--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 9
Dengan kepala tertunduk dan tangan gemetar, dayang yang dijadikan hadiah memasuki ruangan---kamar Ashiana atau juga kamar Xavier.
Dua penjaga mengiringinya dari belakang.
Peti-peti berisi emas hadiah kemenangan sudah tercampak di dekat kaki sebuah meja.
Pemandangan di depan mereka lagi-lagi seperti tontotan seru, tapi mereka tetap tak berani mengangkat wajah. Xavier duduk di sofa tanpa bersilang kaki, sementara Ashiana tertidur di lahunannya.
Telapak tangan yang biasa menggenggam pedang untuk menebas itu terlihat mengelus kepala Ashiana dengan sangat lembut. Pemandangan yang indah---seindah panglima dengan kutukan busuk dan putri dengan gangguan mental.
Sungguh pasangan sampah!
“Kalian boleh keluar!” titah Xavier pada dua penjaga.
Mereka undur diri, sementara dayang itu berdiri semakin takut menunggu ketentuan nasibnya di tangan Xavier.
Pintu sudah tertutup.
Yang tersisa hanya ada Xavier, istrinya dan seorang dayang tua yang biasa mengurusi keperluan Ashiana, berdiri di samping Xavier dengan raut penasaran. Sengaja Xavier menempatkan di sana untuk menjadikannya saksi terkait sebuah keputusan mutlak yang akan dia lontarkan pada si dayang muda.
“Siapa namamu?” tanya Xavier.
Lagi, dengan takut dayang itu mengangkat wajah, memberanikan diri menatap Xavier.
“Daphne, Tuan. Daphne Grover," jawabnya lalu merunduk lagi.
Xavier menatapnya beberapa saat, lalu menurunkan putusannya tanpa basa-basi berkelanjutan, “Daphne Grover, mulai sekarang ... kau adalah pelayan istriku. Layani Ashiana-ku sebaik mungkin, jangan melakukan kesalahan sekecil apa pun. Jika tidak, bukan hanya berakhir di tangan para pria kehausan, kau akan kubuang ke tempat yang paling mengerikan sepanjang hidupmu.”
Daphne Grover melengak, terkejut dan takut di waktu sama. “Ba-baik, Tuan!” jawabnya kemudian. Itu sudah pilihan yang paling tepat.
“Dan satu lagi!" Xavier belum selesai, Daphne mendongak lagi.
“Lupakan pria bangsawan itu! Kau hanya akan berakhir jadi kotoran jika memaksakan diri.”
Daphne merunduk dalam, cukup sedih mendengar itu. Tapi yang dikatakan Xavier jelas adalah kebenaran yang tidak bisa disangkal. “Baik, Tuan.”
Dan untuk urusan kepelayanan Ashiana, keputusan pengangkatan Daphne bukan tanpa alasan. Xavier mendapat laporan kecil dari seorang penjaga yang secara tidak langsung ada di pihaknya. Banyak kejanggalan dalam kepengurusan Ashiana oleh dayang-dayang sebelumnya yang disiapkan Ratu Jennefit. Seperti perlakuan kasar atau makanan yang tidak layak. Ashiana sangat kurus dan Xavier terpanggil hati untuk menyelidiki.
Jadi begitulah, Daphne Grover berakhir sebagai pelayan Ashiana dengan ancaman penuh. Ratu atau siapa pun tidak lagi berhak ikut campur, karna Nona Grover adalah milik Xavier, lebih tepatnya ... seorang budak!
Pengangkatan Daphne sebagai pelayan pribadi Ashiana langsung tersebar ke seantero jagat istana Kaisar dan penduduk ibukota dalam hitungan singkat. Berasal dari mulut dayang tua yang Xavier jadikan saksi dalam proses tersebut.
Mudah saja, itu tujuan Xavier.
Malam kelima setelah pernikahan.
“Tolong jaga Asha baik-baik, Kapten. Sekarang dia sepenuhnya tanggung jawabmu.” Suara Kaisar bernada lemah. Pancaran matanya menunjukkan kesedihan yang pekat, entah tulus atau hanya di muka. Dia telah memasang yang seharusnya.
“Akan hamba lakukan! Kami pamit, Yang Mulia.”
Ashiana meloncat-loncat kegirangan saat di halaman.
”Tuan Putri! Anda bisa terjatuh!" Daphne mengikuti kewalahan dari belakang.
Proka sudah siap dengan pintu mobil yang dibukanya.
Xavier mengikuti istrinya yang sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil dibantu Proka, lalu dia pun melakukan hal serupa.
Ilustrasi situasi~
Daphne melaju dengan kereta kuda di belakang mobil Xavier. Hanya mereka saja.
Saat ditawari Kaisar, Xavier menolak membawa prajurit dari istana dan pelayannya juga. Mengatakan dia pun punya beberapa orang kepercayaan yang bisa diandalkan di kediamannya.
