Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resto di Atas Bukit
Tapi Rama terlihat tak percaya, “Oke. Tapi aku boleh minta nomor Kak Angkasa?” tanyanya. Matanya menatap lurus pada cowok kakak kelasnya itu.
Angkasa mendengus, “Lo siapa sih?” tanyanya.
“Kakaknya Rosa,” Rama kembali menemukan kepercayaan diri.
Mata Angkasa beralih dari Rama ke Rosa lalu ke Rama lagi, “gak mirip,” katanya kemudian. “Lo bener kakaknya Rosa?”
“Perlu aku telepon Papa?” Rama balik bertanya.
Angkasa tertawa, “Gak perlu, lo gak perlu ngaduin gue ke Papa lo,” katanya kemudian memberikan nomornya pada Rama. “Udah? Gue udah boleh pergi kan, Kakaknya Rosa?” tanya Angkasa kemudian.
Rosa menatap kedua cowok itu dengan napas tertahan. Apa-apaan sih Rama. Dia sudah berusaha membuat dirinya tidak terlibat dengannya. Tapi dengan mudahnya dia ngasih tahu orang asing kalau mereka kakak-adik.
Tangan Angkasa kemudian mengulurkan helm kepada Rosa. Dengan canggung Rosa menerimanya, lalu memakai helm hitam itu.
Matanya menatap moge di depannya. “Aku gak bisa naik,” kata Rosa kemudian.
“Gak usah ikut, Sa,” kata Rama.
“Pegangan tangan gue,” kata Angkasa mengulurkan tangannya, “Kakinya injek dulu, baru naik,” katanya lagi.
Rosa mengikuti intruksi Angkasa. Untunglah Rosa terbiasa memakai celana panjang di balik rok panjangnya. Jadi dia tidak perlu susah menutup-nutupi kakinya. Setelah susah naik. Rosa akhirnya bisa duduk juga. “Kok bisa sih motor bikin susah gini,” Rosa menggerutu.
“Pegangan,” kata Angkasa selanjutnya.
“Gak ada pegangan,” kata Rosa lagi. Dia meraba-raba bagian belakang motor gede itu.
“Ya lo pegangan ke gue, lah,” jawab Angkasa. Dia menahan tawa gelinya. Sudah dua kali cewek itu protes.
Tangan Rosa terulur kemudian memegang bahu Angkasa. “Lo kira gue ojek?” teriakan Angkasa tertahan.
Najwa dan Bella yang masih menemani Rosa menutup mulut mereka. Keduanya terlihat menahan tawa.
Rama menarik napas. Inikah rasanya melepaskan adik gadisnya pada cowok lain?
“Terus pegangan kemana?” Rosa masih bingung. Ribet banget! Pikirnya,
Tangan Angkasa menarik pergelangan tangan Rosa membuat Rosa tersentak sebentar. Tangannya sudah melingkar begitu saja di perut Angkasa. Baru saja Rosa mau melepaskannya, Angkasa sudah memejukan motornya dengan cepat. Karena kaget, tangan Rosa yang tidak jadi dilepas malah melingkar semakin kencang. Dia menutup matanya saat itu juga.
Masih ditempatnya, Rama terlonjak kaget karena tiba-tiba saja moge itu menghilang dari hadapannya.
“Rosa sejak siang tadi keliatan merasa bersalah banget, Kak Rama, mungkin kalau udah dibayar pake traktiran, Rosa bakalan lega,” Najwa memecah keheningan diantara mereka.
Rama mengangguk. Bukan itu yang melintas di kepalanya. Tapi kenyataan ada seorang cowok yang terang-terangan menatap Rosa dengan tatapan tertarik. Sebagai sesama cowok, Rama mengerti ajakan ini bukan hanya tentang rasa bersalah Rosa.
Cowok itu menyimpan kembali helm di motor matic-nya.
Bella mendekatinya, kemudian bertanya, “Kak Rama mau es krim?”
-o0o-
Angkasa memelankan laju motornya saat melihat lampu lalu lintas akan berubah warna merah. Tangan Angkasa menyentuh punggung tangan Rosa dengan lembut. “Sa, gue gak cuma lapar, tapi sesak napas sekarang,” katanya sembil memiringkan wajah.
Sadar tangannya masih mengepal kuat mengelilingi perut Angkasa. Dia membuka mata kemudian melepaskan tangan. Mengatur napas yang berpacu dengan debar jantungnya.
“Maaf,” katanya kemudian. “lagian ngapain ngebut sih, Kak?” tanyanya kemudian.
“Biar bisa cepet-cepet bawa lo jauh dari Rama,” jawab Angkasa. Dia bisa merasakan Rosa yang kaget di belakangnya. “Kenapa ekspresi lo tegang banget waktu liat Rama? Lo dibulli di rumah sama dia?” tanya Angkasa.
Rosa menggeleng. “Enggak,” jawabnya singkat.
Senyum Angkasa terkembang, berarti ada apa-apa, pikirnya. “Pegangan lagi, Sa, gue pelan kok bawanya sekarang,” katanya kemudian.
Tapi terus Rosa menggerutu dalam hati. Sambil kembali menautkan kedua tangannya.
Pelan apanya kalau segini melesatnya?!
-o0o-
Motor itu berhenti setelah melaju sekitar dua puluh menit. Rosa baru bisa bernapas lega setelah melompat turun. Tangannya baru akan melepas helm saat matanya menatap pemandangan di depan.
