Elle, seorang barista di sebuah kedai kopi kecil di ujung kota, tanpa sengaja terlibat perselisihan dengan Nichole, pemimpin geng paling ditakuti di New York. Nichole menawarkan pengampunan, namun dengan satu syarat: Elle harus menjadi istrinya selama enam bulan. Mampukah Elle meluluhkan hati seorang mafia keji seperti Nichole?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Absolute Rui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Pertarungan Tak Terelakkan
Gudang itu terbungkus dalam kegelapan yang hampir menakutkan. Hujan deras masih mengguyur di luar, dan suara petir yang terdengar dari kejauhan hanya memperburuk suasana mencekam di dalam. Setiap langkah terasa seperti gemuruh di telinga, dan suara gesekan logam yang datang dari kejauhan seolah-olah semakin mendekat. Di balik bayangan, mereka bisa merasakan mata-mata yang mengintai.
Victor berdiri tegak di pintu utama gudang, tangannya menggenggam senjata dengan dingin. Senyum tipisnya menyiratkan bahwa dia merasa sudah memegang kendali. Mata tajamnya menatap Nichole, yang berdiri tak jauh darinya dengan tatapan yang penuh amarah dan ketegasan.
“Sudah lama, Nichole. Aku tahu kau takkan bisa menghindari ini selamanya,” kata Victor dengan suara yang penuh percaya diri, seolah dia telah memenangkan pertempuran ini sejak lama.
Nichole tidak menjawab, namun tangannya menggenggam senjatanya dengan erat. Dia tahu ini adalah pertempuran yang tak bisa dia hindari lagi. Inilah saat yang selama ini ia takuti, di mana bayang-bayang masa lalu dan darah keluarga harus dihadapi dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.
“Victor,” Nichole memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku sudah muak dengan permainanmu. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bukan pion yang bisa kau mainkan.”
Victor tertawa, suara tawa itu penuh ironi. “Kau pikir aku peduli dengan apa yang kau inginkan? Kau hanya ada karena aku. Kau hanya ada karena aku mengajari kau cara bertahan hidup di dunia ini.”
“Kau benar,” jawab Nichole dengan suara yang semakin keras. “Tapi aku tidak akan menjadi apa yang kau inginkan lagi. Aku tidak butuh kekuasaan yang kau tawarkan jika itu harus mengorbankan segalanya, termasuk diriku.”
Victor menggelengkan kepala, seolah tidak percaya. “Kau tidak paham, Nichole. Kekuasaan adalah segalanya. Jika kau tidak memilikinya, maka kau adalah sampah yang tak berharga.”
Tiba-tiba, sebuah tembakan keras menggema di dalam gudang. Nichole bergerak cepat, menunduk untuk berlindung di balik sebuah tumpukan kotak kayu yang tergeletak di lantai. Elle, yang semula berada di belakang, terperangkap dalam kebingungannya. Suara tembakan itu membuatnya semakin panik, dan ketakutan terlihat jelas di wajahnya.
“Elle!” teriak Nichole, mengulurkan tangannya untuk menarik Elle ke tempat yang lebih aman. “Cepat! Ikuti aku!”
Elle yang gemetar segera mengikuti perintah Nichole, meskipun setiap detik yang berlalu terasa seperti waktu yang tak terbendung. Ia masih tidak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang ia tahu—Nichole sedang berjuang untuk hidupnya, dan hidup mereka.
Victor tampaknya tidak terburu-buru. Ia melangkah maju, senyumnya masih tetap menghiasi wajahnya yang tegas. “Kau pikir ini akan berakhir begitu saja, Nichole?” katanya, matanya penuh keyakinan. “Aku sudah merencanakan ini jauh lebih matang daripada yang kau kira.”
Di tengah ketegangan itu, Nichole bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Rasa marah dan sakit hati bercampur aduk, membuatnya semakin bingung dengan tujuan sebenarnya. Apa yang sebenarnya ia perjuangkan? Kekuasaan? Keluarga? Atau hanya sekadar rasa balas dendam yang menyelubungi pikirannya?
