Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tak terduga
Diana, Adrian, dan Max bergerak diam-diam melalui lorong-lorong sempit di belakang rumah Nanda, menyusuri jalan yang gelap dan penuh kabut. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, namun mereka tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk mengungkapkan kebenaran yang sudah lama terkubur.
Mereka tiba di sebuah tempat yang tidak biasa—sebuah rumah kosong di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan jauh dari pandangan siapa pun. Rumah itu tampak sudah lama ditinggalkan, dengan jendela yang retak dan dinding yang mulai lapuk dimakan waktu. Namun, bagi Max, tempat ini adalah tempat yang aman untuk mereka bersembunyi sementara waktu.
"Ini tempat yang aman," kata Max dengan suara rendah, matanya menatap ke sekitar dengan waspada. "Tapi kalian harus tetap berhati-hati. Mereka pasti sudah mulai mencari kita."
Diana dan Adrian mengangguk, masih merasa ragu meskipun mereka tahu mereka tak punya banyak pilihan. Mereka duduk di ruang tamu yang sudah berdebu, sementara Max mengunci pintu dan memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka. Diana mengeluarkan berkas yang mereka ambil dari ruang arsip, memandanginya dengan penuh kecemasan.
"Jadi, ini bukti yang akan menghentikan semuanya?" tanya Max, melirik ke arah berkas itu.
Diana mengangguk pelan. "Semoga saja. Tapi kita harus berhati-hati. Mereka pasti punya cara untuk menutup mulut kita."
Adrian menghela napas panjang. "Kita nggak punya banyak waktu. Mereka semakin dekat. Kita harus segera menyebarkan bukti ini sebelum mereka menghalangi kita."
Max berjalan ke jendela, mengintip ke luar dengan cemas. "Aku nggak yakin kita bisa melakukannya sendiri. Kita perlu orang lain yang bisa membantu. Kalau tidak, kita nggak akan menang."
Diana menatap Max dengan serius. "Kita harus mencari seseorang yang bisa kita percayai. Seseorang yang punya kekuatan untuk membantu kita melawan mereka."
Max terdiam sejenak, berpikir keras. "Ada satu orang. Tapi dia berisiko. Kalau kita melibatkan dia, semuanya bisa jadi lebih buruk."
Adrian dan Diana saling pandang, kemudian mengangguk. "Kita nggak punya pilihan lain. Siapa orang itu?"
Max menghela napas berat. "Kepala polisi kota ini. Dia mungkin bisa membantu kita."
Diana merasa terkejut, tapi juga lega mendengar itu. "Kepala polisi? Apa dia bisa dipercaya?"
Max mengangguk. "Dia salah satu orang yang tahu tentang proyek ini sejak awal. Dia mungkin bisa membantu kita keluar dari sini, tapi kita harus berhati-hati. Kalau dia tidak setuju atau kalau dia malah berbalik melawan kita, kita akan dalam bahaya besar."
Adrian menatap Max dengan mata yang penuh tekad. "Kita nggak punya banyak pilihan. Kita harus mencoba."
Mereka pun mulai merencanakan langkah selanjutnya. Max membawa mereka ke sebuah tempat tersembunyi di kota, jauh dari keramaian. Tempat itu adalah kantor kecil yang jarang terlihat orang. Begitu mereka sampai, Max memberitahu mereka untuk menunggu di luar, sementara dia masuk untuk berbicara dengan kepala polisi. Mereka bersembunyi di balik sebuah kendaraan yang terparkir di dekat kantor, menunggu dengan cemas.
Diana merasa ketegangan semakin meningkat. "Apa kalau dia menolak membantu kita?" tanya Diana, suaranya bergetar.
Adrian menggenggam tangan Diana, memberikan sedikit rasa tenang. "Kita harus percaya bahwa dia akan bantu kita. Kita nggak bisa mundur sekarang."
Beberapa menit berlalu, yang terasa seperti berjam-jam. Tiba-tiba, pintu kantor terbuka, dan Max keluar, membawa seseorang bersama dengannya. Diana dan Adrian terkejut saat melihat siapa yang keluar.
"Ini... kepala polisi?" tanya Diana, tidak percaya.
Kepala polisi itu adalah seorang pria paruh baya dengan wajah tegas dan mata yang tajam. Meskipun penampilannya terlihat dingin, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar seorang petugas. Dia mengangguk, lalu menatap Diana dan Adrian dengan serius.
