Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : awal perasaan yang tak disangka
Alya tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja membuatnya bingung. Setiap kali Reyhan ada di dekatnya, ia merasa gelisah, dan setiap kata-kata Reyhan membuat hatinya berdebar. Apa ini? Cinta? Mungkin saja.
Suatu sore, Alya memutuskan untuk mengambil waktu sejenak dari semua kesibukan kuliah dan tugas-tugasnya. Ia duduk sendirian di taman kampus, menikmati udara segar. Tak lama kemudian, Reyhan datang menghampiri, membawa dua gelas es kelapa muda.
“Pengen rehat bentar?” tanya Reyhan dengan senyum santainya.
Alya hanya mengangguk, menerima es kelapa muda yang Reyhan berikan. Mereka duduk diam, sesekali menyapa teman-teman yang lewat. Tidak ada percakapan serius, tapi suasana terasa nyaman. Alya mulai merasakan betapa ringan dan enaknya duduk bersama Reyhan tanpa harus berpura-pura atau membuat jarak seperti sebelumnya.
“Lo kenapa, sih?” tanya Reyhan tiba-tiba, menatap Alya dengan serius. “Lo kayaknya jauh, deh. Ada masalah?”
Alya menoleh ke arah Reyhan, terkejut. Sejak kapan Reyhan begitu perhatian? “Nggak apa-apa, kok,” jawabnya, berusaha menghindar.
Tapi Reyhan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Lo tau kan, kalau ada yang nggak beres, lo bisa cerita ke gue.”
Alya terdiam. Semua perkataan Reyhan tadi mengingatkan pada sesuatu yang lebih dalam. Kenapa Reyhan begitu perhatian belakangan ini? Apakah dia benar-benar peduli, atau hanya berperan sesuai dengan keinginan mereka yang sudah disepakati?
Alya mengalihkan pandangannya, tidak tahu harus berkata apa. Namun, entah kenapa, hatinya mulai merasa berat. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua?
---
Beberapa hari setelah kejadian itu, suasana di kampus semakin riuh dengan persiapan acara tahunan yang melibatkan seluruh fakultas. Reyhan dan Alya kembali ditugaskan untuk bekerja bersama dalam tim yang sama. Namun kali ini, perasaan Alya terhadap Reyhan semakin sulit disembunyikan. Setiap kali mereka bekerja bersama, ada ketegangan yang tak terucapkan, bahkan di antara tawa dan canda yang biasa mereka buat.
Saat tengah malam, mereka berdua masih berada di ruang kerja, mempersiapkan materi untuk acara besok. Reyhan duduk di meja sebelahnya, mengetik sesuatu di laptopnya, sementara Alya sibuk mengatur dokumen. Tidak ada yang mengatakan apa-apa, tapi Alya merasakan kehadiran Reyhan begitu kuat, membuatnya merasa cemas dan bingung.
Akhirnya, Reyhan memecah keheningan. “Alya…”
Alya menoleh, hanya untuk menemukan Reyhan menatapnya dengan intens.
“Iya?” jawabnya pelan.
Reyhan menghela napas. “Lo tahu nggak… kalau kadang gue ngerasa kita ini… lebih dari sekadar temen palsu?”
Alya merasa jantungnya seolah berhenti berdetak. Apa yang baru saja Reyhan katakan? Ia menatap Reyhan, mencoba mencari tahu apakah ini hanya candaan seperti biasanya. Tapi tatapan Reyhan kali ini berbeda—penuh makna dan keseriusan.
“Reyhan…” suara Alya tercekat. “Apa maksud lo?”
Reyhan berdiri dari kursinya dan mendekat, memandang Alya dengan tatapan yang tidak bisa ia hindari. “Lo nggak ngerti, ya?” Ia berkata pelan, seolah takut jika terlalu keras, Alya akan mundur. “Gue mulai ngerasa… lo lebih dari sekadar temen yang gue godain, Alya. Gue nggak tahu kapan itu dimulai, tapi gue nggak bisa lagi pura-pura.”
Alya menelan ludah, mulutnya terasa kering. Jantungnya berdegup kencang, dan rasanya dunia seolah berhenti berputar. “Reyhan…”
“Lo nggak perlu jawab sekarang,” lanjut Reyhan cepat, “gue cuma pengen lo tahu.”
Sementara itu, Alya merasa bingung. Di satu sisi, ia merasa terharu dan tersentuh, tapi di sisi lain, ia takut dengan apa yang sedang terjadi. Apakah ini benar-benar perasaan yang dia rasakan? Atau hanya karena semuanya terlalu cepat dan terlalu dekat?
Alya hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa.
---
Malam itu, setelah Reyhan pergi, Alya terbaring di kasurnya, merenung. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Sejak kapan ia mulai merasa seperti ini?
Dalam hatinya, ada perasaan yang ia takutkan. Mungkin Reyhan memang benar. Mungkin ia mulai merasa lebih dari sekadar teman palsu. Mungkin… ia jatuh cinta?
Pagi itu, Alya bangun dengan perasaan yang lebih berat daripada biasanya. Pikiran tentang Reyhan, tentang apa yang dia katakan malam tadi, terus mengganggu pikirannya. Apa yang harus dia lakukan dengan perasaan ini? Apa yang sebenarnya Reyhan rasakan?
