Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#17
Fahira Hidayati belum juga bisa menemukan Amelia. Setiap tempat yang biasa digunakan ngobrol dan bersantai bersama Amelia sudah ia datangi Tapi Amelia tak kunjung ia temukan. Hanya satu tempat yang belum ia datangi. Salah satu pohon mangga yang tumbuh paling ujung asrama. Tapi ia ragu Amelia berada di sana dalam keadaan hujan deras seperti ini. Tapi Amelia kemana lagi jika tidak di sana? Area asrama sudah ditelusuri semua.
Amelia memanggil salah satu santri yang sedang membersihkan diri di pancuran air yang mengalir dari atap asrama.
"Kamu lihat Amelia gak," tanya Fahira Hidayati.
"Pernah, tapi dimana ya." Santri itu mengernyitkan dahinya sambil menoleh kesana kemari.
"Sepertinya ia kesana," lanjutnya sambil menunjuk ke arah jejeran pohon mangga. Ternyata benar. Ternyata Amelia ada di sana. Fahira Hidayati pun segera kembali ke kamarnya. Setelah mengganti pakaiannya, ia pun segera berlari di bawah guyuran hujan menuju pohon mangga.
Fahira Hidayati memperlambat langkahnya ketika melihat Amelia duduk menekur membelakanginya. Fahira Hidayati mendesah pendek. Tubuh Amelia terlihat gemetar. Fahira Hidayati segera memeluk tubuh Amelia dari belakang. Amelia tak menoleh. Ia tahu yang kini sedang memeluknya adalah Fahira Hidayati. Ia sama sekali tak merespon saat berkali-kali Fahira Hidayati mencium pipinya.
"Ih, yang lagi ngambek," kata Fahira Hidayati sambil mencubit pipi Amelia. Ia melepaskan pelukannya dan bersimpuh di depan Amelia. Amelia tetap diam. Fahira Hidayati memegang kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya. Tapi Amelia tetap tak bergeming. Malah ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tolong jangan begitu, Mel. Jangan menambah bebanku dengan caramu seperti ini. Aku salah. Aku telah membuatmu sedih dan kecewa," kata Fahira Hidayati. Kini gantian tangan Amelia yang dikecupnya berkali-kali. Hal itu membuat Amelia tidak bisa menahan tawanya karna geli. Melihat Amelia kegelian, Fahira Hidayati semakin menjadi-jadi menggelitik perut Amelia. Amelia tak tinggal diam. Dia membalas menggelitik perut Fahira Hidayati sehingga keduanya bergulingan di tanah yang tergenang air.
"Sudah. Sudah, Aku menyerah," kata Amelia sambil mengangkat tangannya. Keduanya nampak kelelahan. Bibir keduanya bergetar menahan dingin. Sebelum pergi, keduanya kembali berpelukan.
...****************...
"Hei, tuh lihat saingan barumu. Gara-gara dia, Ustadz Pahlevi gak pernah nyuruh kita buat kopi lagi," kata Baiq Reni kepada Emi ketika melihat Fahira Hidayati dan Amelia bergandengan tangan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Iya, kayaknya anak itu cari perhatian deh sama Ustadz Pahlevi. Kemarin saja dia kayaknya pakai cream. Menor banget," kata Emi. Ekspresi wajahnya jelas menampakkan ketidaksenangannya.
"Tapi sayang, Ustadz Pahlevi tidak datang. Kasihan deh," kata mereka serempak di iringi tawa renyah mereka.
Hujan perlahan mulai reda. Langit masih terlihat gelap. Para pengurus asrama terlihat mulai memeriksa semua kamar dan memberi instruksi untuk bersiap-siap menuju mushalla untuk persiapan shalat maghrib.
Angin berhembus dingin. Menghempas sisa-sisa air hujan di dedaunan pohon. Ustadz Pahlevi terlihat gelisah mondar-mandir di ruang tamu dan teras rumahnya. Mendung masih menghampar memenuhi hampir seluruh langit. Tapi ia yakin tak akan hujan hingga beberapa jam ke depan. Keyakinannya ini sebenarnya didasari oleh rasa tidak tenang dalam hatinya. Sejak kekecewaannya sore tadi karna tidak bisa hadir di pesantren untuk mengisi jadwalnya. Hingga maghrib ini , dan pastinya hingga larut malam nanti, perasaan gelisah dan tak menentu dalam hatinya akan mengganggu ketenangannya. Penawarnya cuma satu. Ia ingin melihat Fahira Hidayati.