"Aku tahu apa yang kalian hadapi," katanya, suaranya datar namun penuh kekuatan. "Dan aku tahu betul siapa yang terlibat. Tapi ini bukan hal yang mudah. Kalian akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar."
Diana merasa cemas, tapi juga berharap. "Jadi, kamu akan membantu kami?" tanya Diana, hampir tidak percaya.
Kepala polisi itu mengangguk. "Aku sudah menyelidiki hal ini lebih lama dari yang kalian kira. Aku tahu siapa yang terlibat dalam proyek ini. Tetapi, ini tidak akan mudah. Kalian harus siap menghadapi kenyataan yang jauh lebih besar dari apa yang kalian bayangkan."
Max memandang kepala polisi itu dengan rasa terima kasih yang besar. "Aku tahu ini berisiko, tapi kita nggak punya pilihan lain. Kami hanya ingin menghentikan semuanya."
Kepala polisi itu menatap mereka dalam-dalam. "Kalian harus siap menghadapi kenyataan yang akan menghancurkan banyak hal yang kalian tahu tentang sekolah ini. Orang-orang yang terlibat dalam proyek ini tidak hanya di sekolah. Mereka sudah mengakar jauh lebih dalam."
Diana dan Adrian terdiam mendengar kata-kata kepala polisi itu. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi selanjutnya, tetapi mereka sudah terjebak terlalu dalam untuk mundur sekarang.
"Aku akan bantu kalian," kepala polisi itu melanjutkan. "Tapi kita harus bergerak cepat. Segera setelah kalian punya bukti yang cukup, kita akan bertindak."
Dengan bantuan kepala polisi, mereka mendapatkan akses ke berbagai sumber daya yang mereka butuhkan untuk menggali lebih dalam lagi. Max, yang semula ragu, kini semakin yakin bahwa mereka memiliki peluang untuk menghentikan rencana besar itu.
Namun, meskipun mereka mendapatkan bantuan, mereka juga tahu bahwa jalan yang mereka pilih akan semakin berbahaya. Setiap langkah membawa mereka semakin dekat pada kebenaran yang tak terhindarkan, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Diana, Adrian, Max, dan kepala polisi yang baru saja mereka temui, kini tengah merencanakan langkah besar mereka. Dalam ruang yang gelap, hanya lampu meja yang menemani mereka, terhampar peta dan berkas-berkas yang penuh dengan informasi yang mereka kumpulkan selama beberapa hari terakhir.
Kepala polisi, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Irwan, menatap berkas yang ada di depannya dengan serius. "Kalian harus tahu, ini bukan sekadar masalah sekolah atau beberapa orang yang terlibat dalam proyek ini. Ini lebih besar dari yang kita kira," katanya, matanya menyapu ruangan. "Proyek ini sudah melibatkan orang-orang berkuasa di luar kota. Kita berbicara tentang jaringan yang sangat kuat."
Diana dan Adrian saling berpandangan. Semua yang mereka dengar seolah membuat dunia mereka semakin rumit. Mereka menyangka proyek tersebut hanya melibatkan pihak sekolah, tetapi kenyataannya jauh lebih buruk.
Max mengangguk, menyadari kedalaman bahaya yang sedang mereka hadapi. "Jadi apa yang harus kita lakukan?" tanyanya, mencoba untuk tetap tenang meski ketegangan makin memuncak.
Pak Irwan mengambil napas panjang, sepertinya dia sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Pertama, kita harus menyatukan semua bukti yang kalian punya. Setiap dokumen, setiap rekaman yang kalian temukan—kita akan serahkan semuanya ke pihak berwenang yang lebih tinggi. Tapi sebelum itu, kalian harus mengetahui siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka berhubungan. Hanya dengan begitu kita bisa menghancurkan jaringan ini dari akarnya."
Diana mengangguk, mengeluarkan berkas yang mereka bawa malam itu. "Kami sudah mengidentifikasi beberapa nama di dokumen ini, termasuk kepala sekolah yang terlibat. Tapi itu belum cukup, kan?"
Pak Irwan menggelengkan kepala. "Itu baru permulaan. Orang-orang ini tidak akan segan-segan menghapus jejak mereka. Mereka punya cara untuk mengendalikan siapa saja yang mencoba mengungkapkan rahasia mereka. Bahkan bisa jadi mereka sudah tahu kalian terlibat."
