Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Gejolak
Emily terus bergumul dengan pikirannya sepanjang waktu, tidak bisa melepaskan apa yang dia katakan kepada Reymond kemarin malam. Perasaan cemasnya semakin membesar setiap kali ia mencoba mengingat kejadian itu.
“Gak! Gak! Gak! Kamu harus tenang, Emily. Semua itu hanya karena kamu mabuk berat. Iya, kamu sedang mabuk, dan itu hal yang wajar. Dia pasti memakluminya, gak mungkin dia pikir aku aneh.” Emily berusaha meyakinkan dirinya sendiri, namun kata-katanya terasa hampa, seolah tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti hatinya. “Aaaaaaaaaaaa! Bisa gila aku kalau kayak gini terus.”
Frustrasi, Emily menekan kepalanya ke dinding terdekat, mencoba menerima kenyataan. Matanya terpejam rapat, seakan berharap dengan begitu perasaan cemasnya bisa sedikit mereda.
“Emily?” Suara bariton yang tiba-tiba memanggilnya mengagetkannya. Emily langsung terangkat dari posisinya, memalingkan wajah ke sumber suara.
“P-pak Reymond?” Suaranya sedikit tercekat, masih terkejut dengan kehadiran pria itu.
“Sedang apa kamu di sini?” Reymond bertanya, menatap Emily dengan serius.
Emily terdiam, kebingungan. Matanya berlari kesana kemari, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Eunngggg, saya… itu…” Ucapannya terhenti, tidak bisa menemukan penjelasan yang jelas.
“Mau bertemu dengan pak presedir?” Reymond menanyakan dengan nada yang lebih tenang.
Emily tetap diam, tidak mampu memberi jawaban. Dia hanya menatap Reymond tanpa suara, merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Kamu gak perlu menemuinya hari ini.” Reymond melanjutkan, memberikan kesempatan bagi Emily untuk pulang.
“Huh?” Emily tampak bingung, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Saya ada urusan dengan pak presedir, kamu boleh pulang.” Reymond menambahkan, tidak terburu-buru.
“P-pulang?” Emily terkejut, merasa masih belum bisa memercayai kata-kata itu.
“Hm.” Reymond mengangguk tegas, namun ada sedikit rasa khawatir yang terlihat di matanya.
“G-gak mungkin, pak presedir bisa saja marah denganku. Aku gak—” Emily terhenti, ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Mattheo muncul, membuat Reymond menunduk sedikit memberi hormat.
“Pak presedir disini?” Reymond bertanya, menoleh ke arah Mattheo yang baru saja masuk.
Emily langsung berdiri dengan cepat, mengikuti gerakan Reymond. Keduanya memberi hormat dengan tangan di depan dan kepala tertunduk, menunjukkan rasa hormat yang seharusnya.
“Pak presedir, ada yang ingin saya bahas dengan Anda. Dan saya pikir, ini cukup memakan waktu. Bagaimana kalau kita membahas hal ini di luar kantor saja?” Reymond menyarankan, suara serius namun tetap sopan.
“Sepertinya hal penting?” Mattheo bertanya, melihat Reymond dengan tatapan penuh perhatian.
“Iya, pak presedir.” Reymond mengangguk, tidak ingin membuang waktu.
“Baiklah, mari Reymond.” Mattheo menjawab singkat dan beranjak menuju pintu. Tanpa menoleh ke arah Emily sedikit pun.
“Kamu boleh pergi, Emily.” Reymond menambahkan, setelah Mattheo melangkah keluar terlebih dahulu.
Emily terpaku sejenak, tidak yakin apakah itu benar-benar kesempatan untuk pergi. “Ini beneran? Aku boleh pergi?” Dia menatap Reymond dengan bingung, masih belum sepenuhnya yakin dengan situasi ini. “Seriusan?”
Reymond hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, memberi isyarat bahwa Emily memang bebas untuk pergi. Emily sedikit terkejut, namun merasakan sebuah kelegaan yang aneh. Tanpa menunggu lebih lama, dia berjalan pelan keluar dari ruangan, masih ragu dengan apa yang baru saja terjadi.
