Hi hi haaayyy... selamat datang di karya kedua akuu... semoga suka yaaa 😽😽😽
Audrey dipaksa menggantikan adiknya untuk menikah dengan seorang Tuan muda buangan yang cacat bernama, Asher. Karena tuan muda itu miskin dan lumpuh, keluarga Audrey tidak ingin mengambil resiko karena harus menerima menantu cacat yang dianggap aib. Audrey yang merupakan anak tiri, harus rela menggantikan adiknya. Namun Asher, memiliki rahasia yang banyak tidak diketahui oleh orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengerjai Audrey
“Apa kau sengaja membuatku malu, Callie? Kau mencoba mencari masalah di dalam tempat sewa itu hanya karena kau tidak punya uang untuk menyewa gaun pengantin? Memalukan!” sentak Asher saat kini dia dan Audrey berada dalam mobil menuju rumah.
Audrey hanya tertunduk mendengar cercaan yang diberikan oleh Asher. Sepertinya, apa yang dilakukan oleh wanita itu selalu saja salah di mata Asher.
“Maaf, jika aku membuat mu malu, Asher. Aku juga tidak menyangka jika gaun yang ku sewa itu lecet,” ucap Audrey dengan suara pelan.
Dengan pandangan lurus dan wajah yang datar, Asher pun menjawab, “jangan membela diri saat kau melakukan kesalahan. Untuk ke depannya, kau tidak aku izinkan keluar dari rumah jika kamu hanya membuat masalah jika di luar!”
Audrey hanya bisa menelan perih saat Asher berkata demikian, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan menjaga emosinya agar tidak merusak hubungan mereka. “Maafkan aku, Asher. Aku akan berusaha lebih berhati-hati agar tidak membuat masalah di luar dan tidak membuatmu malu,” ucap Audrey dengan tertunduk.
Hening, tidak ada lagi percakapan. Hanya deru mesin mobil yang terdengar melaju. Audrey beberapa kali membuang nafas berat mengatasi situasi tegang.
‘Dia memarahiku hanya karena aku membuat malu. Jika tidak ingin dipermalukan, kenapa dia tidak menyiapkan gaun pengantinnya sendiri? Dasar pria modal gaji kerdil,’ batin Audrey sambil melirik ke arah Asher.
Tring!
Audrey terperanjat ketika ponselnya berbunyi. Dengan cepat, Audrey meraih ponselnya dan membaca isi notifikasi yang baru saja masuk. “Tagihan untuk biaya rumah sakit, harap dikonfirmasi. Terimakasih!” membaca pesan tersebut, Audrey menggigit bibir bawahnya. Wajahnya tampak gelisah saat mengingat bahwa dia belum melunasi tagihan rumah sakit untuk pengobatan neneknya.
‘Padahal aku sudah meminta untuk memberikan waktu tiga hari. Tapi kenapa aku diteror dengan pesan seperti ini?’ Audrey membuang nafas sambil memijit pelipisnya yang terasa pening akan masalah demi masalah yang dihadapinya.
Asher melirik, melihat wajah Audrey yang gelisah bercampur cemas, Asher kembali membuang pandangannya berlaku masa bodo dan acuh tak acuh dengan apa yang terjadi kepada Audrey.
Hingga mobil yang ditumpangi oleh Audrey dan Asher pun tiba di rumah mereka. Saat mobil berhenti, Audrey menoleh ke arah Asher. “Aku akan membantu mu turun-“
“Menyingkir!” Asher menepis tangan Audrey. “Kau pikir aku butuh dikasihani karena aku cacat? Kau sama saja seperti orang-orang yang berada di luar sana, Callie!” sentak Asher.
“Aku tidak seperti yang kau pikirkan, aku hanya ingin membantumu, Asher.”
“Cih, menjijikkan. ‘Tidak seperti yang aku pikirkan’ katamu? Sedangkan kau menerima gaun yang harganya setara dengan satu buah mobil dariku. Sungguh murahan!” pekik Asher mencibir.
Deg!
‘Demi Tuhan, aku tidak tahu seberapa bermereknya gaun yang diberikan untukku. Nathan sendiri yang memberikan sebagai hadiah pernikahan. Tapi apa ini? Aku disebut murahan hanya kerena sebuah gaun? Come on ... Ini terlalu menggelikan!’ Audrey terbelalak sambil berucap dalam hati.
Audrey benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Audrey mencoba menenangkan diri dan tidak terpancing emosi agar semuanya baik-baik saja.
“Baiklah, Asher. Aku akan berhati-hati dengan pemberianmu selanjutnya. Sekali lagi, maafkan aku jika aku telah membuatmu marah,” ucap Audrey dengan nada permohonan.
Asher hanya menghela nafas dengan keras, tampak kesal, lalu keluar dari mobil tanpa memberi perhatian lebih pada Audrey.
