The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16.) Rumor
Chapter 16: Rumor
Hari ini aku sengaja datang ke kantor bupati untuk mengajak Mas Satya makan siang bersama. Beberapa hari ini Mas Satya terlihat cukup sibuk karena sudah mendekati masa akhir jabatannya. Dan komunikasi kami jadi lebih sering melalui telepon daripada bertemu langsung.
Kuarahkan mini cooperku menuju tempat parkir gedung Pandawa Bharata yang merupakan kantor kerja Mas Satya sebagai bupati Bawera. Salah seorang satpam yang bertugas, membantuku memberikan arahan parkir di depan gedung.
“Selamat pagi, Mbak Kalila.” sapa petugas front-liner saat aku menghampiri meja resepsionis.
“Eh.” seruku tidak menutupi keterkejutan ku. “Kalian tau saya?”
Kedua wanita di depanku tersenyum sopan seraya mengangguk.
“Tentu saja. Mas Bupati sudah mengumumkan kepada kami pertunangannya beberapa saat lalu.” balas salah satu wanita tersebut.
“Dan pemberitaan mengenai pertunangan Mas Bupati dengan Mbak Kalila juga banyak beredar dimana-mana. Jadi tidak mungkin kami tidak tahu.” sahut yang lainnya.
Aku mengulum senyum. “Terimakasih ya..” kataku berbasa-basi. “Mas Satya ada di ruangannya?”
“Ada, Mbak. Mari saya antar.” balas wanita bername-tag ‘Nita’ ramah.
Kuikuti langkah Nita masuk lift menuju lantai 3.
Ini kedua kalinya aku menginjakkan kaki di gedung Pandawa Bharata. Pertama kali aku datang kesini untuk menemui Pak Rawat di lantai 2, tepatnya di ruang penerimaan tamu untuk Bupati.
Berbeda dengan lantai 2 yang memiliki banyak ruang meeting dan pertemuan. Lantai 3 ini hanya memiliki 5 ruang yang difungsikan sebagai kantor kerja Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, Ajudan dan Pantry. Di tengah-tengah ruangan terdapat set sofa melingkar yang digunakan sebagai tempat menunggu tamu sebelum dipersilahkan masuk ke kantor kerja.
Nita memintaku duduk di sofa melingkar terlebih dahulu sementara ia menemui sekretaris pribadi Mas Satya untuk mengumumkan kedatanganku.
Pintu kantor wakil bupati terbuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan Wakil Bupati Bawera keluar dari ruang tersebut diikuti oleh ajudannya. Aku mengangguk sopan untuk menyapa beliau yang juga menyadari keberadaanku di sofa ini.
“Mbak Kalila?” tanyanya ragu-ragu sembari menghampiriku.
Aku pun berdiri untuk menyalaminya. “Iya, Pak Sutoyo. Saya Kalila Adipramana.” sapaku.
“Mau ketemu Satya, ya?” tanyanya ramah.
“Iya, Pak. Mau ngajak Mas Satya makan siang keluar bersama.”
Pak Sutoyo tertawa. “Sibuk banget ya Satya, sampai harus diampiri dulu buat makan siang bersama.” godanya.
Aku pun ikut tertawa mengiyakan godannya. “Iya pak, masa akhir jabatan kan ada aja yang harus dikerjakan biar ga meninggalkan kerepotan buat periode berikutnya.” jelasku.
“Loh, dengar-dengar Satya malah mau ikut maju pilihan presiden ini.” beber Pak Sutoyo.
Aku cukup terkejut mendengar informasi simpang siur yang disampaikan Pak Sutoyo. Dan menanggapi gosip yang beliau sampaikan dengan tenang, mengingat citra Mas Satya yang bisa terpengaruh karena posisiku sebagai calon istrinya.
“Ditunggu saja kabar baiknya, Pak.” balasku diplomatis.
“Yang.” panggil Mas Satya dari depan pintu ruangannya.
