Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ada perpisahan yang terasa manis
Ting...
Delvia baru saja merebahkan tubuhnya di kasur saat ponselnya menerima notifikasi pesan masuk. Delvia mengeluarkan gawai pintarnya, gadis itu tersenyum mendapati pesan yang di kirimkan oleh Dikta.
“Kamu sudah sampai?” Tanya Dikta di dalam pesan.
Delvia bergegas membalas karena tidak ingin Dikta mengkhawatirkannya. “Sudah, baru saja mas. Mas Dikta sudah pulang?”
“Aku masih di rumah sakit. Istirahatlah, jangan lupa minum obatmu dan mandilah dengan air hangat. Sampai jumpa besok siang Delvia.”
Kedua bibir Delvia terapit, dia sedang menjilat ludahnya sendiri karena sebelumnya dia berjanji untuk tidak terpikat oleh Dikta, nyatanya sekarang dia tidak bisa menahan senyumnya gara-gara mendapat pesan dari Dikta. Mungkinkah Delvia sedang kasmaran?
Berendam di air hangat sudah, makan dan minum obat juga sudah, sekarang saatnya Delvia untuk tidur, mengistirahatkan tubuhnya sebelum esok kembali ke Jakarta. Namun sepertinya Delvia harus menunda istirahatnya karena ponselnya kembali berdering, dia mendapat panggilan telefon dari Sari. “Hallo Sari?” sapa Delvia membuka percakapan.
“Hallo Del, kamu sudah sampai hotel?”
“Sudah dari tadi Sar.”
“Syukurlah. Gimana kondisi kakimu?” Dari suaranya, Sari masih terdengar khawatir.
“Sudah membaik. Kamu sudah di rumah Sar?”
“Sudah!”
Saat sedang berbincang dengan Sari, tiba-tiba Delvia teringat akan sesuatu. “Mm Sar, boleh tanya sesuatu nggak?”
“Apa?”
“Tadi kan mas Dikta yang bayarin biaya perawatan aku, terus mau aku ganti mas Diktanya nggak mau, kira-kira aku harus belikan apa yang buat mas Dikta sebagai ucapan terima kasih?”
Sari terkekeh di seberang sana, tak menyangka si cuek Dikta memiliki siasat yang sangat cerdik. “Mas Dikta kan dokter, belikan saja jam tangan. Jadi nanti setiap liat jam dia teringat kamu!”
Benar saja, setelah istirahat di hotel, malamnya Delvia pergi ke pusat perbelanjaan, rencananya dia akan membeli jam tangan sesuai saran dari Sari. Meski kakinya masih belum pulih, namun Delvia merasa sangat bersemangat. Cukup lama memilih, akhirnya Delvia menemukan jam yang menurutnya cocok untuk Dikta. Delvia segera membungkusnya dan tak sabar untuk memberikannya kepada Dikta besok siang.
Saat kembali ke hotel, Delvia begitu terkejut melihat sosok yang tak asing sedang berdiri di lobby hotel. “Mas Dikta,” panggilnya seraya mendekat sosok tersebut.
Sang pemilik nama menoleh, pria itu segera tersenyum setelah mendapati Delvia berdiri di hadapannya. “Hay Del,” sapa Dikta dengan ekspresi yang sukar di jelaskan. Antara kaget dan terpesona saat melihat penampilan Delvia yang begitu berbeda dari sebelumnya. Delvia tampak begitu anggun mengenakan dress berwarna mocca.
“Mas Dikta ngapain di sini?” Delvia bertanya karena penasaran.
“Aku mau makan malam di sini. Restoran di hotel ini makanannya enak-enak. Kamu sudah makan malam?” modus, bilang saja ingin mengajak Delvia makan malam, tidak perlu basa-basi mas, mas.
“Belum sih,” Delvia menjawab apa adanya meski sedikit ragu.
“Bagaimana kalau kita makan malam bersama. Aku yang traktir,” ajak Dikta penuh semangat.
“Saya saja yang traktir mas, saya tidak mau merepotkan mas Dikta lagi,” tolak Delvia sungkan.
“Kamu sudah janji mau traktir makan besok siang, jadi sekarang aku yang traktir!” Dikta masih bersikeras.
“Besok siang tetap saya traktir kok mas, sekarang biar saya juga yang bayar!”
“Tidak bisa. Begini saja, kita bayar masing-masing!”
Karena tak ingin berdebat lagi, Delvia mengangguk setuju. Keduanya saling melempar senyum setelah memaksa untuk saling mentraktir. Mereka sudah berada di dalam restoran dan memilih meja yang berada di dekat jendela dengan pemandangan taman di luarnya.
“Terima kasih mas,” ucap Delvia setelah Dikta membantu menarik kursi untuknya.