Audrey pun menarik nafas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati dan mengusap air mata yang hampir jatuh. Ia segera turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah sambil berfikir bagaimana cara melunasi tagihan rumah sakit untuk pengobatan neneknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Kakek, apakah si cacat Asher sungguh tidak menghargaimu sebagai orang tua yang mengasuhnya? Lihatlah sikap orang cacat itu, bahkan di hari pernikahannya saja dia tidak memberitahukanmu, Kek,” ucap Carlos saat dirinya kini menemani seorang pria sepuh yang bernama, Hansel.
“Sudahlah, mungkin dia sibuk! Kau jangan terlalu membesar-besarkan masalah, Carlos. Biar bagaimana pun, dia adalah kakak tertua yang harus kau hormati,” ucap Hansel.
Carlos berdecih kesal, dia adalah sepupu Asher. Yang merupakan putra pertama dari paman ke-2 keluarga Eadric.
“Kakek terlalu memanjakan anak haram itu, Kek! Dia itu hanya anak haram dari paman pertama. Sungguh menjijikkan jika pria lumpuh itu harus menjadi pewaris Eadric!” cetus Carlos sambil menyuapkan makanan di mulutnya.
“Carlos, kakak sepupumu itu sudah lama menderita akibat kecelakaan dan membuat dirinya harus menjadi yatim-piatu!” cetus Hansel.
Prang!
Carlos menghempaskan sendoknya di atas piring, dia berdiri dari duduknya, “ingat Kek, anak buangan tetaplah buangan, dia bukan keturunan murni dari keluarga Eadric, Kek. Seorang yang cacat tidak pantas menjadi seorang penerus!” Carlos berkata dengan wajah yang semerah tomat, lalu meninggalkan meja makan.
Hansel terdiam, menatap kosong ke arah pintu yang telah dilewati Carlos. Ia merasa miris melihat sikap Carlos terhadap Asher. Tetapi ia tahu, di balik kemarahan dan kebencian Carlos, ada rasa cemburu dan ketakutan akan kehilangan posisi.
Sementara di rumah Asher, Audrey tampak bingung dengan biaya pengobatan neneknya. Satu sisi, dia tidak mungkin menceritakan masalahnya kepada Asher.
“Callie.”
Audrey terkesiap dan segera berdiri saat dia tengah melamun di belakang rumah. Dengan cepat, dia menoleh. “lya, ada yang kamu butuhkan?” tanya Audrey kepada Asher.
“Aku ingin kopi, tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit. Tolong buatkan.” Pinta Asher, setelah berucap demikian, pria angkuh itu berlalu.
Audrey membuang nafas lelah. “Bisakah pria itu menunggu aku selesai bicara barulah dia pergi?” gerutu Audrey yang akhirnya melangkah menuju ke set kitchen.
Sesampainya di dapur, Audrey segera membuatkan kopi untuk Asher. Setelah itu, dia mencari keberadaan suaminya itu. Dan Audrey menemukan Asher sedang menatap kosong ke arah taman bunga mawar yang tumbuh dengan subur.
“Asher, ini kopi yang kau minta,” ucap Audrey dengan hati-hati.
Asher memutar kursi rodanya. Audrey segera menyerahkan kopi tersebut kepada Nathaniel. “Nathan ... Besok aku-”
“Ingin memperingati hari kematian ibumu. Dan, aku tidak punya waktu!” cetus Asher.
Audrey tertunduk mendengar jawaban Asher. Namun tiba-tiba, “aw...! Asher, apa yang kau lakukan?” Audrey menjerit sambil mengibaskan bajunya.
“Buatkan lagi!” ucap Asher dingin saat dia telah menyiramkan isi cangkir itu ke tubuh Audrey.
Audrey menatap Asher dengan mata berkaca-kaca, tak percaya dengan perlakuan Asher padanya. Dalam hati, dia memohon kekuatan dan kesabarannya. “Baiklah, akan aku buatkan lagi,” ucap Audrey setengah menangis, lalu berbalik dan berjalan ke dapur.
Setelah membuat kopi lagi, Audrey kembali menemui Asher yang masih menatap ke arah taman bunga mawar. Dengan hati-hati, Audrey menyerahkan kopi yang baru dibuatnya. “Ini kopi yang kau minta, Asher,” ucapnya dengan suara lembut.
Asher mengambil kopi tersebut tanpa mengucapkan terima kasih. Ia menyeruput kopi, lalu berkomentar, “Tak cukup manis.”
Audrey menelan ludah dan berusaha untuk tetap tenang. “Akan kubuatkan lagi, Asher,” ucapnya perlahan.
Namun Asher menggeleng. “Tidak perlu, biarkan saja.”
Audrey menunduk, masih berusaha menahan emosinya. “Baik, kalau begitu, aku akan membersihkan ruangan ini dan menyimpan cangkir kopinya,” ucapnya, kemudian berlalu menuju dapur.
Setelah Audrey dikerjai oleh Asher, yang entah mempunyai masalah apa, Audrey berlari ke arah kamarnya dan menekuk kedua kakinya di sudut gudang. Di kamarnya, Audrey pun menangis sendirian.
“Apakah harus ku racun saja pria seperti itu?” geram Audrey sambil menggosok pipinya kasar dari air mata.
mampir juga dikarya aku ya jika berkenan/Smile//Pray/