Hamparan lembah hijau dengan pepohonan bersusul-susul berjajar sepanjang matanya menatap. Ada burung-burung kecil yang terlihat keluar masuk diantaran dedaunannya. Ada juga pohon dengan bunga oranye menyala diantara hijau itu.
Kemudan jauh di depan sana adalah hamparan kota. Atap-atap rumah, menara yang saling berlomba paling tinggi, kubah-kubah mesjid, dan beberapa bukit di antara belantara kota. Dan langit biru diselingi awan tipis.
Wajah Angkasa tiba-tiba sudah ada di hadapan Rosa, membuatnya sedikit mengerjap. Tangan Angkasa melepas helm yang tidak jadi dibuka Rosa. Membuat gadis itu segera menyadari kalau helmnya masih dipakai di kepalanya.
Rosa mematung saat Angkasa dengan ringannya menyentuh poninya, membereskan poni yang tersibak karena helm.
“Suka pemandangannya?” Angkasa sedang menyimpan helm yang tadi di pakai Rosa di atas jok motornya.
Rosa mengangguk, tersadar dari kagetnya. Tatapannya beralih dari Angkasa kembali ke kejauhan. “Bagus banget,” jawabnya. Bibirnya melengkung tanpa sadar.
Angkasa terpaku pada senyum cantik Rosa. Dia tidak sadar Angkasa menatapnya selama beberapa saat, “Baguslah kalau suka. Yuk, masuk.” ajak Angkasa. Dia menarik napas, kemudian tersenyum.
Rosa berpaling dari pemandangan menakjubkan itu, mengikuti cowok jangkung di depannya.
Mereka memasuki rumah makan sunda yang berada di pinggir lembah itu. Rosa kembali terpana saat melihat jendela besar yang mengarah pada pemandangan di luar sana.
“Lo mau makan apa?”
Mengikuti Angkasa yang sudah mengambil piring. Rosa melihat juga makanan yang tersusun di meja panjang di depannya. Konsep rumah makannya adalah prasmanan. Rosa bingung karena banyak sekali. Tapi kemudian matanya menatap etalase dingin penuh kue.
“Aku mau itu aja,” tunjuk Rosa pada deteran slice cake dengan hiasan yang cantik.
Angkasa mengikuti ajah pandang Rosa, kemudian mengangguk.
Rosa menyimpan kembali piringnya yang belum terisi apapun. Kemudian baru dia tahu di sudut setelah meja panjang itu ada ruangan lain seperti kafe.
“Mau yang mana, Kak?” tanya seorang karyawan laki-laki muda yang berdiri di balik etalase.
Telunjuk Rosa mengarah pada kue dengan krim putih bertabur buah stroberi, “Saya mau yang itu, Kak,” katanya. Matanya berbinar saat menatap potongan kue itu.
Senyum Angkasa mengembang melihatnya. Dia menggeleng sambil berjalan ke kasir.
“Sama jus stroberi ya, Kak,” pinta Rosa.
“Baik, kak,” katanya menulis pesanan Rosa, “Ada lagi?”
“Itu aja, makasih kak,” Rosa tersenyum canggung sambil berjalan ke arah Angkasa yang menunggunya.
“Duduk duluan aja. Cariin tempat yang bagus,” kata cowok itu sambil tak acuh.
Rosa yang baru akan membuka tasnya kemudian mengangguk. Dia berbalik, mencari meja kosong yang bisa dengan bebas memandang keluar jendela. Dia menemukannya.
Rosa duduk di kursi yang langsung bisa memandang keluar jendela. Dia menyimpan tas kemudian memandang keluar.
Perasaannya jadi jauh lebih baik. Seperti memandang pemandangan yang sehari-hari saat di desa. Rosa kemudian dikejutkan dengan suara dari ponselnya. Dia tersenyum saat melihat nama yang muncul.
“Uwa, sehat? Gimana nenek?” tanya Rosa dengan antusias.
“Sehat. Nenek juga udah bisa jalan sedikit-sedikit. Bosen katanya gak ada yang suka gangguin.”
Rosa tertawa, “Nenek sehat-sehat dulu, nanti liburan aku gangguin lagi,” jawabnya.
“Rosa sehat? Gimana di sekolah baru?”
Rosa mendengar suara neneknya. Dia tersenyum sambil menahan pedih di matanya, “Aku sehat, Nek. Sekolah baru bagus, aku udah punya temen juga,” jawabnya.
“Papa sama Rama sehat juga?”
Rosa menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. Dia mengangguk kecil, “Papa sehat. Rama juga, Kak Rama,” ralatnya.
Tidak terdengar lagi suara Nenek. Kemudian suara Uwa-nya kembali terdengar, “Sehat-sehat ya Rosa, maafin Uwa, ya. Salamkan untuk Papa sama Rama.”
Uwa mengakhiri pembicaraan mereka, tapi Rosa masih terpaku. Dia mengatur napas.
Memandang ponsel yang tergenggam di pangkuannya. Dia tertunduk mengusap mata. Dia rindu pada perasaan bahagianya saat bersama nenek.
Rosa kaget saat selembar tissu terulur kearahnya. Dia mengangkat muka kemudian mendapati Angkasa yang sedang menatapnya.
Tidak ada tatapan bertanya. Tidak ada tatapan aneh. Hanya tatapan biasa yang tanpa senyuman atau pertanyaan.
-o0o-