Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO's Little Secret
Lampu minimarket kecil di sudut jalan itu memancarkan cahaya putih terang yang kontras dengan kegelapan malam. Rak-rak penuh camilan, minuman dingin, dan mi instan berjajar rapi, sementara musik pop Korea yang pelan terdengar dari speaker kecil di sudut ruangan, sesekali diselingi suara pegawai yang sibuk di kasir. Di luar, lalu lintas yang sepi hanya sesekali dipecah oleh suara klakson atau deru motor yang melintas.
Jae Hyun duduk di meja dekat jendela, tatapannya kosong menembus kaca yang buram karena embun. Di hadapannya, semangkuk ramyeon pedas dan beberapa bungkus camilan tak tersentuh. Napas beratnya berhembus pelan, mengaburkan kaca lebih jauh. Ia tenggelam dalam pikirannya.
"Harusnya aku tidak asal bicara," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh denting mesin kasir di belakang. "Aku tidak bisa sembarangan membawa seorang pegawai menemui Eomma dan Appa." rutuknya pada diri sendiri, ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. "Dasar bodoh!"
Jae Hyun menunduk, menyembunyikan wajah di antara dua tangannya yang bertumpu di meja. Malam ini terasa terlalu panjang, dan pikirannya tak henti-henti menggiringnya pada kebingungan.
Suara kursi yang digeser membuat Jae Hyun mendongak. Seorang gadis dengan rambut dikuncir asal duduk di kursi di sebelahnya. Ia menaruh nampan plastik berisi ramyeon pedas, camilan, dan segelas iced coffee. Gadis itu adalah Riin. Setelah seharian berkutat dengan layar komputer, ia memutuskan untuk mencari makan malam cepat saji di minimarket ini.
Riin membuka kemasan ramyeon pedas di depannya, mengaduk mie dengan sumpit kayu sambil menunggu uap panasnya mereda. Ia menghela napas lega, menikmati aroma yang menggoda perutnya yang kosong.
Namun, aroma lain menyelinap di udara. Aroma yang hangat dan sedikit tajam, campuran kayu dan citrus. Riin mengernyit, mencoba mengingat dari mana ia mengenal aroma itu. Aroma maskulin yang familiar yang menarik perhatian Riin. Ia melirik ke samping, lalu segera memalingkan pandangannya. 'Aroma ini... sangat familiar,' gumamnya dalam hati. Hidungnya mengerut sedikit. 'Apa parfum ini sangat populer di kalangan pria?' pikirnya skeptis.
Perlahan, aroma itu mengingatkannya pada pria menyebalkan di kantornya, siapa lagi jika bukan CEO Colors Publishing yang tidak lain adalah bosnya. Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab karena telah membuat jam tidur dan istirahatnya berkurang. Tapi alih-alih terus memikirkannya, Riin memutuskan untuk tak terlalu peduli dan mulai menikmati ramyeonnya.
Jae Hyun, yang awalnya tenggelam dalam pikirannya, mendongak saat mendengar suara bising dari seseorang yang tengah pembukaan bungkus camilan. Ia mengernyit saat menyadari gadis yang kini duduk di sebelahnya. "Hei! Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sambil menatap Riin dari atas ke bawah.
Riin tersentak mendengar suara itu. Kepalanya menoleh dengan cepat, dan matanya membulat. 'Astaga, ternyata bukan hanya parfumnya yang sama, tapi memang dia si pria sombong itu,' batinnya kesal. "Aku?" jawabnya, sedikit mendengus. "Kau sendiri sedang apa di sini?" balasnya sinis sambil menyeruput kuah ramyeon.
"Aku mau melakukan apa pun bukan urusanmu," balas Jae Hyun dingin, sorot matanya tak berubah dari ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan di kantor.
"Kalau begitu, kau juga jangan bertanya padaku," balas Riin tajam, kembali menikmati makanannya.
Jae Hyun menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengamati Riin dari kepala hingga ujung kaki. Gadis itu mengenakan sweater oversized abu-abu dan celana jeans, tampak sangat berbeda dari penampilan rapi yang biasa ia lihat di kantor. Di meja mereka, makanan mereka hampir identik_ramyeon pedas dan camilan serupa_kecuali minuman. Jae Hyun memilih bir kaleng, sementara Riin menikmati iced coffee.
"Kau bisa bersantai makan di sini, apa ini berarti kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?" tanya Jae Hyun, mencoba mengontrol rasa ingin tahunya.
Riin menoleh malas. "Aku tidak mau menjawabnya," jawabnya singkat, suaranya dingin.
"Hei! Apa kau lupa kalau aku bosmu?" protes Jae Hyun, meski ia mencoba menahan emosinya.
Riin mendesah panjang, menaruh sumpitnya dan menatap Jae Hyun dengan tajam. "Di sini, kau bukan bosku. Jadi aku tidak perlu membahas pekerjaan," jawab Riin dengan santai, sebelum menyeruput kuah ramyeonnya dengan puas.
Jae Hyun mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian gadis itu. "Astaga, anak ini," gumamnya, berusaha menahan kesal. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredam emosi. "Setidaknya bicaralah yang sopan padaku. Itu bukan hal sulit."
