Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Poin Kedua
Sang mami memberikan petuah kepada Rayyan sebelum dia meninggalkan rumah. Sang papi sudah menatapnya dengan begitu Lamat.
"Jangan terburu-buru, Dek."
Sebuah kalimat yang membuat Rayyan terdiam. Kedua orang tuanya sangat peka perihal kejadian ketika mereka sarapan di hotel kemarin pagi.
"Jangan buat istrimu tidak nyaman."
"Maaf, Mi."
Mami Sasa mengusap lembut pundak sang putra bungsu. Dia tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya kembali.
"Kalian baru saja mengenal. Kenali dia lebih dalam. Cari tahu apa yang buatnya nyaman dan tidak," terang mami Sasa.
"Iya, Mi."
"Abel itu bukan seperti perempuan pada umumnya. Mami tidak bisa jelaskan. Mami ingin kamu melihatnya sendiri. Dan nanti kamu bisa menilai bagaimana sosok Abel."
Mata yang berbinar dapat Rayyan lihat ketika maminya menjelaskan. Sorot mata penuh kebanggaan juga kebahagiaan yang sang mami tunjukkan.
"Meskipun rasa itu belum muncul, kamu tetap berkewajiban menjaga Abel. Dia adalah tanggung jawab kamu sekarang. Jaga dia dan jangan pernah sakiti dia. Papi tidak pernah mengajarkan anak-anak Papi untuk melukai wanita. Lebih baik anak Papi disakiti daripada harus menyakiti wanita."
Rayyan tersenyum tipis mendengar nasihat sang papi. Kalimat itu seperti sindiran keras untuk dirinya. Ketika sore datang, dia dan Anthea akhirnya berpamitan untuk tinggal di apartment milik Rayyan.
"Hati-hati ya, Abel. Sering-sering main ke sini, ya."
"Iya, Mi," balasnya dengan seulas senyum.
Di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta. Anthea juga Rayyan sama sekali tak membuka suara. Sesekali Rayyan melirik ke arah bangku penumpang samping. Merasa tidak enak hati, Rayyan pun membuka suara.
"Maaf, udah buat lu gak nyaman akan panggilan gua ke lu kemarin."
Anthea yang tengah menatap jalanan melalui kaca jendela menoleh. Sedangkan suaminya tengah fokus pada kemudi.
"Okay."
Hanya satu kata yang terucap dan mampu membuat Rayyan menoleh ke arah Anthea lagi. Namun, perempuan sudah kembali memandangi jalanan. Suasana pun kembali hening hingga mereka tiba di apartment mereka berdua bagai orang asing.
Rayyan menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Anthea. Sang istrinya hanya mengucapakan terimakasih dan segera masuk ke dalam.
"Cewek itu gak marah, tapi prengat prengut," gumamnya sambil mendudukkan tubuhnya di sofa.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Rayyan. Bohong jika dia sudah lupa pada Alanna. Ketika dia menghidupkan ponsel wajah Alanna masih menjadi wallpaper utama. Ingin mengganti, tapi hati tak mengijinkan. Alhasil, dia tetap membiarkan.
Satu jam berselang, Anthea keluar dari kamar. Dia melewati Rayyan yang masih berada di ruang tamu. Dahi Rayyan mengkerut ketika melihat Anthea menuju pintu. Refleks mulutnya hendak terbuka, tapi dia ingat poin kedua di surat perjanjian.
Tidak mencampuri urusan masing-masing
Setiap sepuluh menit sekali, Rayyan melihat ke arah pintu. Berharap Anthea pulang. Namun, sudah dua jam istrinya tak kunjung pulang.
"Ke mana sih dia?"
Tak dipungkiri dia mulai cemas. Teringat akan perkataan sang papi jika dia harus menjaga Anthea meskipun belum ada rasa. Anthea adalah tanggung jawabnya sepenuhnya.
Setelah tiga jam tak jua kembali, Rayyan meraih kunci mobil dan keluar dari apartment miliknya dengan tergesa. Umpatan kecil terdengar ketika lift lama terbuka. Tubuhnya menegang ketika Anthea berada di dalam lift tersebut dan hendak keluar.
"Dari mana?"
Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Rayyan. Anthea terdiam sesaat.
"Ingat poin kedua."
"Ya. Gua ingat. Tapi, kalau lu mau pergi seenggaknya bilang mau ke mana. Lu tanggung jawab gua sekarang, Anthea."
