NovelToon NovelToon
5 Hari Sebelum Aku Koma

5 Hari Sebelum Aku Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Romantis / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Suami Hantu
Popularitas:19k
Nilai: 4.6
Nama Author: Maylani NR

5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________

"Celine, kau baik-baik saja?"

"Dia hilang ingatan!"

"Kasian, dia sangat depresi."

"Dia sering berhalusinasi."
__________________

Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.

Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?

Aku harus menguak misteri ini!
___________________

Genre : Horror/Misteri, Romance

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Interogasi

Di kantor polisi...

Celine memandang Arnon dengan tatapan penuh amarah dan ketidakpercayaan. Kata-katanya tadi terngiang-ngiang di benaknya, menusuk seperti duri tajam. Ia tak menyangka, lelaki yang ia anggap dengan sikap tenang dan terlihat jujur, bisa melemparkan tuduhan tanpa dasar seperti ini.

"Apa maksudmu? Kau menuduhku?" Celine mencoba menahan getaran di suaranya, namun jelas terlihat ia sedang kalut.

Arnon tidak bergeming. Tatapannya dingin, seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak. "Aku tidak menuduh mu, nona. Tapi ini bukan soal pendapat, ini fakta. Apa yang aku lihat adalah kebenaran."

Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar. Celine tercekat, ia tak tahu apa yang sebenarnya dilihat Arnon, namun ia yakin, itu bukan kebenaran. "Apa? Kau berdusta, ini tidak benar!" suaranya meninggi, membuat ruang interogasi yang semula tegang semakin panas.

"DIAM!" suara lantang sang polisi menghentikan semua keributan. Celine terkejut dan refleks menutup mulut. Sang polisi, seorang pria berbadan tegap dengan seragam yang rapi, memandang Celine dengan sorot tajam. "Nona Celine, biarkan Tuan Arnon menjelaskan terlebih dahulu. Setelah itu, Anda akan mendapat giliran untuk berbicara."

Celine menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Tapi di dalam, pikirannya berkecamuk. Ia tahu Arnon memiliki kemampuan berbicara yang bisa memutarbalikkan fakta. Jika ia tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin ia akan terjebak dalam kebohongan yang dirangkai lelaki itu.

"Bagaimana ini? Apa aku biarkan dia bicara dulu? Bagaimana jika dia... tidak mengatakan yang sebenarnya?" pikir Celine, tatapannya beralih ke arah Arnon yang tampak tenang.

"Nona Celine, apa bisa dipahami?" suara polisi itu membuyarkan lamunannya.

"Ah... aku mengerti," jawab Celine akhirnya, meski suaranya terdengar ragu. Ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang kian membesar.

...****************...

Ruangan itu seketika dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Celine merasa seakan dunia berputar lebih lambat ketika Arnon melanjutkan kesaksiannya. Ia mendengarkan setiap kata dengan dada sesak, setiap kalimatnya seperti menambah beban pada tubuhnya.

"Silahkan lanjutkan, Tuan Arnon!" seru polisi itu dengan nada tegas.

Arnon menarik napas panjang sebelum menjawab. "Baik... Jadi begini. Pada malam itu, setelah aku dipukuli oleh ketiga berandalan tersebut, aku melihat nona ini datang dari ujung gang, berjalan melewati kami. Lalu, sang korban tiba-tiba menarik tas miliknya. Terjadilah argumen di antara mereka, yang membuat nona ini memukul wajah sang korban."

"Begitu, lalu?" tanya sang polisi, memecah keheningan.

Arnon melanjutkan, suaranya tetap tenang meski penuh tekanan. "Setelah itu, kedua teman korban, yang merasa tidak terima temannya dipukul, memutuskan untuk memperkosa nona ini secara beramai-ramai."

Ruangan mendadak sunyi. Wajah polisi itu mengeras, sementara Celine menahan napas. Mencoba untuk tetap mendengarkan apa yang Arnon jelaskan.

"Nona ini sempat mencoba melarikan diri," lanjut Arnon, "tapi korban menarik rambutnya hingga ia jatuh tersungkur. Saya, pada saat itu, terlalu lemah untuk bangkit. Tubuh saya tidak sanggup membantu."