“Victor, jika kau ingin membuatku jatuh, kau harus melakukannya lebih baik dari ini,” Nichole berkata, dengan suara yang penuh kepercayaan diri, meskipun dalam hati ia tahu bahwa pertarungan ini tidak akan mudah.
Victor mengangkat senjatanya, siap untuk melepaskan tembakan berikutnya. Namun, sebelum ia sempat menarik pelatuknya, sebuah suara keras tiba-tiba menginterupsi.
“Cukup, Victor!”
Suara itu datang dari belakang mereka. Semua orang terdiam, mata mereka beralih ke sumber suara itu. Seorang pria berdiri di ambang pintu gudang, mengenakan pakaian hitam dan wajah yang tampak familiar bagi Nichole.
“Jordy?” tanya Nichole, matanya membelalak. Jordy, sahabat dan mantan rekan kerja Victor, berdiri dengan ekspresi serius. Namun, di balik ketegasannya, ada kesan kecemasan yang sulit disembunyikan.
Victor tampak terkejut. “Jordy, apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan urusanmu.”
“Ini urusanku sekarang,” balas Jordy, matanya berapi-api. “Aku tidak akan membiarkan kau menghancurkan Nichole hanya karena ambisi pribadi. Kau telah melampaui batas, Victor.”
Suasana menjadi semakin tegang. Jordy melangkah lebih dekat ke tengah, matanya terfokus pada Victor, dan tangannya mengarah ke senjata yang tergantung di pinggangnya. Nichole tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi instingnya mengatakan bahwa pertempuran ini akan menjadi jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
“Jordy, kau benar-benar berani menentangku?” tanya Victor, suaranya hampir tidak bisa disembunyikan dari rasa marah yang mendalam.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan segala yang telah dibangun Nichole,” jawab Jordy, tatapannya tegas.
Nichole memandang keduanya, merasa semakin bingung. Ia tahu bahwa Victor adalah musuhnya, tetapi sekarang Jordy, yang dulu begitu dekat dengannya, juga terlibat dalam konflik ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara tembakan kembali terdengar—bukan dari arah Victor, tetapi dari belakang mereka. Semua orang terkejut, dan dalam kekacauan itu, Nichole merasakan sesuatu yang tajam menembus tubuhnya.
“NO!” Elle berteriak, berlari menuju Nichole yang terjatuh ke tanah. Darah mengalir dari luka di sisi perutnya, dan wajah Nichole menunjukkan ekspresi yang penuh rasa sakit.
Nichole menatap Elle dengan mata yang mulai kabur. “Elle… aku…” katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Elle meraih tangan Nichole, berusaha menahannya. “Jangan bicara, Nichole! Kita akan keluar dari sini, aku janji!” Namun, tangannya terasa semakin dingin.
Victor dan Jordy, yang tampaknya juga terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, berbalik untuk melihat siapa yang menembak. Namun, yang mereka temui hanyalah bayangan, dan seiring dengan gemuruh petir yang semakin mendekat, mereka menyadari bahwa malam itu tidak hanya akan mengubah hidup Nichole, tetapi juga menyisakan lebih banyak misteri yang belum terpecahkan.
...To be Continued...
Aku membaca sampai Bab ini...alurnya bagus cuma cara menulisnya seperti puisi jdi seperti dibuat seolah olah mencekam tpi terlalu..klo bahasa gaulnya ALAY Thor...maaf ya 🙏...Kisah yg melatar belakangi LN dn itu soal cium" ketua mafia hrsnya lebih greget ngak malu"... klo di Indonesia mungkin sex tdk begitu ganas krn kita mengedepankan budaya timur..ini LN sex hrnya lbih wau....dlm hal cium mencium..ini mlah malu" meong 🤣🤣🤣🤣🤣