Aku memejam menahan malu mendengar suara keras Mas Satya yang memanggilku dari jarak cukup jauh.
“Mau kesini kok ga nelfon-nelfon dulu?” tanya Mas Satya yang sudah berdiri di depanku.
“Siapa coba yang ga bisa dihubungi?” tuduhku menahan kesal.
Suara tawa tertahan Pak Sutoyo menyadarkan kami berdua jika masih ada orang lain di sekitar kami.
“Duh, pengen rasanya jadi muda kembali, biar bisa manja-manja sayang-sayangan lagi sama istri.” celetuknya.
Aku yang tidak mau merasa lebih malu lagi melipir agar bisa berdiri di samping Mas Satya. Biarkan Mas Satya saja yang menghadapi godaan ceng-ceng-an dari rekan seperjuangannya 5 tahun yang lalu ini.
“Loh, ga perlu kembali muda lagi cuma buat mesra-mesraan sama istri, Pak Toyo.” sahut Mas Satya meladeni godaan wakilnya.
“Sampe kakek-nenek harus tetap romantis sama pasangan pun ga ada yang bakal julidin, Pak. Jadi trobos aja.” saran Mas Satya sok menggurui.
“Kalau Satya sama Kalila yang PDA, pasti pada bilang gemas, lucu, romantis. Lha, kalau saya sama istri nanti malah pada ilfeel lihatnya.”
“Jadi kapan rencananya? Jangan lupa saya diundang, lho.”
Mas Satya mengangkat jempolnya menjanjikan. “Nanti kalau undangannya sudah disebar pasti tahu kapan harus mengajukan cuti untuk hadir di acara kami, Pak.”
Pak Sutoyo tertawa. “Mending saya tanya aja sama Pak Sekda, Satya ngajuin cuti panjang kapan.”
“Ya sudah. Saya ga mau ganggu kencan pasangan yang lagi kasmaran. Saya duluan, Satya, Kalila.” pamit Pak Sutoyo.
Setelah hanya tinggal kami berdua, aku menoleh ke samping bertepatan dengan Mas Satya yang juga menoleh ke arahku.
“Jadi, mau makan siang di mana?” tanya Mas Satya.
“Kata anak-anak YMB ada UMKM yang jual batagor isi sapi enak di deket sini. Kesana aja, yuk.”
Tak mau perut sampai keroncongan, kami bergegas pergi menuju outlet batagor isi sapi yang terletak di belakang kompleks kantor bupati. Datang saat jam makan siang, tempat makan yang terkenal laris ini tampak ramai pengunjung yang kebanyakan berseragam pns khas kabupaten Bawera.
Ajudan Mas Satya yang datang beriringan dengan kami, turun terlebih dahulu untuk mengkondisikan restoran agar tetap kondusif. Lima menit kemudian, Mas Satya yang turun terlebih dahulu langsung di sambung pekikan heboh pengunjung resto. Apalagi ia mengulurkan tangannya untuk membantuku keluar dari mobil yang semakin menambah kehebohan.
Menampilkan senyum ramah, aku dan Mas Satya membelah keramaian pengunjung hingga sampai di meja strategis yang sudah dipilihkan oleh ajudan Mas Satya.
Mengabaikan orang-orang yang mengeluarkan smartphonenya untuk mengambil gambar interaksi kami. Mas Satya segera mempersilahkan waiters yang ternyata adalah pemiliknya untuk mengenalkan produknya kepada kami.
Aku tersenyum lebar saat hidangan yang kami pesan tersaji di atas meja. Mas Satya yang penasaran tak pelak bertanya alasan perubahan ekspresiku.
“Aku jadi inget gosipan anak-anak YMB kemarin, Mas.”
“Kenapa emang?”
“Temannya Renata ini kan ada yang ikut berpartisipasi jadi LO acara Dekranas kemarin, Mas. Nah dia itu cerita kalau temannya dapat ‘momongan’ yang ajaib pas itu.”