Polisi mencatat dengan saksama, sebelum bertanya lagi. "Baiklah, setelah itu apa yang terjadi?"

"Saya ingat betul," kata Arnon, kali ini lebih lambat, seolah ingin memastikan semua yang ia katakan terdengar jelas. "Mereka bertiga memegangi tangan dan kaki nona ini. Lalu saya melihat ada tangan yang mencekik leher korban... dan itu tangan nona ini. Saya yakin, karena tidak ada orang lain di sana."

"Apa?! Jaga ucapanmu! Itu bukan tanganku!" teriak Celine, suaranya penuh kemarahan. "Itu adalah tangan hantu!"

Arnon terdiam. Matanya membelalak mendengar bantahan itu. "Tangan hantu?" ulangnya, tidak percaya.

"Aku bersumpah! Itu bukan tanganku. Itu ulah hantu! Pak polisi, percayalah padaku. Aku tidak berbohong," pinta Celine dengan mata berkaca-kaca.

Polisi menggelengkan kepala, suaranya dingin ketika ia berkata, "Nona Celine, saksi sudah menyampaikan kebenarannya. Anda tidak bisa mengelak lagi."

"Tapi, Pak, aku bersungguh-sungguh!" Celine memohon dengan nada putus asa.

"Maaf, Nona Celine," kata polisi itu, nadanya datar namun tegas. "Mulai sekarang Anda akan kami tetapkan sebagai calon tersang-"

"Tunggu!"

Pintu ruangan terbuka dengan keras, dan seorang pria masuk. Ia mengenakan setelan formal serba hitam, lengkap dengan kacamata yang menutupi matanya.

"Tunggu, Pak Polisi!" serunya sambil berjalan cepat.

Langkahnya mantap, dan setiap ketuk sepatu yang menghantam lantai menggema di ruangan itu.

Tap! Tap! Tap!

Pria itu berhenti di depan meja polisi dan meletakkan sebuah kartu nama di atasnya.

"Siapa Anda?" tanya polisi itu dengan nada curiga.

"Perkenalkan, nama saya Jems," jawabnya singkat. "Ini kartu nama saya."

Polisi itu mengambil kartu nama tersebut dan memeriksanya. Saat matanya membaca tulisan di kartu itu, wajahnya berubah. "Orang ini...?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Jems tersenyum tipis, seolah mengetahui reaksi tersebut. "Pak Polisi, Nona Celine tidak bersalah. Saya bisa membuktikan bahwa apa yang ia katakan adalah kebenaran."

Polisi itu melirik Jems, lalu kembali melihat kartu nama di tangannya. Ada sesuatu dalam tatapan mereka, seperti percakapan tanpa kata yang hanya mereka berdua pahami.

"Bagaimana, Pak Polisi? Beri saya waktu tiga hari untuk mengumpulkan bukti. Setelah itu, saya akan menyerahkannya kepada Anda," kata Jems penuh percaya diri.

Setelah hening sejenak, polisi itu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, Nona Celine, kasus ini akan kami tunda sementara selama tiga hari. Untuk saat ini, Anda diperbolehkan kembali."

Mata Celine membesar, penuh rasa lega. "Benarkah? Terima kasih, Pak Polisi!"

"Anda tidak perlu berterima kasih kepada saya," jawabnya. Ia melirik ke arah Jems. "Pria itu yang membantu Anda."

Celine menoleh ke arah Jems, pria misterius yang telah menyelamatkannya dari kejatuhan lebih dalam. Pria tinggi itu hanya tersenyum kecil.

"Terima kasih, Tuan Jems," ucap Celine tulus.

"Tidak perlu berterima kasih," balas Jems dengan suara tenang. "Saya hanya ditugaskan oleh Tuan Devid."

"Devid?" Celine mengerutkan kening, merasa mengenali nama itu.

Jems mengangguk pelan. "Ya, Tuan Devid."

...****************...

Di Cafetaria, suasana ramai terdengar dari luar, namun di dalam ruangan Devid, hanya ada dua orang yang terlibat percakapan. Pukul sebelas siang, Celine duduk di hadapan Devid, pria berwibawa yang menjadi atasannya.

