Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan aku, menceraikan mu
Udara dingin di dalam ruang VVIP Rumah Sakit terasa menusuk, seolah ikut merasakan kebekuan yang tiba-tiba menyelimuti. Baru empat hari yang lalu, tangis pertama bayi mungil bernama Daffa yang artinya anak yang kuat dan juga teguh. seharusnya membawa kebahagiaan sempurna. Namun, kenyataan pahit itu datang secepat kilat.
Inara yang masih berusia dua puluh dua tahun dengan wajah pucat dan mata yang masih menyiratkan kelelahan hebat pasca melahirkan, meremas secarik kertas yang kini terasa seperti bara api di tangannya. Darah nifasnya yang masih kental seolah mengingatkan betapa rapuhnya dirinya saat ini. Kertas itu adalah Surat Talak dari suaminya, Hamdan Santoso.
Terselip di sisi ranjang, putranya, Daffa, terbaring lemah. Dokter telah mengonfirmasi bahwa Daffa mengalami Down Syndrome. Bagi keluarga Santoso, terutama Pak Santoso dan istrinya yang angkuh, Amara, ini adalah aib yang tak termaafkan. Mereka tak sudi nama besar mereka tercoreng oleh "kecacatan".
Inara memandang suaminya yang berdiri kaku di depannya. Hamdan, pria yang dinikahinya atas dasar cinta, kini tampak asing, matanya dipenuhi konflik, namun bibirnya terkatup rapat oleh kepatuhan pada kedua orang tuanya.
Di dalam ruangan VVIP Rumah Sakit. Inara masih berbaring lemah, di sampingnya ada box bayi. Hamdan berdiri bersama ibunya, Amara, yang menunjukkan ekspresi dingin.
Inara dengan Suaranya yang parau, menahan tangis.
"Mas Hamdan, apa ini benar? Setelah semua yang kita lalui? Kenapa... kenapa kamu tega lakukan ini? Hanya karena... karena Daffa berbeda?"
Hamdan menghela napas berat, menghindari tatapan Inara.
"Inara, aku minta maaf. Aku sudah jelaskan di surat itu. Ini... ini sudah menjadi keputusan keluarga. Ayah dan Ibu tidak bisa menerima ini."
lalu Amara maju selangkah, dengan nada meremehkan dan angkuh.
"Tentu saja kami tidak bisa menerima! Kami ini keluarga Santoso! Kami punya nama baik, Inara! Cacat itu tidak bisa jadi penerus kami! Anakmu itu... hanya akan jadi beban. Lebih baik kau terima talak ini dan pergi dari kehidupan putraku."
Air mata Inara mulai mengalir deras, sembari memegang surat talak.
"Beban? Dia anakmu juga, Hamdan! Darah dagingmu! Inara menoleh ke arah ibu mertuanya dengan pandangan terluka.
" Tante Amara, anak ini baru lahir, dia sedang berjuang. Dia butuh kasih sayang, bukan penolakan!"
"Kasih sayang? Urusanmu! Sekarang, dengar baik-baik ya Inara, semua fasilitas rumah sakit sudah kami cabut. Biaya pengobatan anakmu, kami tidak akan menanggungnya lagi. Kau dan anakmu tidak ada lagi hubungannya dengan keluarga Santoso. Segera berkemas dari sini!"
Inara terkejut, rasa sakit fisik dan batin kini telah menyatu
" Apa?! Tante, saya baru melahirkan! Saya... darah nifas saya masih mengalir. Kondisi Daffa masih butuh perawatan medis intensif! Kalian tega?"
Hamdan mengangkat tangan, sedikit bergetar.
" Ibu, jangan keterlaluan..."
Amara malah melotot tajam pada Hamdan.
" Diam, Hamdan! Kau sudah putuskan, kan? Ceraikan dia, dan semua selesai. " Ucapnya menatap Inara dengan dingin. " Kami beri kau waktu satu jam. Setelah itu, kami akan meminta pihak rumah sakit mengeluarkan kalian."
Inara tertawa miris di tengah tangisnya.