Anthea berdecak kesal. Dia begitu benci ketika ada orang yang memanggilnya Anthea. Dia pun meninggalkan Rayyan begitu saja. Bibir Rayyan sedikit terangkat ketika Anthea melenggang meninggalkannya. Dia tak mengejar dan memilih untuk tetap berdiri di depan lift. Tak berselang lama ada yang memanggilnya.
"Rayyan!"
Sang empunya nama tersenyum ketika seorang perempuan melangkah dengan sangat lebar menghampirinya.
"Berapa pinnya?"
"Makanya jangan sok ngambek."
Rayyan menyentil kening Anthea hingga kedua alis Anthea beradu. Decakan kesal dapat Rayyan dengar, tapi tak dia hiraukan. Anthea mengikutinya dari belakang.
"Tanggal lahir Alanna," ucapnya sambil menekan nomor yang ada di pintu.
"Bulol," gumam Anthea, tapi mampu Rayyan dengar.
Tatapan tajam Rayyan berikan. Anthea pun tak menghiraukan. Namun, Rayyan melihat ada hal yang aneh dari Anthea. Sayangnya, Anthea lebih dulu masuk setelah pintu terbuka dan segera ke kamar. Rayyan hanya terdiam dengan pikiran yang berkelana.
Satu jam berselang, Rayyan menghampiri pintu kamar Anthea. Terdengar suara musik di dalam.
May I be happy?
Maeil utgo sipeoyo
Geokjeong eopgo sipeoyo
Amuna jom dabeul allyeojuseyo
Rayyan terdiam sejenak. Bahasa yang cukup asing untuknya.
"Lagu dari planet mana itu?" gumamnya.
Tangan Rayyan mengetuk pintu kamar Anthea. Cukup lama dia mengetuk barulah sang penghuni kamar keluar.
"Berisik ya?"
"Hah?" Rayyan bingung dengan yang ditanyakan Anthea.
"Aku matiin dulu musik--"
Rayyan mencekal tangan Anthea yang hendak berbalik ke kamar. Atensi Anthea beralih pada Rayyan.
"Gua udah pesan makan." Tangan Rayyan masih berada di lengan Anthea.
"Aku udah makan."
"Temenin gua kalau begitu."
"Tapi--"
Rayyan malah menarik tangan Anthea hingga perempuan itu harus mengikuti ke mana Rayyan membawanya. Hembusan napas kasar dapat Rayyan dengar. Mereka berdua saling berhadapan di meja makan.
"Lu beneran udah makan?" Anthea mengangguk.
Rayyan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Lalu diletakkan tepat di depan Anthea. Kedua alis Anthea pun kini beradu.
"Pakailah!"
Anthea semakin bingung. Tapi, Rayyan malah dengan begitu santainya melahap makanan yang dia pesan.
"Untuk apa?"
Rayyan menghentikan kunyahannya. Menatap Anthea dengan begitu tajam.
"Untuk beli semua kebutuhan rumah sama kebutuhan lu."
"Tapi, aku gak butuh ini," sahutnya.
"Kenapa? Karena lu punya penghasilan?" Anthea mengangguk. Rayyan pun tersenyum tipis.
"Lu udah lupa? Kita ini udah nikah. Gua berkewajiban buat ngasih lu nafkah. Paham?"
Anthea hanya terdiam. Kartu yang berwarna gold hanya dia tatap tanpa dia sentuh.
"Di kartu itu ada seratus juta. Pinnya tanggal pernikahan terpaksa kita kemarin. Kalau kurang, lu bilang aja."
Rayyan kembali ke makanannya. Tak lama kunyahannya terhenti karena kartu itu sudah ada di samping makanannya.
"Aku gak perlu ini," ucap Anthea serius.
"Kebutuhan rumah kamu aja yang atur. Dan untuk kebutuhan aku sendiri sudah ada dari hasil aku bekerja. Jadi, kamu tak perlu repot mengeluarkan uangmu untuk aku. Aku tak mau bergantung pada orang lain."
Anthea beranjak dari sana. Meninggalkan Rayyan yang membeku mendengar ucapan Anthea yang di luar prediksinya. Kini, matanya tertuju pada kartu emas yang ada di atas meja.
"Ada ya cewek yang nolak dinafkahin," ucapnya dengan senyum begitu tipis.
"Kenapa dia begitu berbeda? Bahkan sangat berbanding terbalik dengan Alanna."
...*** BERSAMBUNG ***...
Komen kenceng up lagi
mau hidup enak , tapi hasil jerih payah org lain
sehat selalu kak n semangat, aku sellau nggu up nya
biar tau rasa..
ksih plajaran aja ibu yg jahat itu Rayyan....
lanjut trus Thor
semangat
double up thorr