Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Sedekat ini?
Bang Rama menyelesaikan sujud terakhir dalam sholatnya. Pada kenyataannya, hatinya menjadi jauh lebih tenang setelah mengadu pada Sang Pencipta.
"Sebenarnya ada apa sih, Bang? Kenapa Abang selalu bersikap keras pada Mama. Dilan lihat, Mama sangat baik dan lembut." Kata Dilan.
Bang Rama tersenyum kecut, Bisa-bisanya Dilan tidak mengerti apa yang ia rasakan. Amarahnya sudah jelas menunjukan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Mama Arlian.
"Kalau kamu tidak paham, lebih baik tidak usah ikut bicara. Perkataan mu itu menyakiti hati Abang." Jawab Bang Rama.
"Bagaimana Dilan bisa paham?? Kita baru bertemu, Abang juga tidak pernah cerita."
"Maka dari itu kamu jangan asal menebak." Emosi Bang Rama kembali merangkak naik namun dengan tenang duduk di samping Bang Rama.
"Dulu, saat Abang masih tinggal bersama Mama Lian, berapa kali sehari Abang makan?" Tanya Dilan.
Bang Rama hanya melirik dilan sembari melipat sajadah. Ia tidak paham arah pertanyaan Dilan.
"Pernahkah Abang kelaparan karena tidak memiliki uang saku? Pernahkah sepatu Abang jebol, seragam sekolah Abang sobek dan koyak atau bahkan mungkin Abang merasa begitu kesepian karena tidak ada satupun anggota keluarga yang mau bertanya tentang lelahnya seharian??"
Kini Bang Rama mengarahkan pandangan matanya. Sekali lagi ada rasa tidak paham mengapa Dilan mengatakan hal seperti itu.
"Dilan tau, mungkin kehadiran Dilan tidak akan pernah berarti dalam hidup Abang. Tapi setidaknya, kita bisa menghargai apapun yang kita miliki di dunia ini.. termasuk keluarga. Jika saja Abang tau banyak sekali di antara kita yang menginginkan 'keluarga'." Ucap Dilan kemudian balik menatap mata Bang Rama yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya.
Bang Rama bersandar dengan segala lelah di hatinya. Perasaannya campur aduk apalagi saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Kamu tidak akan mengerti, dek. Tidak akan ada yang paham bagaimana sakitnya perasaan Abang."
Samar teringat akan masa lalunya yang kelam, wajah Bang Rama pun berubah menjadi kepiluan. Bayang kematian sang ibu terus membayang
Kala itu usianya masih sekitar sembilan tahun. Kejadian itu begitu cepat dan membekas lara hingga benaknya saat ini.
Seketika Bang Rama meringkuk memeluk kedua kakinya, tubuhnya gemetar. Saat itu jemari Dilan menyentuh kening Bang Rama dengan ujung jari lalu mengusapnya lembut.
"Lupakan semua, jadi pribadi yang baru..!! Kita tidak hidup di masa lalu, tapi di masa depan." Kata Dilan.
Bang Rama sama sekali tidak menjawabnya namun. Tidak ada pula tanggapan darinya tentang ucapan Dilan yang panjang lebar.
~
Papa Hanggar hanya sekilas melirik putra keduanya yang sedang merebahkan diri di atas tempat tidur.
"Suamimu tidur?" Tanya Mama Arlian.
"Iya Bu." Jawab Dilan karena sesaat tadi Bang Rama memintanya untuk meninggalkannya di kamar sendirian.
Mama Arlian membuang nafas berat, sapaan itu tidak juga berubah. Agaknya menantunya masih kaku padanya.
"Panggil Mama, sayang..!! Kami ini orang tuamu, Mama ini ibumu..!!" Kata Mama Arlian.
Dilan menunduk masih tidak berani menatap mata ibu mertuanya sampai akhirnya Mama Arlian sendiri yang harus memeluknya.
Sekuat tenaga Dilan menahan laju air mata namun perasaannya yang sehalus kapas nampaknya mengingkarinya, ia pun menangis di pundak Mama mertuanya.
"Kalau suamimu kasar dan galak, bilang sama Papa dan Mama ya..!!" Imbuh Mama Arlian.
Dilan hanya mengangguk untuk menjawabnya.
...
Adzan dhuhur sudah terlewati dan rumah sudah tertata dengan sangat rapi. Bang Rama mengedarkan pandangan menyisir seluruh isi rumah. Tidak ada Dilan disana.
"Deck..!!!!! Deckyy..!!!!!" Bang Rama pun memanggil 'ajudannya'.
"Siaap..!!" Langkah kaki cepat segera menghampiri sumber suara yang memanggilnya.
"Siapa yang menata rumah saya?? Istri saya dimana?" Selidik Bang Rama.
"Dilan yang menatanya, Bang..!!"
"Kamu darimana saja?? Kenapa kamu yang menggeser rumah??? Abang meminta tolong 'anak-anak' agar bisa membantumu. Ingat lah sama yang di perut..!!!!!!" Omel Bang Rama.
"Dilan baru beli es batu. Yang menggeser dan meletakkan perabotan rumah semuanya om-om. Dilan hanya meminta tolong saja." Jawab Dilan sudah merasakan aura magis dari omelan Bang Rama.
Bang Rama segera mengambil es batu tersebut dari tangan Dilan kemudian membawanya ke dapur lalu meremukkan es batu tersebut dengan martil. Namun sesaat kemudian Bang Rama kembali lagi ke ruang tamu.
Dengan gaya cool nya, sedingin es batu yang baru di remukkannya, Bang Rama berdehem pelan. "Inii.. mau buat es apa?"
"Makanya, jangan asal rebut saja." Dilan pun akhirnya menuju dapur dan membuat es sirup untuk para anggota suaminya.
Jika biasanya Bang Rama sanggup beradu ucap dengan siapapun.. terkecuali Dilan, bibirnya seakan terkunci rapat.
"Tolong ambilkan sirup melon warna hijau di keranjang bahan makanan, Bang. Dilan belum sempat menatanya." Pinta Dilan.
"Berani sekali kau menyuruh Danton." Gumam Bang Rama sambil mengambil botol bersegel warna hijau lalu segera menyerahkannya pada Dilan.
"Ini kecap, Bang."
"Katamu hijau." Sambar Bang Rama.
"Lihat gambarnya.. ini gambar burung." Tunjuk Dilan.
"Cckk.. makanya jangan di campur aduk barangnya."
"Kalau tidak tau.. tidak usah mengomel, Bang." Dilan pun mengambil sendiri botol sirupnya.
"Bilang donk, botol kaca. Jangan yang kau tau hanya burung saja." Jawab Bang Rama.
"Apa pernah sirup di kemas dalam karung???"
.
.
.
.