Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 _ Makin Ruwet Tapi bikin Nagih
Pagi datang dengan angin lembut yang membawa aroma pepohonan dan embun. Suasana di perkemahan lebih lengang dibanding hari sebelumnya. Amara membuka matanya pelan-pelan dan mendapati dirinya masih terbungkus sleeping bag. Ia menoleh ke kanan, melihat Darren yang tertidur dengan posisi miring, dan di sisi kiri, Rian yang masih terlelap.
“Duh... gue diapit dua cowok kece begini, siapa yang kuat nggak baper?” Amara bergumam dalam hati, menahan senyum tipis di bibirnya.
Dia beranjak keluar tenda dengan hati-hati, mencoba tidak membangunkan kedua temannya. Begitu sampai di luar, dia menghirup udara segar dalam-dalam. Tapi damai pagi itu cepat terganggu oleh pikiran yang terus mengusiknya. Semakin banyak waktu yang dia habiskan bersama mereka, semakin bingung dia dibuatnya.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah siap untuk perjalanan pulang. Rian menyetir mobil, sementara Amara duduk di kursi penumpang depan. Darren duduk di belakang, sibuk bermain gitar kecil yang selalu dia bawa. Suasana dalam mobil terasa santai tapi juga penuh makna, seakan-akan setiap detik di antara mereka terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa kebersamaan.
“Eh, lagu ini buat lo, Mara.” Darren tiba-tiba memetik senar gitar dan mulai menyanyikan sebuah lagu manis dengan nada ceria.
Amara tertawa, “Serius lo? Ngarang bebas gitu?”
“Biar berkesan. Masa camping seru nggak diakhiri dengan serenade kecil-kecilan?” jawab Darren, mengedipkan mata jahil.
Rian hanya menggelengkan kepala dengan senyum di sudut bibirnya. “Hati-hati, Dar. Bisa-bisa lo kebanyakan usaha nanti, dia makin bingung.”
Darren tertawa, tapi tak membantah. Amara hanya bisa memutar bola mata, pura-pura kesal.
“Gue bingung bukan gara-gara kalian, tapi karena perasaan gue sendiri,” pikir Amara.
Perjalanan terus berlanjut dengan obrolan ringan di dalam mobil. Mereka bercanda soal kejadian selama camping dan cerita lucu lainnya. Tapi setiap kali percakapan berhenti sejenak, pikiran Amara kembali terseret pada pertanyaan-pertanyaan tentang masa depannya.
Setelah beberapa jam, mereka tiba di kota. Jalanan Jakarta yang ramai langsung menyambut mereka dengan suara klakson dan hiruk-pikuk orang berlalu-lalang. Suasana di kota ini jauh berbeda dari ketenangan di perkemahan, tapi justru di tengah keramaian itu, Amara merasa semakin dekat dengan Rian dan Darren.
Sebelum berpisah, mereka mampir ke sebuah kafe kecil di pinggir jalan untuk makan siang. Rian memesan nasi goreng spesial, Darren memilih spaghetti carbonara, dan Amara sendiri hanya ingin segelas es kopi susu.
“Gue suka suasana kafe kayak gini,” komentar Rian, matanya berkeliling mengamati interior kafe.
“Udah mirip sama konsep ‘Ruang Tengah’ belum?” goda Amara.
“Lumayan, tapi kafe gue nanti bakal lebih cozy.” Rian menyeringai, percaya diri.
Darren menatap Amara dengan pandangan sedikit berbeda. “Mara, lo sadar nggak kalau lo itu magnet?”
Amara tersedak kopinya. “Hah? Apaan sih?”
“Beneran. Lo tuh bikin orang betah ada di sekitar lo. Kayak sekarang. Gue sama Rian, dua-duanya jadi kayak cowok paling perhatian sedunia gara-gara lo.” Darren tertawa, tapi ada keseriusan di balik ucapannya.
Amara menghela napas, mencoba meredakan gejolak di hatinya. “Kalian bikin gue bingung, tau nggak?”
“Gue ngerti,” ucap Rian pelan. “Tapi kita nggak maksa lo buat pilih sekarang kok. Kita cuma... pengen lo tau kalau kita ada buat lo.”
Amara merasa dadanya sesak mendengar itu. Ada perasaan nyaman, tapi sekaligus ketakutan. Bagaimana kalau akhirnya dia menyakiti salah satu dari mereka?
Setelah makan siang, mereka akhirnya berpisah. Darren mengantar Amara pulang, sementara Rian langsung kembali ke apartemennya. Sepanjang perjalanan, Amara merasa aneh. Darren tidak banyak bicara seperti biasanya.
“Lo kenapa, Dar? Kok diem aja?” tanya Amara saat mereka hampir sampai di rumahnya.
Darren menatap jalan di depan dengan serius. “Gue cuma mikir... kalau suatu hari lo akhirnya pilih Rian, gue masih bisa nggak ya jadi teman lo kayak sekarang?”
Pertanyaan itu membuat Amara tertegun. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Lo nggak perlu jawab sekarang,” tambah Darren cepat. “Gue cuma mau lo tau kalau gue beneran serius sama lo, Mara. Tapi gue juga nggak mau bikin lo tertekan.”
Amara menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. Perasaan Darren begitu tulus, tapi justru itulah yang membuat semuanya semakin rumit.
“Dar...”
“Santai aja, gue nggak minta jawaban sekarang kok.” Darren tersenyum, tapi senyumnya tidak semanis biasanya.
Begitu mereka sampai di depan rumah Amara, Darren turun dan membuka pintu untuknya.
“Thanks ya, udah nemenin gue sejauh ini,” ucap Amara pelan.
“Selalu, Mara.” Darren menyentuh bahunya sebentar sebelum kembali masuk mobil.
Amara berdiri di depan rumah, melihat Darren pergi. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia tidak ingin kehilangan momen-momen berharga ini. Tapi di sisi lain, dia tahu bahwa semakin lama dia menggantung perasaan mereka, semakin sakit hati salah satu dari mereka.
Di kamar, Amara duduk di tepi tempat tidur, memandangi layar ponselnya. Ada pesan dari Rian:
“Udah sampai rumah? Gue harap lo nggak terlalu capek ya. Have a good rest, Mara.”
Amara tersenyum kecil, mengetik balasan singkat.
“Thanks, Rian. You too.”
Dia kemudian melihat pesan dari Darren:
“Lo tau kan, gue selalu ada buat lo?”
Pesan itu singkat tapi menusuk. Amara hanya bisa menatap layar ponselnya lama, tanpa tahu apa yang harus dibalas.
“Gimana bisa gue jatuh cinta sama dua orang sekaligus?” Amara bergumam frustrasi.
Dia tahu, pada akhirnya, dia harus memilih. Tapi tidak sekarang. Tidak hari ini.
Untuk sekarang, Amara hanya ingin menikmati perasaan ini sedikit lebih lama—perasaan dicintai oleh dua hati yang tulus.
...----------------...
Please Kalian cukup baca aja jangan mau sasimo kaya dia juga ya🤣
#Jangan Ya Dek Ya
Happy Reading Guyss.....,🫰🫰🫰🫰
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/