Riin menoleh dengan senyum mengejek. "Aku tidak suka bicara sopan pada pria sombong sepertimu," balasnya tajam.
"Wah, kau benar-benar menyebalkan," seru Jae Hyun, akhirnya kehilangan kesabarannya. Ia berdiri, lalu mengambil sekaleng bir yang belum disentuh. "Jangan lupa selesaikan tugasmu secepatnya, dan bersihkan ini untukku," ujarnya sambil menunjuk sampah camilannya di meja.
Riin membelalakkan mata, terkejut sekaligus marah. "Hei! Aku bukan pesuruhmu!"
Namun, Jae Hyun sudah melangkah pergi, tangannya terangkat sedikit untuk melambai dengan malas tanpa menoleh.
Riin mendengus, hendak berdiri dan mengejarnya, tetapi pandangan pegawai minimarket yang tengah merapikan rak membuatnya ragu. Dengan terpaksa, ia merapikan sampah di meja mereka. Akhirnya, ia mengumpulkan bungkus-bungkus itu dengan enggan dan membuangnya ke tempat sampah.
"Menyebalkan," gumamnya pelan, entah ditujukan pada Jae Hyun atau dirinya sendiri.
Saat ia kembali duduk, ia bergumam pada dirinya sendiri, "Apa orang itu tidak punya cara lain untuk mempermalukan orang selain menyuruh mereka membersihkan sisa sampahnya?"
***
Ruang kerja Jae Hyun tampak seperti biasanya: rapi, minimalis, dan dingin_seperti pemiliknya. Meja besar dari kayu itu dipenuhi berkas-berkas yang tersusun rapi, dengan komputer di sudutnya yang menyala, memancarkan cahaya biru yang lembut. Namun, suasana ruangan itu hari ini jauh dari normal.
Ah Ri berdiri di depan meja kerja Jae Hyun, mengenakan blus putih rapi dengan tablet di tangannya. Ia menjelaskan detail mengenai proyek baru, tetapi suasananya terasa tak nyaman.
Jae Hyun duduk di kursinya dengan postur malas. Pikirannya penuh dengan kekacauan sejak percakapannya dengan ibunya beberapa hari lalu. Jemarinya mengetuk-ngetuk pena hitam di atas meja.
"Sajangnim," panggil Ah Ri lembut.
Tak ada respons.
"Sajangnim," ulangnya dengan nada lebih tegas, namun Jae Hyun tetap terdiam.
Ah Ri mulai kehilangan kesabaran. Dengan alis yang berkerut, ia mengeraskan suaranya. "Hei, Cho Jae Hyun!"
Jae Hyun tersentak, matanya langsung memandang Ah Ri dengan bingung. "Astaga! Untuk apa kau berteriak?!" omelnya, suaranya sedikit tinggi karena terkejut.
Ah Ri memutar bola matanya kesal lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah mencoba memanggilmu dengan halus dan sopan, tetapi kau malah melamun seperti orang tak punya beban hidup. Apa sebenarnya yang kau pikirkan?"
Jae Hyun menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada kursi empuknya. Tangannya menyapu wajah, seolah ingin mengusir rasa lelah yang tak terlihat. “Aku diminta untuk segera menikah,” katanya dengan nada lesu. “Eomma ingin aku membawa seorang gadis ke rumah, atau dia akan menjodohkan ku.”
Ah Ri mengernyitkan kening. “Itu masalah besar bagimu? Bukankah kau hanya perlu membawa seorang gadis dan memperkenalkannya pada mereka?”
Jae Hyun menghela nafas pelan. “Tidak semudah itu,” gumam Jae Hyun, membuang pandangannya ke luar jendela. “Aku sudah terlanjur bicara pada mereka kalau aku menyukai seseorang di kantor ini.”
Mata Ah Ri membelalak, penuh keterkejutan. "APA?! Kau sendiri yang membuat masalahnya menjadi rumit!"
"Ya, aku tahu!" seru Jae Hyun, frustrasi. Ia kembali menyandarkan diri, lalu menatap Ah Ri lekat. Sejenak, suasana berubah hening.
"Ah Ri~ya," panggilnya perlahan, nada suaranya lebih lembut.
"Ya? Apa lagi sekarang?" Ah Ri mengerutkan alis, sedikit curiga dengan perubahan nada Jae Hyun.
"Kita sudah saling mengenal sejak kuliah, bukan?" tanyanya, nada suaranya penuh pertimbangan.
Ah Ri mengangguk ragu. “Iya, lalu?”
"Jadilah kekasihku," ucap Jae Hyun dengan nada santai, seolah meminta sesuatu yang remeh.
Sementara itu, di luar ruangan, Riin berdiri dengan dokumen di tangannya. Ia baru saja hendak mengetuk pintu ruang kerja Jae Hyun untuk menyerahkan hasil tugasnya, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar percakapan di dalam.
Riin membeku di tempatnya, otaknya mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar. 'Dia... menyatakan cinta pada sekretarisnya?' pikir Riin dengan bingung. Perasaan tak nyaman merayap di dadanya, meski ia sendiri tak tahu kenapa.
Tangannya yang memegang dokumen mulai gemetar. “Astaga, apa yang sebenarnya terjadi di kantor ini?” gumamnya pelan.
***