“Momongan?” tanya Mas Satya tidak paham.
Aku mengibaskan tangan ke depan wajahnya. “Itu loh, pejabat yang dilayani LO.” jelasku. Mas Satya mengangguk paham.
“Salah satu tugasnya LO itu mengarahkan momongannya buat menghabiskan uang di Bawera, kan ya? Nah, si LO ini ngajak si pejabat ke sini buat nyobain kuliner khas Bawera yang lagi naik daun ini kan. Jadilah mereka makan ke sini pas itu.”
Aku berusaha menahan tawaku ketika akan menceritakan klimaks dari cerita ini. “Tau ga, Mas? Pas batagornya dateng tuh si pejabat nyeletuk, tanya kok batagornya ukurannya kecil, padahal kan isinya sapi.”
“Awalnya aku juga ga paham maksudnya gimana. Trus dijelasin sama anak-anak kalau si pejabat itu berniat ngejokes soal ukuran batagor yang harusnya sebesar sapi sebenarnya.”
“Konyol banget ga sih, si pejabatnya. Jayus banget jokesnya, khas bapak-bapak.” kataku sambil tertawa.
“Kayaknya Mas tau deh siapa pejabatnya.” tebak Mas Satya.
“Aku malah ga tau siapa dia. Ga penting juga.” kataku tak peduli.
Mas Satya mengangguk setuju. “Iyaa, ga penting kamu tau dia, Yang.”
Dan kami pun lanjut mengobrol berbagai hal seru yang menarik perhatian kami berdua. Sembari menikmati hidangan hingga habis tak bersisa.
Tepat pukul 1 siang, Mas Satya mengajakku kembali ke kantor. Ia ingin menjadi teladan yang baik bagi bawahannya agar tidak memperpanjang waktu istirahat sesuka hati dan membuat masyarakat menerima kerugiannya.
Sembari berjalan, Mas Satya meladeni beberapa pertanyaan warganya. Dan sesekali menerima ajakan selfie warganya bersamaku. Aku terus mengulas senyum bahagia menerima sambutan hangat warga Bawera atas hubungan kami.
Sayangnya, telingaku yang terlalu tajam sempat mendengar satu obrolan tak enak tentang Mas Satya, tepat sebelum masuk kembali ke mobil.
“Ayu banget yaa, Kalila iki. Cocok karo Satya sing sempurna itu.”
“Iyo sih. Tapi ngesakne len Mbak Kalila.”
“Ngopo? Romantis ngono kok mereka.”
“Jare. Satya wes meh duwe bayi, karo wedokan liyo sisan.”
“He’eh ojo gawe gawe sampean iki.”
“Aseli. Ndue informan terpercaya aku. Mosok we jik rak percoyo diriku.”
“Gek wedokan e kui yo wong kene coba.”
“Walah gek ayu opo gak wi wedokan e? Kok yo le gatelen.”
“Ayu 11 12 lah karo Kalila.”
“Jebul Kalila 1 ora cukup ya dinggo Satya?”
“Pancen wong lanang ranek sek iso dicekel buntut e. Hmm golek lanangan gausa sek sempurna ndak sek pengen ngepek uakeh.”
“Iyoo bener, timbangan makan ati. Ati ayam ngono genah uenak. hahaha”
“Eh jare Kalila ponakan e presiden gek anu cedak karo bu Kirana. Opo gak wedi Satya kui. Ngko nek ditendang bu Kirana piye jal?”
“Sak cedak e ro bu Kirana nek goblok yo tep iso wae diapusi. Satya ne dewe yo wes gak nggagas meh kui presiden, meh bu Kirana. Lha wong tuhan e dilawan kok mung gur presiden. Saiki ngetengi anak e uwong ngono kui opo ra zina? Yungalah ndue bupati yo koyo ngene.”
“Oalah ayu ayu kok yo goblok to mbak.”
“Heh lambemu. Enek Kalila kae.”
“Oops.”