"Aku senang kamu dibebaskan, Celine," ucap Devid dengan nada lembut, seraya membelai wajah Celine perlahan. Ada kehangatan dalam sentuhannya, meski sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan.

"Hmm... tapi, kamu percayakan padaku kalau itu adalah ulah hantu?" tanya Celine tiba-tiba.

Devid terdiam sejenak, lalu mengangkat alis. "Hah? Hantu?"

"Iya, hantu," jawab Celine dengan serius, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya.

Devid mendadak tertawa kecil. "Oh, hahaha. Ya, aku percaya."

"Syukurlah," Celine menarik napas lega. "Aku senang mendengarnya. Aku kira tidak ada lagi yang percaya padaku."

Devid tersenyum kecil dan menepuk pelan pundak kiri nya. "Jangan khawatir, aku akan selalu berada di pihakmu, Celine."

"Terima kasih, Dev," jawab Celine dengan tulus. Namun, tiba-tiba ia mengingat sesuatu. "Oh ya, Devid, bolehkah aku pulang cepat hari ini? Aku tidak ambil lembur. Lemburku akan ku ganti pada hari liburku nanti."

"Oh? Tumben sekali. Kamu ada urusan?" tanya Devid sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Celine dengan pandangan penuh selidik.

"Ya, ada sedikit urusan yang harus ku selesaikan," jawab Celine sambil mengalihkan pandangannya.

Devid menyipitkan mata. "Kalau boleh aku tahu, urusan apa?"

Celine tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Ah... maaf, Devid. Aku tidak bisa memberitahumu. Hahaha."

Devid mengangguk pelan, meski tatapannya tetap penuh tanda tanya. "Hmmm, begitu ya..."

Dari gerak-gerik dan nada bicara Celine, Devid mulai merasa ada yang disembunyikan oleh wanita itu. Sesuatu yang penting, mungkin, tapi ia tak ingin memaksanya bicara.

"Devid?" panggil Celine, menyadarkan pria itu dari lamunannya.

"Oh, ya. Baiklah. Kamu boleh pulang cepat hari ini," jawab Devid akhirnya.

"Wah, terima kasih, Devid! Kamu memang bosku yang paling baik," ucap Celine sambil tersenyum lebar. Tanpa ragu, ia meraih tangan kanan Devid dan menatapnya dengan mata berbinar.

Devid tertawa kecil, agak gugup. "Hahaha, sama-sama."

"Baiklah, Dev. Aku akan kembali bekerja. Sampai bertemu nanti jam istirahat."

"Ya, sampai nanti," balas Devid sambil mengangguk.

Klak!

Blam!

Celine keluar dari ruangan, meninggalkan Devid sendirian. Ruangan itu kembali hening, hanya terdengar suara AC yang berdengung pelan.

Devid menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Celine. Ia menghela napas panjang, kemudian bergumam pelan, "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku?"

Tuk, tuk, tuk!

Jemarinya mengetuk pelan permukaan kayu, mengikuti ritme pikirannya yang terus mengulang kalimat terakhir yang diucapkan Celine.

"Aku curiga... tidak biasanya Celine meminta izin pulang cepat," gumamnya pelan, matanya memandang lurus ke depan tanpa fokus. "Apa yang ia sembunyikan dariku?"

Pikirannya semakin gelisah. Ia mencoba mencari jawaban, namun yang ada hanyalah tumpukan kemungkinan yang semakin menyesakkan dadanya.

"Apa... jangan-jangan..." ucapnya lirih, membiarkan imajinasi liar menyusup ke dalam benaknya.

Merasa tidak bisa membiarkan ini begitu saja, Devid merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Ia menggenggamnya erat sejenak, seakan sedang memutuskan sesuatu yang penting. Lalu, dengan cepat ia membuka kontak dan mencari nama seseorang.

Pip pip!

Tuuuuuut!

Sambungan telepon terdengar beberapa detik sebelum akhirnya terhubung.

Klak!

"Halo, Tuan?" Suara di ujung sana terdengar tenang namun tegas. Itu suara yang sudah sangat familiar bagi Devid.