***
📍 Ruangan VVIP; Restoran
“Kenapa kita di sini, Reymond?” tanya Mattheo, matanya sedikit menyipit, mencoba memahami situasi yang tak biasa ini.
“Kebetulan, jam makan malam sebentar lagi. Papa mertua juga harus makan malam, kan?” jawab Reymond dengan nada tenang. “Saya juga sudah menghubungi Rein, dia sedang dalam perjalanan menuju kemari.”
Mattheo hanya mengangguk, menerima apa yang diberikan menantunya malam ini. Meski ia tidak sepenuhnya nyaman, dia mengerti bahwa ini adalah bagian dari kewajiban keluarga.
Reymond memandangi piringnya, tetapi pikirannya terus melayang ke sesuatu yang jauh lebih penting. Hampir setiap hari, ia menyaksikan Emily menemui Mattheo, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang terjadi antara mereka. Namun, satu hal yang terus mengusik benaknya adalah mengapa Emily bisa menangis begitu keras hingga mabuk berat. Padahal, Emily bukanlah tipe orang yang minum banyak.
“Pa?” suara Reymond memecah keheningan.
“Hm?” Mattheo mengangkat wajahnya, menatap Reymond dengan perhatian.
“Maaf sebelumnya, tapi… saya harus mengatakan hal ini.” Reymond berbicara dengan hati-hati, matanya mengamati reaksi Mattheo. “Saya dengar kabar kalau Emily sering sekali menemui papa di ruangan. Ini sudah jadi pembicaraan di kantor dan luar kantor. Bahkan, saya juga mendengarnya di kantor saya.”
Mattheo mengangkat satu alis, ekspresinya tidak berubah, namun ada sedikit ketegangan yang bisa dirasakan.
“Papa hanya membahas pekerjaan dengannya. Pekerjaan berat yang saya berikan, apakah dia bisa menerimanya atau tidak.” Mattheo menjelaskan, nada suaranya datar namun tajam.
“Saya tidak ingin lancang untuk ikut campur membahas pekerjaan itu. Tapi, ada baiknya papa membawa Yubin ikut untuk membahas hal ini,” Reymond melanjutkan dengan hati-hati, menatap tajam ke arah ayah mertuanya.
Mattheo terdiam, menatap Reymond sejenak dengan serius. Lalu, ia mengambil cangkir teh di depannya, meneguknya perlahan sambil mempertimbangkan kata-kata Reymond. Setelah itu, ia meletakkan cangkir itu kembali dengan santai, meskipun ada rasa emosi yang tertahan di balik tatapannya.
“Iya, papa akan meminta Yubin untuk ikut jika membahas pekerjaan.” Mattheo akhirnya menjawab, suara sedikit lebih berat.
Reymond tidak bisa menahan perasaan curiganya terhadap hubungan antara Mattheo dan Emily, tapi ia tahu lebih baik untuk tidak melontarkan pertanyaan lebih jauh. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang Mattheo tampaknya berusaha sembunyikan.
“Bagaimana pekerjaan kamu, Reymond?” Mattheo mengalihkan topik, mencoba melanjutkan percakapan dengan lebih ringan.
“Sejauh ini lancar, pa,” jawab Reymond dengan tenang, meskipun dalam pikirannya ada banyak hal yang masih mengganjal.
“Kamu sudah memikirkan untuk menggantikan posisi Amanda?” Mattheo bertanya dengan nada yang lebih tajam.
“Soal itu…” Reymond terlihat sedikit ragu. “Saya harus fokus dengan Dallas dulu. Kalau saya juga terlibat dengan Mvvo, bukankah itu terlihat serakah, pa?” ia berkata, berusaha menjaga jarak antara pekerjaannya dan ambisi yang lebih besar.
“Tapi sejauh ini, kinerjamu sangat membanggakan, bagaimana bisa papa membiarkan kamu tidak mengisi kekosongan kursi CEO?” Mattheo menegaskan, matanya menatap Reymond dengan serius.
“Itu… bukannya tidak bisa sembarangan menurunkan jabatan Amanda?” Reymond menanggapi, lebih berhati-hati. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil di sini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.
“Papa presedir dan papa pemilik perusahaan, Reymond,” jawab Mattheo dengan nada lebih berat, seolah mengingatkan menantunya siapa yang memiliki kontrol penuh.