" Ya Tuhan... Habis jatuh, tertimpa tangga. Kau mencabut nyawaku, Hamdan, saat aku baru saja mempertaruhkan nyawaku untuk melahirkan anakmu. Kamu lebih memilih nama baik keluargamu daripada darah dagingmu sendiri."
Kepala Hamdan kembali tertunduk, hanya mampu bergumam lirih.
" Maafkan aku, Inara."
"Cukup, Hamdan. Tidak perlu ada kata maaf. Aku terima talakmu."
Inara menatap wajah damai Daffa yang terlelap. Rasa sakit itu, seolah dicambuk oleh kenyataan, membuatnya harus menjadi kuat. Bukan malaikat, tapi seorang ibu.
Dengan sisa-sisa tenaga, Inara berusaha duduk. Semua sudah berakhir. Kebahagiaan yang ia impikan hancur berkeping-keping di lantai rumah sakit mewah ini. Ia bukan wanita suci yang bisa langsung menerima takdir pahit ini tanpa rasa sakit, tapi ia harus tegar, untuk Daffa.
Inara merogoh tasnya yang lusuh, satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Ia memaksakan diri untuk berdiri, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia berjalan menuju box bayi, mengangkat Daffa dengan hati-hati. Bayi mungil itu terbungkus selimut tipis, wajahnya pucat.
Inara berbisik lembut pada Daffa, air matanya menetes mengenai selimut putranya.
"Jagoan Mama... maafkan Mama karena harus membawamu keluar dari sini secepat ini. Kita akan pergi. Kita harus kuat, Nak. Keajaiban itu pasti ada. Kita hanya perlu menemukannya."
Dengan langkah gontai, Inara Santoso, dan kini hanya Inara Adiba, berjalan keluar dari ruangan itu. Ia meninggalkan Hamdan dan keluarga Santoso, membawa satu-satunya harta berharganya, seorang bayi yang baru empat hari menghirup udara dunia, seorang bayi yang dicap aib oleh ayahnya sendiri.
Di ambang pintu, Inara menoleh ke belakang, menatap suaminya untuk terakhir kalinya. Hamdan tak bergerak, hanya menatap kepergian mereka dengan tatapan kosong, dikuasai oleh bayangan besar kedua orang tuanya. Inara membalikkan badan, melangkah menuju dunia luar yang dingin,
berharap ada setitik keajaiban yang menyambutnya
Hamdan berdiri terpaku di tengah ruangan VVIP yang kini terasa hampa. Tubuhnya tegak, tapi jiwanya hancur. Saat pintu tertutup dan punggung Inara menghilang dari pandangan, pertahanannya runtuh.
Di dalam hatinya, Hamdan dipenuhi penyesalan yang mendalam.
"Inara... aku mencintaimu. Aku mencintai Daffa. Tapi bagaimana aku bisa hidup? Bagaimana aku bisa bertahan tanpa fasilitas, tanpa uang, tanpa pengakuan mereka? Aku lemah, Inara. Aku tidak sekuat dirimu."
Hamdan jatuh terduduk di tepi ranjang. Ia telah mengkhianati cinta dan darah dagingnya demi mempertahankan kenyamanan dan kemewahan yang dijamin oleh nama Santoso. Air matanya tidak mengalir keluar, namun dadanya terasa sesak, dipenuhi rasa bersalah yang akan menghantuinya. Ia memilih emas, bukan berlian hatinya.
Sementara Hamdan tenggelam dalam penyesalan yang sia-sia, Inara kini berhadapan dengan kegelapan dan dinginnya malam. Langkah kakinya terasa berat, setiap hembusan angin seolah membawa kesadaran pahit, Inara kini benar-benar sendirian.
Ia menggendong Daffa erat-erat, melangkah tanpa tujuan. Jalanan ibu kota mulai sepi, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning yang tak mampu menghangatkan hatinya.
Lalu Inara berbisik pada dirinya sendiri.
"Paman... andai Paman masih ada. Aku bisa kembali ke sana, di kampung. Tapi sekarang..."
