Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦭꦧꦤ꧀
Kali ini, Herlic sengaja menyusun rencana untuk menjegat Mela di jalan kecil yang sering ia lewati saat hendak pergi ke pasar menjual jamu. Ia bersembunyi di balik semak-semak bersama seorang pengawalnya, matanya tajam mengawasi setiap arah, memastikan targetnya tidak terlewat.
"Tuan yakin anak itu akan lewat dari sini?" bisik pengawalnya, suaranya pelan namun penuh keraguan.
"Yakin," jawab Herlic singkat, pandangannya tetap terpaku pada jalan yang tampak lengang. "Aku sudah mengintai dan memperhatikannya selama beberapa hari. Dia selalu melewati jalan ini."
Pengawalnya masih terlihat bingung dan merasa cara ini tidak lazim. "Tapi mengapa kita tidak langsung datang ke rumahnya saja dan meminta dia berbicara? Bukankah itu lebih mudah?" tanyanya lagi, mencoba memberi saran.
Herlic mendadak berbalik, menatap pengawalnya dengan tajam. Nada suaranya berubah menjadi dingin dan mengancam. "Diamlah. Ikuti saja perintahku, atau kau yang akan aku tembak!" katanya sambil mengangkat senjatanya sedikit, membuat pengawalnya terdiam ketakutan.
Pengawal itu mengangguk patuh, meskipun hatinya masih gelisah. Ia tidak mengerti mengapa Herlic begitu terobsesi dengan gadis penjual jamu itu, tetapi ia tahu lebih baik tidak membantah perintah atasannya. Mereka kembali bersembunyi, menunggu Mela lewat, sementara suasana sekitar semakin sunyi, hanya diiringi suara angin yang berdesir lembut di antara dedaunan.
Herlic menggenggam pistolnya erat, pikirannya dipenuhi dengan rencana dan tujuan yang hanya dia sendiri yang tahu. Ketika akhirnya langkah kaki terdengar dari kejauhan, senyum tipis muncul di wajahnya. "Itu dia," bisiknya pelan, penuh keyakinan.
Saat itu, Mela muncul di ujung jalan, membawa keranjang jamunya seperti biasa, tanpa tahu apa yang menunggunya di depan.
Mela melangkah perlahan di jalan setapak yang ia lewati setiap hari. Keranjang jamu di tangannya bergoyang ringan seiring langkah kakinya. Wajahnya terlihat tenang, meskipun pikirannya sibuk memikirkan rencana hari itu—mengunjungi pasar, menjual jamunya, lalu kembali ke rumah yang sunyi. Jalan ini telah menjadi bagian dari rutinitasnya, dan tak ada alasan baginya untuk merasa curiga.
Di balik semak-semak, Herlic memantau dengan tajam. Tangannya yang memegang pistol tetap mantap, meskipun matanya memancarkan ketegangan. "Diam di sini," bisiknya kepada pengawalnya. "Jangan bergerak sampai aku memberi tanda."
Pengawalnya mengangguk patuh, meski rasa gelisah masih mengganjal di hatinya. Ia tidak mengerti mengapa seorang gadis sederhana seperti Mela menjadi target perhatian Herlic. Apakah ini soal tugas resmi, atau ada alasan pribadi yang tidak dia ketahui?
Saat Mela semakin mendekat, Herlic keluar dari persembunyian. Langkahnya mantap, dengan senjata yang disembunyikan di balik jubahnya. Suara langkahnya membuat Mela menghentikan langkahnya, menoleh ke arah suara. Ia terlihat kaget ketika mengenali sosok yang berdiri di hadapannya.
"Tuan Herlic?" tanyanya, suaranya dipenuhi kebingungan. "Ada apa, Tuan? Mengapa Tuan ada di sini?"
Herlic menatap Mela dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada campuran kekakuan dan keraguan di matanya, namun ia mencoba menutupinya dengan nada suara yang tegas. "Mela, aku perlu bicara denganmu."
"Denganku? Tapi untuk apa?" Mela menggelengkan kepala dengan tegas, isyarat bahwa ia tidak mau berurusan dengan Herlic. Matanya memandang penuh perlawanan, meskipun di dalam hatinya ada rasa takut yang bergejolak.
"Ikut aku, atau kau akan aku tembak," ancam Herlic, suaranya dingin namun mengandung nada menekan.
Mela mendongak, menatap tajam ke arah pria itu. "Kalau begitu, tembak saja aku," balasnya dengan suara lantang dan penuh keberanian yang tak terduga. Ia melangkah maju sedikit, seolah menantang.
Herlic terkejut sejenak oleh antusiasme gadis itu. Namun, ia segera menguasai dirinya dan menggeleng pelan. "Aku tak akan melakukannya," katanya dengan nada tenang, senyumnya samar mulai terlukis di wajahnya.
