Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. 'Cutie Pie'
“Apa maksudmu?” tanya Eliana tak mengerti. Dia menatap lekat Ratri, seakan mengunci wanita itu agar tak menghindar dari memberikan jawaban yang jelas. “Bagaimana kamu bisa tahu … um … apa kalian pernah berbicara berdua atau ….”
“Tidak. Bukan begitu,” bantah Ratri. “Maksudku, bukan Sastra yang mengatakan itu,” kilahnya. Ratri berusaha terlihat meyakinkan, agar Eliana percaya.
Eliana beranjak dari meja kerja, lalu menghampiri Ratri yang tengah menikmati secangkir kopi panas. “Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Begini, El.” Ratri berusaha menjelaskan. “Ada banyak pasangan yang memiliki masalah serupa, atau hanya sekadar … ya, kamu tahu sendiri permasalahan yang dihadapi pasangan kekasih. Tak jauh dari ini dan itu.”
“Lalu?” Eliana melipat kedua tangan di dada.
“Ada banyak yang mengeluhkan tentang kebosanan dalam hubungan. Sesuatu yang terlalu datar dan tidak menyenangkan. Tak ada tantangan,” jelas Ratri.
Eliana manggut-manggut. “Jadi, aku harus bagaimana?” Wanita bertubuh semampai itu terlihat gelisah. “Aku justru merasa jika Sastra tengah mencari masalah. Namun, aku belum tahu pasti apa yang dia inginkan.”
Ratri menggigit bibir pelan bibirnya, sembari mengangkat alis. “Itulah kenapa, aku tidak suka dengan hubungan yang mengikat. Memusingkan.” Dia meneguk kopi, demi menanggulangi rasa tak nyaman dalam dada. Bagaimanapun juga, keberadaan Sastra telah membuatnya pusing. Pria itu benar-benar meresahkan.
Sepanjang hari, Eliana terlihat tak tenang. Hal sepele pun jadi masalah besar, yang membuatnya uring-uringan.
Namun, Ratri berusaha memahami dan tidak terpancing. Dia membiarkan sang rekan dengan segala kekesalannya.
Tanpa terasa, jarum jam sudah menunjuk angka empat. Eliana langsung berkemas. Setelah berpamitan, dia pulang dengan terburu-buru.
Lain halnya dengan Ratri, yang masih berkutat dengan sisa pekerjaan. Wanita berambut pendek itu baru membereskan meja, setelah jarum jam berada di angka enam lebih beberapa menit.
Seperti biasa, Ratri yang bertugas mengunci pintu. Setelah memastikan semua aman, wanita berlesung pipi itu berlalu dari sana. Dia berjalan menyusuri trotoar karena angkutan kota yang akan ditumpanginya, tidak lewat depan kantor.
Ketika Ratri sedang berjalan tenang, tiba-tiba mobil double cabin mengiringinya dari samping. Ratri tertegun, lalu menoleh. Bersamaan dengan itu, kaca jendela turun sehingga memperlihatkan paras tampan sang sopir, yang tersenyum kalem padanya.
Ratri segera memalingkan wajah. Dia kembali menatap lurus ke depan, kemudian melanjutkan langkah. Mobil itu ikut melaju, meski dengan kecepatan teramat pelan.
“Apa kamu tidak punya pekerjaan lain?” protes Ratri, yang merasa terganggu karena ulah iseng Sastra.
“Bagaimana kalau kita minum kopi dulu?” tawar Sastra, tanpa memedulikan pertanyaan Ratri.
“Aku sudah minum kopi tadi siang,” tolak Ratri ketus.
“Kalau begitu, cukup temani aku. Kamu tidak usah minum,” balas Sastra enteng.
Ratri langsung menghentikan langkah, kemudian menoleh. “Aku? Kenapa aku? Kenapa tidak mengajak Elia?”
Bukannya menjawab serius, Sasra justru tersenyum santai menanggapi pertanyaan itu. Dia melepas sabuk pengaman, lalu turun dari mobil. Tanpa banyak bicara, Sastra langsung membukakan pintu penumpang untuk Ratri.
Bagaikan seorang pelayan terhadap ratunya, Sastra mempersilakan Ratri masuk. “Silakan,” ucapnya sopan.
“Apa-apaan ini?” Ratri tak merespon baik apa yang Sastra lakukan. Dia justru hendak pergi dari hadapan pria itu.
Akan tetapi, gerakan Sastra jauh lebih cepat. Diraihnya pergelangan Ratri, lalu kembali ditarik mundur. “Aku tidak suka penolakan,” bisik Sastra tepat di dekat telinga Ratri, sehingga hangat napas serta suara beratnya begitu terasa.