"Jems," ucap Devid, nada suaranya rendah namun serius. "Bisa kamu bantu aku?"

Hening sejenak, sebelum suara Jems kembali terdengar. "Tentu, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?"

Devid tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam. "Kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi."

...****************...

Waktu terasa berlalu begitu cepat, hingga jarum jam kini menunjukkan pukul empat sore. Langit di luar mulai memerah, pertanda senja akan segera tiba. Celine, yang telah meminta izin untuk pulang lebih awal dari Devid, kini bersiap memulai perjalanan panjangnya. Tujuannya jelas: menemui nenek Ema di desa Zwaar.

Desa Zwaar terletak cukup jauh dari tempatnya bekerja, dan perjalanan ke sana tidak mudah. Untuk mencapainya, ia harus menaiki kereta dan transit di dua stasiun berbeda sebelum akhirnya tiba di lokasi tujuan. Namun, tekadnya sudah bulat.

Setibanya di stasiun, Celine segera memesan tiket menuju stasiun Giren, tempat transit pertamanya. Beruntung baginya, kereta yang ditunggu-tunggu sudah tiba di peron. Ia pun segera bergegas masuk, langkahnya cepat namun tetap penuh kewaspadaan.

"Ah, syukurlah," gumamnya saat menemukan kursi kosong tak jauh dari pintu masuk gerbong kedua. Ia meletakkan tas di pangkuannya dan bersandar, mencoba merelaksasi tubuhnya setelah seharian bekerja. "Kereta datang lebih awal. Aku jadi tidak perlu menunggu lama."

Kereta mulai melaju, roda-roda besinya berderak di atas rel, membawa para penumpang melintasi lanskap kota yang perlahan berubah menjadi pedesaan. Celine memandang keluar jendela, menikmati pemandangan yang berganti-ganti seperti potongan film.

Namun, di balik ketenangannya, sesuatu yang tidak ia sadari sedang terjadi. Di sudut lain gerbong yang sama, seorang pria misterius duduk dengan santai. Penampilannya terlihat biasa saja-pakaian kasual, topi yang sedikit menutupi wajahnya, dan masker hitam yang menyembunyikan ekspresinya.

Pria itu tampak fokus pada layar ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat seakan sedang mengetik pesan. Namun, sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Celine, tatapannya tajam dan penuh maksud tersembunyi. Ia sengaja memilih posisi duduk yang tidak terlalu jauh dari Celine, namun cukup aman untuk tidak memancing kecurigaan.

Celine, yang sibuk menikmati perjalanannya, tidak menyadari bahwa ia sedang diikuti oleh seseorang yang sangat misterius.

...Bersambung ......

1
Tinta pink
ya lord tegang banget ehhhh semoga nenek baik-baik aja /Cry/
Tinta pink
dukun sama paranormal beda nya apa?
Tinta pink
semoga Briyon baik-baik aja /Scream/
Nan
kok ngegass sih? /Angry/
Nan
Alex sama Sammy bakal ke Zwaar ya?
Nan
issshhh kasian Sovia 🥺
gugun
lanjut kak
Acil Supriadi
Emelin asli dukun ilmu hitam nih 🤔
Gebi s.
omg Briyon mau di kurung? 😱
Syelina Putri
berasa kaya peliharaan /Sweat/
Nan
Sovia dalam bahaya nih/Scare//Scare//Scare//Scare//Scare//Scare//Scare//Scare/
Nan
cinta mereka bikin iri
Ulfa Ariani
sovia di jadiin alat Briyon marah gak?/Blush/
Ulfa Ariani
tor harusnya mereka bahagia 🥺
Andini
ini ngeri nih si dukun emelin/Speechless/
Andini
nah ini, janji Briyon /Cry/
Andini
Celine janji nya ga goyah :')
Nan
kasian tor mereka gak bahagia, 🥺
Nan
tor mau nanya, Briyon kan ngelakuin perjanjian kan, itu cuman bisa nyembuhin dia? berarti dia ga punya kekuatan gitu ya?

terus kekuatan nya muncul pas dia jadi roh?
aku baca pas awal awal dia tuh baca mantra kan, nah itu mantra apa?
Nan
jangan Briyon ya /Frown/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!