil, bayangan itu menjelma menjadi bilah tajam yang berkilau gelap. Dengan gerakan lain, ia membuatnya berubah menjadi dinding yang kokoh di depan tubuhnya.

Pria berjubah hitam tersenyum terakhir kalinya. "Kau kini memiliki apa yang diperlukan untuk melindungi Elma. Tapi ingat, Ryan, kekuatan ini adalah pedang bermata dua. Gunakan dengan bijak, atau kau sendiri yang akan terluka."

Ryan mengangguk pelan, merasa bahwa ini adalah awal dari pertempuran yang lebih besar. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk menggunakan kekuatan ini hanya untuk tujuan yang benar, meskipun ia tahu bahwa harga yang harus dibayarnya akan segera datang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!