“Hm,” Dikta menyusul Delvia duduk, dia lalu memberikan buku menu pada Delvia. “Steak di restoran ini lumayan enak,” Dikta merekomendasikan steak pada Delvia. Saat Delvia sedang memilih menu, secara terang-terangan Dikta menatap wajah Delvia. Malam ini Delvia tampak semakin cantik, apalagi rambut panjangnya tergerai lurus, hal yang baru di lihat Dikta malam ini karena saat di gunung Delvia menutupi kepalanya dengan buff.
“Kalau begitu saya pesan steak dan air putih saja mas!” Delvia menutup buku menu, gadis itu salah tingkah saat mendapati Dikta sedang menatapnya tanpa berkedip. Delvia menyisipkan rambut ke belakang telinganya, dia benar-benar gugup. “Ada apa mas? Apa di wajah saya ada yang aneh?”
“Aku baru tau kalau rambutmu sangat cantik,” puji Dikta tanpa ragu.
Glek...
Bersusah payah Delvia meneguk ludahnya, benar-benar Dikta membuatnya mati kutu. “Terima kasih,” ya, Delvia hanya bisa berterima kasih atas pujian Dikta.
Setelahnya tak banyak perbincangan di antara mereka. Keduanya fokus pada makanan masing-masing, sesekali Dikta menatap Delvia yang sedang menikmati makan malamnya.
Baru beberapa suap steak masuk ke dalam mulutnya, tiba-tiba ponsel Dikta berdering, dia mendapat panggilan dari rumah sakit. Sebagai sopan santun, Dikta meminta izin pada Delvia untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Panggilan dari rumah sakit ya mas?” tanya Delvia seraya menatap Dikta, sejak menutup telefon Dikta terlihat gusar.
“Ya. Ada pasien darurat, sepertinya aku...
“Cepat pergi mas, pasienmu menunggu,” potong Delvia sebelum Dikta merampungkan kalimatnya.
“Maaf,” Dikta tampak menyesal karena harus meninggalkan Delvia.
“Tidak perlu minta maaf mas, saya mengerti kesibukan kamu. Pergilah,” jawab Delvia bijak.
Dikta mengangguk, dia lalu menghabiskan air putih di gelas. Sebelum pergi Dikta mengeluarkan kartu dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja. “Bayarlah dengan kartu ini, kamu juga bisa memesan yang lainnya. Maaf karena aku tidak bisa menemani sampai makananmu habis,” ucap Dikta tanpa jeda, dia benar-benar tak memberi kesempatan Delvia untuk bicara. Sebelum pergi Dikta sempat bertindak melewati batas, dia mengusap kepala Delvia dengan lembut, hal yang sangat ingin dia lakukan sejak bertemu Delvia di lobby.
Delvia menatap kepergian Dikta seraya memegangi kepalanya, dia tak percaya Dikta berani mengusap kepalanya dan anehnya Delvia sama sekali tidak marah.
Sial, semalaman suntuk Delvia sama sekali tak bisa tidur. Gadis itu gelisah, terkadang tersenyum sendiri saat mengingat kejadian di restoran bersama Dikta. Sudah terlanjur pagi dan Delvia masih terjaga, Delvia memilih untuk mengemas barang-barangnya yang tak seberapa.
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sore ini Delvia harus kembali ke Jakarta. Perasaan tak rela menyelimuti hati, kebahagiaan singkat bersama teman-teman barunya akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Beranjak siang Delvia meninggalkan hotel, sebelum pergi ke stasiun, gadis itu mampir ke sebuah restoran demi menepati janjinya pada Dikta. “Mas, saya sudah di restoran,” Delvia mengirim pesan pada Dikta, berharap Dikta segera datang karena mereka tak memiliki banyak waktu.
Delvia menatap papper bag yang berada di atas meja, di dalamnya terdapat jam tangan yang semalam tak sempat Delvia berikan kepada Dikta. Sudah 20 menit Delvia menunggu, namun Dikta tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Mas, kamu sudah sampai dimana? Keretaku berangkat sebentar lagi.” Delvia kembali mengirim pesan, namun tak ada balasan dari Dikta.
Waktu menunggu habis, Delvia beranjak dari duduknya, gadis itu menghampiri kasir seraya membawa hadiah untuk Dikta. “Permisi mbak, apa saya boleh minta tolong?” tanya Delvia sopan.
“Tentu!”
“Saya harus pergi, tapi teman saya belum datang. Saat dia datang tolong berikan ini padanya. Jika dia tidak datang, tolong kirimkan ini ke rumah sakit yang ada di pusat kota, nama penerimanya Dokter Dikta,” Delvia memberikan beberapa lembar uang kepada kasir tersebut dan segera meninggalkan restoran.
Sedih, kecewa, marah? Entah perasaan mana yang sedang Delvia rasakan. Delvia hanya merasa tidak seharusnya dia begitu berharap pada Dikta, tidak seharusnya dia begitu antusias pada pria yang baru di kenalnya. Delvia menggeret kopernya dengan perasaan campur aduk. Seharusnya dia tetap pada pendiriannya, tidak ada pria yang benar-benar bisa di percaya. “Selamat tinggal,” ucap Delvia seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kereta.
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan