Vherolla yang akrab disapa Vhe, adalah seorang wanita setia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya, Romi. Meski Romi dalam keadaan sulit tanpa pekerjaan, Vherolla tidak pernah mengeluh dan terus mencukupi kebutuhannya. Namun, pengorbanan Vherolla tidak berbuah manis. Romi justru diam-diam menggoda wanita-wanita lain melalui berbagai aplikasi media sosial.
Dalam menghadapi pengkhianatan ini, Vherolla sering mendapatkan dukungan dari Runi, adik Romi yang selalu berusaha menenangkan hatinya ketika kakaknya bersikap semena-mena. Sementara itu, Yasmin, sahabat akrab Vherolla, selalu siap mendengarkan curahan hati dan menjaga rahasianya. Ketika Vherolla mulai menyadari bahwa cintanya tidak dihargai, ia harus berjuang untuk menemukan jalan keluar dari hubungan yang menyakitkan ini.
warning : Dilarang plagiat karena inti cerita ini mengandung kisah pribadi author
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jhulie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Mesra Meresahkan
Dua Minggu kemudian ....
Sore itu, Vherolla duduk gelisah di atas kasurnya, menunggu Romi yang akan datang ke kosnya. Dia sudah memberitahu bahwa hari ini dia libur kerja dan mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Beberapa kali ponselnya berbunyi, namun bukan dari Romi, hanya notifikasi dari grup dan teman-temannya. Waktu sudah berlalu hampir satu jam sejak Romi bilang akan datang.
Akhirnya, pintu kos diketuk. Vherolla segera berlari kecil dan membuka pintu. Romi berdiri di sana, namun ada yang berbeda kali ini, bau alkohol yang tajam langsung menyergap indra penciumannya. Romi jelas mabuk.
"Rom... kamu mabuk?" tanya Vherolla terkejut.
Romi hanya tersenyum tipis dan masuk tanpa menunggu undangan. "Cuma sedikit, Vhe. Santai aja," jawabnya dengan nada yang sedikit bergetar. Dia terhuyung menuju kasur Vherolla dan duduk dengan malas.
Vherolla menutup pintu dan mendekat, merasa tidak nyaman dengan keadaan Romi yang mabuk. "Kenapa kamu minum-minum, Rom?" tanyanya sambil berdiri di depannya, cemas.
"Ah, nggak apa-apa kok, Vhe. Aku cuma... yah, lagi pengen aja," jawab Romi sambil menyeringai kecil, menarik tangan Vherolla agar mendekat. "Sini deh, duduk sama aku."
Vherolla menurut dan duduk di sampingnya. Namun, Romi segera merangkul Vherolla erat, terlalu erat untuk kenyamanannya. Dia memegang wajah Vherolla, menatapnya dalam-dalam. "Kamu cantik banget malam ini," gumam Romi dengan suara yang berat. Bibirnya kemudian mengecup bibir Vherolla, dan terjadilah ciuman yang penuh hasrat.
Romi memagut bibir Vherolla dengan penuh nafsu.
Awalnya, Vherolla terbuai oleh ciuman itu, hanyut dalam perasaan yang bercampur aduk. Tapi ketika Romi mulai meremas dadanya, dia sadar apa yang sedang terjadi. Tangan Romi bergerak liar membuka kancing baju Vherolla dan memainkan pucuk salah satu gunung kembarnya, membuat Vherolla semakin tak nyaman. Vherolla mencoba mengendalikan perasaannya yang semakin terombang-ambing.
"Rom... cukup," kata Vherolla sambil menarik diri, meskipun tubuhnya bergetar karena sentuhan maut Romi.
Namun, Romi tidak langsung berhenti. "Ayo, Vhe... kita lanjutkan," bisiknya dengan napas terengah. Tangannya bergerak turun, mencoba meraih sesuatunyang lebih dari yang seharusnya.
Vherolla menggigil, tapi kali ini bukan karena hasrat, melainkan ketakutan dan keraguan. "Rom, aku bilang cukup!" ujarnya lebih tegas sambil menjauhkan tangan Romi dari tubuhnya. Romi terdiam sejenak, matanya terlihat kabur dan bingung.