Reymond terdiam sejenak, berpikir tentang kata-kata Mattheo. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, tetapi satu hal yang pasti: jika ia ingin menguasai hal lain, ia harus siap mengambil langkah besar—tanpa ragu.
****
📍 Apartement
“Cece pulang lebih awal?” tanya By, melihat Emily yang baru saja masuk.
“Hm, aku pulang lebih awal. Apa yang sedang kamu lakukan?” Emily menyapa adiknya dengan lembut.
“Aku lagi mengerjakan tugas kampus, ce.” By menjawab, matanya masih tertuju pada layar laptop yang terbuka.
Emily tersenyum, kemudian mengelus kepala Baby, adiknya, yang duduk di samping.
“Belajar yang rajin, jangan bolos kuliah, By.” Emily menasihati dengan lembut.
“Pasti, ce. Aku nggak akan bolos kuliah, apalagi buat cece kecewa sama pendidikan ku.” Baby menjawab penuh keyakinan, membuat Emily terdiam sejenak.
Kata-kata itu membawa Emily pada sesuatu hal yang membuat hatinya sedikit terhentak. Dia kembali teringat pada beberapa hal yang sangat berat dan menyakitkan, yang akhirnya membawanya ke titik saat ini.
“Sulit ternyata.” Emily bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Huh? Apanya yang sulit, ce?” Baby bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Enggak sayang, ya sudah, cece masuk kamar ya, mau bersih-bersih.” Emily berusaha mengubah topik, namun suara lemah di dalam dirinya masih terus terdengar.
“Iya, cece.” Baby mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaan di mejanya.
Emily perlahan beranjak masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, dia berhenti sejenak, menatap cermin di dinding dengan wajah yang penuh kecemasan. “Hhh... apa benar, kalau hari ini aku bisa tidur dengan tenang?” Dia menghela napas, gelisah, sambil terus memandangi layar handphone di tangannya yang tak menunjukkan notifikasi apapun.
***
-Dalam Mobil -
“Endrick?” suara berat Mattheo terdengar, suaranya tegas.
“Iya, pak presedir.” Endrick menjawab. “Hati-hati meminta Emily untuk bertemu dengan saya. Reymond mulai curiga tentang hal ini. Dan pastikan, kamu membawa Yubin untuk ikut dalam pertemuan saya dengan Emily.”
“Baik pak presedir.” Endrick mengangguk, dengan menyetir dan menatap jalanan.
***
-Dalam Mobil -
Reymond mengemudi dengan tenang, namun Rein yang duduk di sampingnya, tampak gelisah.
“Kamu membahas apa dengan papa tadi?” Rein memecah keheningan, suaranya penuh rasa ingin tahu.
“Hanya pekerjaan.” Reymond menjawab dengan singkat, tetap fokus pada jalan di depannya.
“Tapi sepertinya, itu sangat serius.” Rein menambahkan, memandangi Reymond dengan curiga.
“He’em.” Reymond mengangguk pelan, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di situ.
Rein kemudian melingkarkan lengannya di sekitar lengan Reymond, seolah mencari perhatian dari suaminya. “Sayang,” suaranya lembut, namun penuh harapan. “Aku... kangen sekali dengan kamu.”
Reymond menoleh sekilas ke Rein, tetapi tidak mengubah arah pandangnya. “Hm?”
“Bukan itu maksudku.” Rein melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius. “Sejak aku hamil, kamu sudah jarang menyentuhku. Kamu bahkan hampir tidak pernah memberiku ciuman. Apa kamu bosan denganku?”
Reymond menatap Rein sekilas dengan ekspresi tenang. “Pemikiran dari mana seperti itu?” Ia bertanya, mencoba menanggapi perasaan Rein dengan lebih tenang.
“Habisnya, kamu benar-benar nggak melihat aku. Kamu juga hanya fokus dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini. Aku kesepian, sayang.” Rein mengeluh, suaranya terdengar penuh kesedihan.
Reymond menelan ludah, matanya menatap jalanan di depannya, namun hatinya mulai bergejolak, merasakan hal yang berbeda, dengan jelas.