Nasib naas menimpa Deandra. Akibat rem mobilnya blong terjadilah kecelakaan yang tak terduga, dia tak sengaja menabrak mobil yang berlawanan arah, di mana mobil itu dikendarai oleh kakak ipar bersama kakak angkatnya. Aidan Trustin mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, sedangkan Poppy kakak angkat Deandra mengalami koma dan juga kehilangan calon anak yang dikandungannya.
Dalam keadaan Poppy masih koma, Deandra dipaksa menikah dengan suami kakak angkatnya daripada harus mendekam di penjara, dan demi menyelamatkan perusahaan papa angkatnya. Sungguh malang nasib Deandra sebagai istri kedua, Aidan benar-benar menghukum wanita itu karena dendam atas kecelakaan yang menimpa dia dan Poppy. Belum lagi rasa benci ibu mertua dan ibu angkat Deandra, semua karena tragedi kecelakaan itu.
"Tidak semudah itu kamu memintaku menceraikanmu, sedangkan aku belum melihatmu sengsara!" kata Aidan
Mampukah Deandra menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi? Mungkinkah Aidan akan mencintai Deandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesalkah Aidan?
Bukanlah orang kuat itu dengan menang bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.
Dalam agama mana pun tidak melarang manusia untuk marah karena perasaan marah merupakan sesuatu yang manusiawi. Hanya saja dalam agama apa pun memberikan keutamaan bagi mereka yang dapat menahan dan mengendalikan diri ketika marah, berang, gusar dan naik pitam.
Lantas kalahkah Deandra menguasai amarahnya saat ini? Ini bukan masalah kalah atau menangnya, tapi di sinilah puncak emosi yang sudah tidak sanggup ditahan sendiri. Seharusnya Aidan keluar saat Deandra menyuruhnya keluar, tapi tidak dia lakukan, justru tetap di sana dan memberikan ruang untuk Deandra menunjukkan emosinya di hadapannya, memarahi dirinya agar hatinya lega. Namun, keadaan jadi jauh berbeda.
Aidan, pria lumpuh itu belum pernah menghadapi emosi wanita yang begitu meledak-ledak seperti Deandra, karena Poppy jarang marah dengannya, maklumlah rumah tangganya selalu harmonis, bisa dikatakan tidak ada pertengkaran kecil maupun besar, jika ada masalah sedikit Poppy bergegas minta maaf terhadap suaminya yang begitu kaku sikapnya, tapi lebih banyak Aidan membiarkannya saja yang penting istrinya senang.
Poppy yang selalu menunjukkan sikap manis, baik hati, lembut dan perhatiannya pada Aidan. Berbanding terbalik dengan Deandra, yang berani bersikap apa adanya, hidupnya dari kecil sudah banyak pergolakan atas sikap Poppy yang selalu menyetirnya, dan tak bisa dielakkan jika semua ada batasnya! Dan saat ini Deandra sedikit demi sedikit mengeluarkan jati dirinya yang sesungguhnya.
Aidan menatap lekat kedua netra Deandra yang masih tergenang air mata. Mata yang begitu rapuh, mata yang penuh dengan ketidak berdayaannya selama ini, namun sangat pandai dia menutupinya. Hati Aidan ikut pilu melihat kerapuhan Deandra, dan semuanya karena dirinya juga yang ikut menyiksa Deandra.
“Ya Allah, maafkan aku yang telah berbuat dosa, bukan maksud aku seperti itu,” batin Deandra, merasakan sesak di dadanya, dia tidak bermaksud mengotori tangannya dengan sebuah kejahatan, akan tetapi hal itu sudah terjadi, dan dia akan bertanggungjawab.
Dengan menahan rasa sakit di bahunya, Aidan tiba-tiba saja bergerak mencium kedua mata Deandra yang mulai terpejamkan secara bergantian, entah kenapa dirinya ingin sekali melakukannya walau mulutnya tidak berkata kembali. Wanita itu bisa merasakan sentuhan itu tapi dia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan Aidan, dan yang jelas tidak tersentuh dengan sikap Aidan, walau itu hak pria itu sebagai suaminya.
“Iish ...,” Aidan mendesis menahan rasa sakitnya yang semakin menjadi. Darah pun makin banyak keluar dari bahunya.
Klek!
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka ...
“Astaghfirullahaladzim,” pekik Papa Ricardo, yang ternyata masuk berbarengan dengan Dokter Leo beserta Bu Nani.
Melihat Aidan dan Deandra terkapar dilantai, Dokter Leo bergegas pencet tombol darurat, setelahnya dibantu oleh Papa Ricardo mereka sama-sama mengangkat tubuh Aidan yang menindih tubuh Deandra, secara hati-hati, dan kembali menduduki pria lumpuh itu ke kursi rodanya.
Sedangkan Deandra yang masih menangis, tubuhnya terlihat masih gemetaran. Tak sanggup rasanya Bu Nani melihat keadaan wanita itu, didekatilah Deandra, begitu pula dengan Dokter Leo yang langsung membopong Deandra dari atas lantai untuk kembali berbaring di atas ranjang, setelahnya Bu Nani memeluk Deandra agar agak tenang sembari mengusap punggung wanita itu dengan lembutnya.
Aidan meraup wajahnya dengan salah satu tangannya dengan kasar, ada rasa penyesalan yang menghinggapi hatinya, sedangkan Papa Ricardo terlihat memijat kening yang mulai pusing melihat keadaan anak dan menantunya tersebut.