Entah apa yang kini terjadi pada dirinya. Hanya karna pandangan mata kemarin sore, rasa itu menjelma terlalu besar hingga terasa memenuhi hatinya. Ia merasa Fahira Hidayati malam ini seperti sedang memanggilnya datang. Ia merasa gadis itu sedang menunggu dan resah seperti halnya yang ia rasakan saat ini. Tak ada jalan lain selain pergi ke pesantren walaupun nanti ia tak bisa bertemu dengan Fahira Hidayati.
Ustadz Pahlevi mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Ia sudah punya rencana sebagai alasannya keluar dari rumah dan tidak menimbulkan pertanyaan dari pengurus pondok tentang kedatangannya ke pesantren di luar jadwalnya. Ia akan menelpon Ustadz Nunung dengan speaker terbuka agar Zulaikha yang sedang berada di dalam kamar bisa mendengarnya.
"Assalamualaikum, Ustadz," kata Ustadz Pahlevi ketika panggilannya diangkat Ustadz Nunung di seberang sana.
"Waalaikjmussalam,, Ustadz. Tumben nelpon malam-malam begini. Ada yang bisa saya bantu?" Jawab Ustadz Nunung. Ustadz Pahlevi menoleh ke arah kamar.
"Ada yang ingin saya bicarakan, Ustadz. Tapi gak enak lewat telpon," jawab Ustadz Pahlevi dengan suara dikeraskan. Zulaikha yang mendengar suara keras Ustadz Pahlevi segera keluar. Ia takut Winda yang baru saja tertidur akan terbangun dengan suara keras Ustadz Pahlevi.
Ustadz Pahlevi menoleh ketika Zulaikha mendehem sembari memberi isyarat agar dia mengecilkan suaranya. Ustadz Pahlevi bangkit dan melangkah menuju teras rumah. Zulaikha yang penasaran dengan siapa Ustadz Pahlevi bicara dengan nada sekeras itu, menunggu di sofa ruang tamu.
"Kamu telpon siapa sih, Yah. Kok kenceng seperti itu," kata Zulaikha dengan kening mengerut. Ustadz Pahlevi tersenyum dan duduk di samping Zulaikha.
"Ustadz Nunung. Dia ada masalah dengan pendengaran. Makanya kalau bicara harus agak keras sedikit. Biasa, layar sentuh,"kata Ustadz Pahlevi.
"Memangnya ada urusan apa dengan Ustadz Nunung," tanya Zulaikha.
"Ustadz Nunung itu yang mengurusi keuangan pesantren. Ayah mau mengambil honor sekaligus ingin minjam uang. Tapi gak enak kalau ngomong di telpon. Kayaknya harus kesana," kata Ustadz Pahlevi.
"Apa gak bisa besok saja. Cuaca masih mendung. Aku takut ayah nanti terjebak hujan dan gak bisa pulang," kata Zulaikha.
"Itu masalahnya. Ustadz Nunung itu orang sibuk. Sulit ketemu kalau siang hari. Kita sedang butuh uang. Dan malam inilah kesempatan kita. Apalagi Ustadz Nunung sudah bersedia menerima kedatanganku malam ini," kata Ustadz Pahlevi lancar membeberkan alasan-alasan sehingga Zulaikha juga akhirnya menyetujui Ustadz Pahlevi pergi ke pesantren.
Zulaikha bangkit dan masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama kemudian, ia keluar lagi dengan membawa jaket. Ustadz Pahlevi segera bangun dari duduknya. Zulaikha kemudian memasangkan jaket itu di tubuhnya.
"Aku taruh dua belas ribu di saku jaket itu. Buat jaga-jaga bila bensinmu habis. Jangan lama-lama di sana. Jika urusan Ayah sudah selesai, cepatlah pulang agar tidak kehujanan," kata Zulaikha. Dia menyodorkan tangannya hendak salaman. Setelah mencium tangan Zulaikha, ia mendekatkan keningnya agar dicium Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi tersenyum dan mengecup lama kening Zulaikha.
Zulaikha melambaikan tangannya ketika Ustadz Pahlevi menaiki sepeda motornya. Zulaikha baru masuk ke dalam rumah saat tubuh Ustadz Pahlevi hilang dari pandangannya.