Ratri sempat terpaku sampai akhirnya tersadar. Dia tidak boleh terlena oleh godaan kekasih Eliana tersebut. Ratri berusaha melepaskan genggaman tangan Sastra dari pergelangannya.
“Masuklah. Aku butuh teman bicara,” bisik Sastra lagi, seraya menggiring dan setengah memaksa Ratri masuk.
“Keterlaluan!” gerutu Ratri tak suka, meskipun ada sisi lain dari dirinya yang tak kuasa menolak perlakuan itu.
“Duduklah yang manis, Cutie Pie,” ucap Sastra, setelah memasangkan sabuk pengaman, kemudian menutup pintu. Tak dipedulikannya ekspresi aneh yang ditunjukkan Ratri, sebab dipanggil dengan sebutan ‘Cutie Pie’.
Tak berselang lama, mobil double cabin yang Sastra kendarai, melaju gagah dengan kecepatan sedang.
Selama dalam perjalanan, Sastra tidak banyak bicara. Seperti biasa, dia selalu fokus pada lalu lintas.
Begitu juga dengan Ratri. Dia merasa makin kacau. Niatnya untuk menghindari Sastra ternyata gagal. Pria itu justru kembali menampakkan diri dengan sangat tenang, seakan tak ada beban perasaan yang mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, mobil yang Sastra kendarai berhenti di halaman parkir ‘Secangkir Kopi’. Sastra langsung keluar, kemudian membukakan pintu untuk Ratri sekaligus membantunya turun.
“Tolonglah. Jangan.” Ratri tak bersedia diajak masuk. Dia tahu ada banyak pengunjung di dalam sana, yang bisa saja mengenali dan melihat kebersamaannya dengan Sastra.
“Kenapa? Kamu takut?” Sastra justru terlihat sangat tenang.
“Aku tidak mau mencari masalah. Beban hidupku sudah terlalu banyak,” sahut Ratri agak sewot. Dia kesal karena Sastra seperti hendak bermain-main, dengan perasaannya dan Eliana.
“Jangan khawatir. Aku tidak akan menempatkanmu dalam masalah,” ujar Sastra, diiringi senyum kalem menawan. Sarana ampuh yang bisa menghipnotis setiap wanita. Tak dapat dipungkiri, pria itu sungguh menggoda dengan segala bahasa tubuhnya yang elegan dan luar biasa.
Namun, Ratri berusaha tetap kuat mempertahankan diri. Dia menolak tegas, ketika Sastra hendak menuntunnya masuk. “Aku tidak mau! Aku ingin pulang saja. Dasar pengganggu!”
Lagi-lagi, Sastra menanggapi dengan senyum kalem dan sikap teramat tenang. “Wow! Pembangkang,” ucapnya, kemudian melihat sekeliling. “Kalau kamu tidak mau menemaniku di sini, bagaimana jika kita ke apartemenku saja?”
Sayangnya, bukan jawaban yang Sastra terima, melainkan satu tamparan cukup kencang di pipi sebelah kiri pria itu. Akan tetapi, tindakan Ratri tersebut tak membuat Sastra marah. Dia justru tersenyum, seraya mengusap pelan pipinya.
“Jangan khawatir. Ini tidak menyakitiku,” ucap Sastra pelan dan dalam, lalu tersenyum. Dia menatap lekat Ratri, yang memilih menundukkan wajah.
“Apa kamu menyesal karena telah menamparku?” tanya Sastra, dengan suara berat yang terdengar sangat menggoda.
“Tidak,” jawab Ratri, seraya mengangkat wajah. “Pria sepertimu pantas menerima lebih dari sekadar tamparan!” ucapnya tegas, meskipun dengan suara pelan.
"Begitukah?"
"Kamu pengkhianat!"
Kali ini, Sastra menggeleng pelan. "Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan, sebelum mengetahui kebenarannya. Aku terima tamparan ini. Namun, tak lama lagi kamu akan menyesal karena telah melakukannya."
Ratri tersenyum sinis. "Apakah itu ancaman?"
"Apa kamu pernah melihat orang mengancam dengan tutur lembut disertai senyunan?" Sastra balik bertanya.
"Aku bisa mempertanggungjawabkan segala keputusan yang telah diambil. Termasuk kenakalan ini. Sekarang, aku juga mengetahui alasan kenapa tertarik padamu. Aku suka karena rasanya seperti secangkir kopi," ucap Sastra, seraya membelai lembut pipi Ratri menggunakan punggung tangan.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...