Tak lama kemudian beberapa perawat masuk ke kamar, dan mereka sigap menangani Deandra. “Kasih injeksi obat penenang, dan pasang kembali infusannya, serta periksa saturisasi oksigennya, jangan lupa cek tekanan darahnya!” perintah Dokter Loe pada perawatnya.
“Baik, Dokter,” jawab sang perawat.
Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Aidan yang masih menahan sakit di bahunya. “Bawa Pak Aidan ke ruang operasi!” kembali memerintah Dokter Leo, teman Aidan itu bergegas keluar dari ruang rawat dengan wajah seriusnya dan dua orang perawat langsung membawa Aidan menuju lantai tiga, akan tetapi sebelumnya memberikan pertolongan untuk memberhentikan aliran darah pada bahu pria lumpuh itu.
Beberapa menit kemudian isak tangis Deandra mulai tidak terdengar, dan kedua netranya pun mulai terasa berat, hingga akhirnya dia memejamkan kedua netranya.
Papa Ricardo terduduk lemas di sofa, dan menatap noda darah yang belum sempat dibersihkan oleh cleaning service di atas lantai itu, sesekali pria paruh baya itu pun menghela napas panjangnya.
“Pak, pasien sudah tertidur, jika nanti ada sesuatu hal, bisa langsung panggil kami,” kata salah satu perawat sebelum keluar dari kamar tersebut.
“Terima kasih Suster, saya juga minta tolong panggilkan cleaning servise untuk membersihkan noda ini,” pinta Papa Ricardo.
“Baik Pak, nanti akan segera kami panggilkan.”
Kedua perawat itu pun keluar dengan tatapan penuh tanda tanya setelah melihat adanya penusukan di kamar pasien. Mungkinkah akan lanjut ditindak ke pihak berwajib?
Bu Nani yang duduk di samping ranjang Deandra dipanggil oleh Papa Ricardo.
“Nani, ada apa sebenarnya tadi dengan Aidan dan Deandra?” tanya Papa Ricardo dengan tatapan menyelidik.
“Tadi Deandra sempat memaki tuan muda, setelah itu saya diminta untuk keluar oleh tuan muda. Dan saya tidak tahu setelahnya Tuan, karena saya hanya menunggu di luar saja,” jawab Bu Nani apa adanya.
Pria paruh baya itu semakin memijat keningnya dan menghela napasnya berulang kali. Melihat hal tersebut Bu Nani semakin penasaran hubungan antara tuan mudanya dengan Deandra.
“Maaf Tuan Besar seandainya saya lancang bertanya, kalau boleh tahu sebenarnya Deandra ada hubungan kah dengan tuan muda?” tanya Bu Nani dengan hati-hatinya.
Papa Ricardo menarik tangannya dari keningnya dan menatap pelayan yang sudah lama bekerja di mansionnya. “Aidan dan Deandra adalah suami istri, Deandra istri kedua Aidan. Dan kamu tidak perlu banyak bicara tentang ini ke semua orang, nanti ada saatnya semua orang tahu, mengerti!” jawab Papa Ricardo.
Bu Nani terkejut sembari mengatup rapat bibirnya, tidak disangka ada hubungan di antara mereka berdua.
“Jadi Deandra istri kedua tuan muda, tapi kenapa seperti pelayan?” batin Bu Nani.
“Saya minta kamu menjaga Deandra di sini, jika ada yang menjenguknya tolong kamu awasi dan jangan sampai keluar dari ruangan ini. Saya ingin melihat keadaan Aidan,” pinta Papa Ricardo sembari bangkit dari duduknya.
“Baik Tuan.”
...----------------...
Tiga jam kemudian ...
Ruang Lily 102
Aidan sudah selesai melakukan operasi pengangkatan pisau yang ada di bahunya, dan sekarang sudah berada di kamar sebelah tempat Deandra dirawat.
Papa Ricardo selaku ayahnya menemani anaknya di kamar tersebut, yang kini sudah tersadar dari pengaruh obat biusnya. Terlihat bahu kanan Aidan yang kekar sudah berbalut perban, dan pria itu menatap Papa Ricardo yang sedari tadi menajamkan sorot matanya.
“Apa yang terjadi sebenarnya, sampai kamu tertancap pisau itu!” tanya Papa Ricardo.
Kedua netra Aidan mulai berkaca-kaca, namun dia menahan untuk tidak meneteskan air matanya, ini semua karena bayangan wajah Deandra yang masih melekat di pelupuk matanya.
“Deandra berusaha bunuh diri dengan pisau buah Pah, dan aku berusaha mencegahnya,” jawab Aidan dengan sejujurnya, kemudian dia menundukkan kepalanya sejenak.
“Astaghfirullahaladzim,” balas Papa Ricardo sembari mengusap dadanya.
“Bagaimana kalau dengan kejadian ini, Dea menyerahkan diri ke polisi?” lanjut kata Papa Deandra dengan pertanyaan.
DEG!
Hati Aidan berdenyut nyeri dan amat perih dengan pertanyaan itu, dia tidak menginginkannya.
Pria lumpuh itu menggelengkan kepalanya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, dia tidak peduli dengan rasa pusing yang masih mendera di kepalanya. Yang dia inginkan sekarang adalah mencegah hal itu, jangan sampai terjadi.
Sementara itu di sebelah kamar Aidan ...
“Bangunlah! Jangan pura-pura sakit, Deandra!” teriak wanita paruh baya itu, sembari menggoyangkan tubuh Deandra yang masih tertidur.
Bersambung ...