Mengingat perlakuan bibi dan sepupunya yang selama ini dingin dan cenderung memanfaatkan, Inara tahu ia tidak bisa kembali ke sana. Ia harus mandiri. Ia harus bertahan. Demi Daffa.
Kaki Inara akhirnya membawanya ke sebuah kawasan pertokoan yang sepi. Matanya menangkap sebuah ruko tua yang tampak kosong dan tak terawat. Di beranda ruko itu, teronggok sebuah kursi kayu panjang yang terlihat cukup kokoh.
Inara segera menuju ke sana. Ia mendudukkan dirinya perlahan di kursi kayu itu, menyandarkan punggungnya ke dinding ruko yang dingin. Ia membuka sedikit selimut Daffa, menatap wajah polos putranya di bawah cahaya lampu jalan.
Inara mengusap pipi Daffa dengan lembut.
"Nak, lihat. Kita sudah keluar. Mama janji, Mama akan kuat. Kamu harus sehat. Kita akan lihat keajaiban itu bersama-sama ya?"
Perasaan lelah yang amat sangat menghampirinya. Rasa sakit pasca melahirkan, kelelahan mental, dan dinginnya malam mulai menuntut haknya. Setelah memastikan Daffa menyusu dengan baik dan tertidur pulas di pelukannya, Inara pun perlahan terlelap, mencari perlindungan singkat dari kenyataan.
Tak lama setelah Inara terlelap, dari balik kegelapan lorong, muncul sesosok wanita. Ia adalah seorang wanita paruh baya, berjalan perlahan sambil memanggul sebuah karung goni yang besar. Pakaiannya kumal, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemulung atau tunawisma.
Namun, meskipun demikian, ada aura lembut dan kecantikan alami yang masih terpancar jelas dari wajahnya. Sorot matanya menunjukkan kehangatan dan kebijaksanaan.
Wanita paruh baya itu berhenti ketika melihat Inara dan bayinya tertidur di kursi panjang ruko. Ia meletakkan karungnya, menimbulkan bunyi gedebuk pelan. Ia memperhatikan Inara yang tampak sangat kelelahan, dan bayi mungil yang terbungkus selimut tipis.
Wanita itu melangkah mendekat dan perlahan, seolah tak ingin membangunkan dua insan yang tengah beristirahat itu.
Wanita Paruh Baya itu berbisik pelan, kepada dirinya sendiri.
"Kasihan sekali... di malam selarut ini. Seorang ibu dan bayinya..."
Ia berdiri di samping Inara, menatap mereka dengan tatapan penuh iba.
Wanita itu akhirnya memutuskan untuk menyentuh bahu Inara dengan sangat lembut.
"Nduk... Nduk, bangun. Ini sudah malam sekali. Kenapa tidur di sini, Nduk?"
Inara terperanjat kaget, ia langsung memeluk Daffa erat. Matanya yang sembap menatap wanita itu penuh waspada.
"Astaghfirullah... S-siapa Anda?"
Wanita Paruh Baya tersebut tersenyum lembut dan menenangkan
"Jangan takut, Nduk. Saya bukan orang jahat. Saya biasa lewat sini. Nama saya Farida."
Inara sedikit rileks, tapi ia tetap waspada.
"Sa...saya Inara. Maaf, saya tidak bermaksud tidur di sini. Saya... saya hanya sedang bingung mencari tempat berteduh."
Farida duduk di sisi kursi yang lain, mengamati kondisi Inara.
"Berteduh? Dari mana asalnya, Nduk? Wajah Nduk pucat sekali. Dan darah nifasnya... Nduk baru melahirkan, ya?"
Inara terdiam, matanya berkaca-kaca. Pertanyaan tulus itu menusuk tepat ke inti rasa sakitnya.
Farida menggenggam tangan Inara, yang dingin.
"Jangan takut. Ceritalah pelan-pelan. Malam ini dingin sekali, Nduk. Bayi sekecil ini tidak baik berada di luar."
Bersambung...