"Kalau begitu, pergi dari hadapanku sekarang," bentak Mela. Ia melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan, tapi tidak ada apa pun di sekitarnya yang cukup membantu. Jalan itu terlalu sunyi, dan ia merasa semakin terpojok.
Dengan cepat, ia mengulurkan tangan ke bakul yang digendongnya dan mengeluarkan botol jamu. "Pergi, atau kau akan aku lempar dengan botol ini," ancamnya sambil mengangkat botol itu tinggi-tinggi, mencoba terlihat sekuat mungkin meskipun tangannya sedikit gemetar.
Herlic justru tertawa kecil, seolah ancaman itu tidak membuatnya gentar sama sekali. "Mela, Mela... kau ini lucu sekali," katanya sambil tersenyum, ekspresinya jauh dari kemarahan.
Langkah Herlic maju perlahan, mendekat dengan tenang namun penuh kepastian. Sementara itu, Mela mundur dengan langkah yang sama hati-hatinya, menjaga jarak antara mereka. Botol jamu itu tetap ia genggam erat, siap dilempar kapan saja.
"Berhenti di situ, Tuan!" serunya, mencoba menghentikan Herlic. Namun, pria itu tampak tidak peduli. Ia terus melangkah maju, tatapannya terfokus pada gadis itu, seperti seorang pemburu yang yakin buruannya tidak akan bisa melarikan diri.
"Kau pikir aku takut dengan botol itu?" tanya Herlic, nadanya hampir mengejek. "Aku hanya ingin bicara, Mela. Tidak lebih."
"Tapi aku tidak mau bicara!" balas Mela dengan nada tegas. "Kalau kau terus mendekat, aku akan benar-benar melemparmu!"
Herlic berhenti sejenak, tersenyum kecil sambil melipat tangannya di depan dada. "Lemparlah, kalau kau memang berani," katanya, sengaja memprovokasi.
Suara botol yang dilempar terdengar keras.
Mela benar-benar melemparkan botol jamu itu ke arah Herlic tanpa ragu. Botol itu menghantam bahu pria itu dengan cukup keras, membuatnya sedikit terhuyung. Namun, Herlic tidak menunjukkan rasa sakit atau kemarahan. Sebaliknya, ia hanya menatap Mela dengan pandangan yang sulit ditebak.
Melihat pemimpin mereka diperlakukan seperti itu, para militer bawahan Herlic yang bersembunyi langsung keluar dari persembunyiannya. Mereka semua bergerak cepat, mengelilingi Mela dengan senjata yang siap ditembakkan. Suasana berubah tegang dalam sekejap, dan suara kokang senjata bergema di udara.
Mela berdiri tegak, meskipun hatinya berdebar kencang. Ia tahu nyawanya terancam, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ia menatap tajam ke arah Herlic, seolah-olah menantangnya untuk mengambil tindakan.
Namun, Herlic mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada para bawahannya untuk berhenti. "Simpan senjata kalian," katanya dengan suara tegas namun tenang. "Tidak perlu menembak anak perempuan ini. Jangan terlalu kasar padanya. Ia hanya seorang gadis."
Para militer itu saling memandang, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menurunkan senjata mereka dan memasukkannya kembali ke sarung. Mereka tetap berdiri di tempat, menunggu perintah lebih lanjut dari Herlic.
Herlic melanjutkan, "Sudah, bubarlah. Pergi ke tugas kalian masing-masing. Kalian punya pekerjaan lain yang lebih penting kutip pajak dari pribumi lainnya. Aku bisa mengurus ini sendiri."
Para militer itu patuh. Mereka memberi hormat singkat sebelum beranjak pergi, meninggalkan Herlic dan Mela sendirian di jalan setapak itu. Sekarang, hanya ada mereka berdua, dan keheningan terasa mencekam.
Mela tetap memandang Herlic dengan sorot mata yang penuh kemarahan dan kebencian. Ia merasa dirinya sudah di ambang bahaya, tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.
Herlic mendekati Mela perlahan, tanpa ekspresi yang mengancam. "Kau punya keberanian yang besar, Mela," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah daripada sebelumnya. "Tidak banyak orang yang berani melakukan apa yang baru saja kau lakukan."
Herlic kembali melangkah maju dengan perlahan, tatapan matanya tetap terpaku pada Mela. Sementara itu, Mela terus berjalan mundur, menjaga jarak sejauh mungkin. Wajahnya tegang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak terlihat takut.
Namun, langkah mundurnya yang tergesa-gesa membawa konsekuensi yang tidak terduga. Kakinya ....