Adrian meremas tangannya. "Jadi, kita harus bergerak lebih cepat?"
"Betul," jawab Pak Irwan tegas. "Dan lebih hati-hati. Jika kalian salah langkah, semuanya bisa berakhir buruk."
Ketegangan di ruangan itu semakin terasa. Diana, meskipun diliputi rasa takut, berusaha tetap tenang. "Tapi kita harus melakukannya. Orang-orang ini sudah menghancurkan hidup banyak orang, termasuk teman-teman kita."
Max memandang Diana dengan rasa khawatir, tetapi juga ada semangat dalam matanya. "Kita nggak bisa mundur sekarang."
Pak Irwan berdiri dan mulai berjalan menuju pintu. "Kalian akan ikut dengan saya. Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang siapa yang terlibat. Ada beberapa orang di luar sana yang mungkin bisa membantu, tetapi kita harus bergerak cepat."
Setelah beberapa jam merencanakan setiap langkah dengan cermat, mereka akhirnya keluar dari tempat itu, menuju ke kantor polisi di pusat kota. Hati Diana berdebar kencang, merasa bahwa apa pun yang akan terjadi setelah ini akan menentukan segalanya. Mereka menuju ke lantai yang lebih tinggi, tempat di mana bukti-bukti penting bisa diakses—sebuah tempat yang, menurut Pak Irwan, penuh dengan rekaman dan informasi yang tak bisa diakses sembarangan.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki. Diana menoleh cepat, dan wajahnya langsung berubah pucat saat melihat seseorang yang tidak mereka harapkan.
"Max... Diana... Adrian..." suara itu mengarah kepada mereka, serak dan penuh kecemasan. Itu suara Rina, sahabat Shara yang dulu sangat dekat dengan mereka. Rina berdiri di ujung lorong, wajahnya penuh ketakutan. "Kalian... kalian nggak boleh lanjut. Mereka tahu kalian sudah tahu semuanya."
Max terkejut. "Rina? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Rina mendekat, menatap mereka dengan penuh rasa takut. "Aku nggak punya pilihan, Max. Aku... aku ikut terlibat dalam hal ini. Mereka mengancam keluargaku, aku... aku nggak bisa mundur." Suaranya hampir pecah saat mengungkapkan kata-kata itu.
Diana dan Adrian merasa dunia mereka berputar seketika. Rina, yang mereka anggap sahabat, ternyata memiliki peran dalam jaringan ini. Rina mengusap wajahnya dengan tangan, tampak bingung dan takut.
"Jadi kamu tahu semua ini?" tanya Diana, suara teredam oleh kekecewaan dan kebingungannya.
Rina mengangguk pelan. "Aku terpaksa melakukannya, Diana. Mereka sudah memanfaatkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana. Tapi sekarang kalian sudah tahu, dan itu membuatku takut. Mereka pasti akan mengejar kalian, mereka akan melakukan apa saja untuk menghentikan ini."
Adrian menatap Rina dengan kecewa, tetapi juga mengerti bahwa dalam situasi seperti ini, kadang-kadang orang terpaksa melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan. "Kami tidak bisa mundur, Rina. Kami harus menghentikan ini."
Rina tampak bingung, matanya berkaca-kaca. "Aku ingin membantu, tapi... aku nggak bisa begitu saja melawan mereka. Mereka sudah mempersiapkan semuanya."
Pak Irwan yang sebelumnya diam, akhirnya berbicara. "Rina, kalau kamu ingin membantu, ini adalah kesempatanmu. Kita bisa gunakan semua informasi yang kamu tahu untuk menggulingkan mereka."
Rina terdiam sejenak, lalu menatap mereka dengan mata yang penuh harapan. "Aku akan bantu. Tapi aku butuh perlindungan, jika tidak, mereka akan menghancurkanku."
Pak Irwan mengangguk, menunjukkan bahwa mereka memiliki lebih banyak bantuan sekarang. Dengan tambahan informasi dari Rina, mereka bisa mempercepat langkah mereka. Namun, mereka juga tahu bahwa perjalanan ini semakin berbahaya. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin besar risiko yang mereka hadapi.
Diana menatap jalan panjang yang mereka tempuh. Dengan setiap langkah, mereka semakin dekat pada kebenaran. Tetapi, setiap kebenaran yang terungkap berarti juga semakin besar ancaman yang mengintai.