Ashiana harus di tangan orang yang tepat mulai sekarang. Istana tidak ada orang yang bisa dia percaya.
Iring-iringan melaju jauh meninggalkan istana. Kaisar dan keluarganya masih terdiam di serambi sampai mobil yang membawa Ashiana dan Xavier menghilang ditelan jarak.
“Hah, syukurlah. Akhirnya putri gila itu lenyap dari pandanganku," Ratu Jennefit mengelus dada, kelegaan terpatri di wajahnya yang selalu pekat dengan ambisi.
“Sayang sekali. Padahal aku masih senang melihat pemandangan langka di istana ini.” Putri Anolla beda pendapat.
Ibunya menoleh dengan mata mengecil. “Kau ini!”
Tapi gadis itu tidak peduli, berlalu dari sana diikuti dua dayangnya.
Namun ada pandangan lain di wajah Kaisar. “Berbeda dengan kalian, aku merasakan akan ada kerumitan lain setelah kepergian mereka.”
•
•
“Indah sekali .... ”
Mata Daphne Grover tak bisa mengecil untuk beberapa waktu, mulutnya yang mungil mendadak lebar. Sejurus pandangnya menyapu takjub sebuah bangunan yang sedikit lebih kecil dari istana, tapi ornamen dan hiasan yang terpasang tak kalah megah.
“Hei! Berhenti melotot dan bantu aku menurunkan barang-barang Tuan Putri.” Proka menegur wanita itu.
Sontak Daphne mengatup mulut dan menormalkam bola matanya. “Ba-baik!” Dia berbalik ke arah mobil.
Dua buah koper diterimanya dari tangan Proka, lalu mendorong lurus searah pintu.
Sedangkan Xavier sudah lebih dulu menjauh, membawa Ashiana dalam pangkuan bridal-nya seperti biasa.
Di depan serambi luas, Luhde ternyata sudah menunggu.
“Selamat datang di Mansion Willow Anda, Tuan Muda.”
“Terima kasih, Luhde. Bantu Proka dan Daphne membawa barang-barang kami.”
“Baik.”
Ketukan pasang kaki Xavier menggema di lantai bagian utama mansion. Di pangkuannya, Ashiana masih terlelap.
Putri gila itu sangat doyan sekali tidur.
Tapi Xavier tidak mengeluh.
Isi hatinya belum bisa dipastikan kebenarannya. Entah rasa kasihan ... atau terlampau menghargai takdir.
Beberapa berjejer menyambut di satu titik. Merunduk memberi hormat dengan serentak.
Xavier melempar tatapan ramah dari mata yang semerah darah.
Setelah pasang kaki Xavier menjejak tangga, Luhde memerintah para pelayan yang terkira berjumah sepuluh dengan porsi setengah laki-laki setengah lainnya para wanita, untuk melakukan tugas mereka seperti yang sudah diinstruksikan.
“Jangan lakukan kesalahan sekecil apa pun," pesan Luhde. “Mansion ini dibangun susah payah oleh Tuan Muda. Jangan mengecewakannya. Kalian dibayar untuk hasil yang benar.”
“Baik, Tuan Luhde!”
Mereka semua berhambur menyongsong masing-masing tugas, termasuk Proka dan Daphne yang sudah selesai mengumpulkan semua barang melewati ambang batasan pintu.
Selanjutnya mereka akan bekerja setidaknya sampai tuan dan nyonya mereka terurus semua keperluannya hingga waktunya tidur.
Luhde sudah melanting naik ke atas menyusul Xavier yang sudah pasti ada di dalam kamar.
Baru saja tubuh Ashiana dibaringkan Xavier di tempat tidur, diselimuti dengan apik. “Wajahnya sangat teduh saat tertidur." Dia menatapnya beberapa saat. “Kuharap kau bisa sembuh, Ashiana. Dan jadilah terang benderang.”
Luhde datang dan berdeham, “Dokter dari rumah sakit Everal akan datang lusa. Hanya itu waktu sempatnya.”
“Cari dokter lain yang bisa cepat!” sentak Xavier, membalik badan ke arah Luhde. “Aku ingin Ashiana segera mendapat perawatan terbaik.”
Luhde sedikit tersentak, tapi tak bisa menolak, “Baik Tuan Muda.”
Xavier berbalik badan lagi pada istrinya. “Aku tidak percaya pada Kaisar yang mengatakan Ashiana sudah mendapat perawatan penuh. Tidak ada bukti yang mengarah pada perlakuan itu. Ashiana seperti kerangka yang mencari kelengkapan tubuhnya sendiri.”
Luhde ikut mengamati wanita itu. “Saya sependapat, Tuan Muda. Saya curiga ada konspirasi di balik kondisi Nyonya yang seperti ini.”
Tatapan Xavier berubah tajam. “Itu mungkin benar. Tugasmu harus mencaritahu.”
“Segera saya lakukan!”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