Selama beberapa hari terakhir, Alya mencoba menghindari Reyhan, berharap bisa melupakan percakapan mereka yang mengguncang hati. Namun, kenyataannya, semakin ia menghindar, semakin sulit untuk menyembunyikan perasaan itu. Setiap kali melihat Reyhan, ada sesuatu yang berdesir dalam dadanya, membuatnya merasa cemas dan gembira pada saat yang sama.
Hari itu, mereka berdua kembali ditugaskan untuk menyelesaikan persiapan acara besar kampus yang tinggal beberapa hari lagi. Seperti biasa, mereka bekerja berdampingan, tapi Alya merasa ada jarak yang lebih nyata di antara mereka. Reyhan lebih diam, lebih memperhatikan apa yang dikerjakan Alya, namun tidak berbicara banyak.
Alya merasa aneh. Ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul, seolah ia sedang menunggu sesuatu yang belum pasti.
Ketika mereka berdua berjalan menuju ruang rapat, Reyhan menghentikan langkahnya, memandang Alya dengan tatapan serius.
“Alya,” katanya pelan, “gue… gue nggak mau lo bingung. Kalau lo nggak merasa sama kayak yang gue rasain, gue ngerti. Tapi gue nggak bisa terus-terusan pura-pura, gitu aja.”
Alya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Kalimat Reyhan tadi menambah kebingungannya. Apa yang harus ia katakan pada orang yang sudah begitu jelas menunjukkan perasaan? Apakah dia siap untuk merasakannya juga?
“Apa maksud lo?” Alya akhirnya membuka mulut, meskipun suara itu terasa serak.
Reyhan menarik napas panjang. “Maksud gue, gue udah nggak bisa lagi mikir kalau ini cuma... permainan atau pura-pura. Gue mulai suka sama lo, Alya. Dan gue nggak tahu lo merasa gimana, tapi gue cuma ingin lo tahu.”
Jantung Alya berdebar kencang. Setiap kata yang keluar dari mulut Reyhan seperti memecahkan dinding ketakutannya. Perasaan yang sejak awal ia coba hindari kini terasa begitu nyata.
Reyhan melihat ekspresi kebingungan di wajah Alya dan melanjutkan, “Lo nggak perlu jawab sekarang, Alya. Gue cuma nggak mau lo ngerasa sendirian dalam hal ini. Gue… serius.”
Alya hanya bisa diam. Perasaan yang muncul begitu mendalam, dan tak ada lagi ruang untuk berpura-pura. Untuk pertama kalinya, ia merasa terhanyut dalam perasaan yang belum siap ia hadapi.
“Gue juga mulai merasakan hal yang sama, Reyhan,” akhirnya Alya mengeluarkan kata-kata itu. “Tapi… gue takut, Rey. Takut kalau ini cuma sementara. Takut kalau ini cuma karena situasi kita yang nggak biasa.”
Reyhan tersenyum lembut, seolah mengerti. “Gue ngerti kok. Gue juga takut, Alya. Tapi… gue nggak mau kehilangan kesempatan buat ngedeketin lo lebih jauh.”
Alya menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Gue nggak tahu harus gimana, Reyhan.”
“Ya, kita coba aja pelan-pelan, nggak usah terburu-buru,” jawab Reyhan dengan tenang. “Yang penting, kita mulai jujur sama diri sendiri.”
Alya menatap Reyhan. Ada ketulusan yang jarang ia lihat sebelumnya. Perlahan, dia merasa sedikit lega. Mungkin ini memang bukan perasaan yang datang begitu saja, tapi lebih kepada proses yang berjalan perlahan.
---
Beberapa minggu setelah percakapan itu, hubungan mereka mulai berubah. Meskipun masih ada canda tawa seperti dulu, kedekatan mereka terasa berbeda. Mereka mulai saling berbagi lebih banyak, bukan hanya soal tugas kuliah, tetapi juga tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal kecil yang mereka sukai.
Di kampus, orang mulai memperhatikan perubahan mereka. Beberapa teman mereka mulai menganggap bahwa mereka memang benar-benar pacaran, meskipun Alya dan Reyhan belum secara resmi mengungkapkan apapun.
Suatu sore, setelah rapat tim acara, Reyhan mengajak Alya untuk jalan bersama ke taman dekat kampus. Mereka duduk di bangku yang sama seperti pertama kali mereka berbicara serius. Reyhan menggenggam tangan Alya, dan untuk pertama kalinya, Alya tidak merasa canggung.
“Alya, gue nggak pernah nyangka kita bakal sampai di sini,” kata Reyhan dengan senyum yang lebih serius. “Tapi, gue seneng banget bisa tahu lebih banyak tentang lo.”
Alya menatap Reyhan, matanya berbinar. “Gue juga, Rey. Gue nggak pernah nyangka, awalnya kita cuma pura-pura, sekarang malah jadi lebih dari itu.”
Reyhan tertawa ringan. “Ya, hidup emang penuh kejutan, kan?”
Alya tersenyum, merasa lega. Mungkin ini bukan hanya tentang benci yang berubah jadi suka, tapi lebih kepada dua hati yang mulai menemukan kenyamanan di tengah kebingungannya.
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