Dia menatap Vherolla dengan frustrasi, namun sepertinya terlalu mabuk untuk melawan. Akhirnya, Romi menyerah dan merebahkan tubuhnya di atas kasur Vherolla. "Oke... oke, aku tidur aja, deh," gumamnya lemah, sebelum akhirnya terlelap.
Vherolla terdiam sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Dia merasa kacau, tubuhnya masih gemetar karena ketegangan yang baru saja terjadi. Tatapannya jatuh pada ponsel Romi yang tergeletak di sampingnya. Tanpa sadar, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengecek ponsel itu.
Dengan hati-hati, dia mengambil ponsel Romi. Untungnya, ponsel itu tidak terkunci sandi. Jari-jarinya gemetar saat dia membuka aplikasi pesan berwarna hijau. Begitu aplikasi terbuka, Vherolla terhenyak. Di sana, ada puluhan pesan dari banyak perempuan. Beberapa pesan bahkan berisi candaan mesra, memanggil Romi dengan sebutan-sebutan manis yang seharusnya hanya diucapkan padanya.
Napas Vherolla tercekik. Dadanya terasa sesak, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia terus menggulir pesan demi pesan, semakin dalam semakin hancur hatinya.
Setelah itu, Vherolla beralih ke aplikasi sosial media berwarna biru. Lagi-lagi, dia menemukan pesan-pesan yang lebih parah. Romi dengan santainya berbicara mesra dengan banyak wanita lain. Dan tidak hanya itu, ada banyak sekali nama wanita yang masuk dalam daftar blokir. "Ini pasti mantan-mantannya," pikir Vherolla. "Banyak sekali..."
Perasaan marah dan kecewa menyelimuti dirinya. Vherolla mulai paham bahwa Romi bukan hanya sekadar bercanda dengan wanita lain. Romi telah bermain di belakangnya dengan banyak perempuan, dan kini dia sadar bahwa Romi menyimpan begitu banyak rahasia. Namun, di saat itu, Vherolla merasa tidak berdaya. Dia tidak siap menghadapi kenyataan ini.
Tiba-tiba, Romi bergerak, tubuhnya seolah-olah akan bangun dari tidur mabuknya. Vherolla cepat-cepat menutup aplikasi dan meletakkan ponsel itu kembali di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, takut Romi menyadari apa yang telah dia lakukan.
Romi hanya menggumam pelan, lalu kembali tertidur. Vherolla mencoba menenangkan dirinya, namun rasa sakit di hatinya terus menggeliat, menolak untuk pergi.
Dia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang siap mengalir. Di satu sisi, ia mencintai Romi dengan tulus, namun di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa cintanya tak lagi dibalas dengan ketulusan yang sama. Hatinya mulai retak, namun dia masih mencoba berpura-pura kuat.
Malam itu, meski Romi ada di sampingnya, Vherolla merasa sendirian.
Vherolla duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Romi yang terlelap. Pikirannya berkecamuk, antara sakit hati dan rasa penasaran yang belum terjawab. Ponsel Romi masih tergeletak di meja, hanya beberapa sentimeter dari tangannya. Meski hati kecilnya berbisik untuk tidak membuka, ia tidak bisa menahan diri. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel itu dan mulai menjelajahi pesan demi pesan yang sebelumnya sudah ia baca.
Tangannya berhenti sejenak di salah satu percakapan. Isinya bukan hanya sekadar candaan mesra, tapi janji pertemuan. "Besok, kita ketemu di tempat biasa ya, sayang," pesan dari salah satu wanita itu tertera jelas di layar. Vherolla merasakan matanya memanas. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum.
Perlahan, ia menutup ponsel itu dan meletakkannya kembali di meja. Romi bergerak, setengah sadar, tapi tetap terlelap. "Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Rom?" bisik Vherolla, meskipun ia tahu tak akan ada jawaban dari pria yang terlelap itu.
Vherolla berusaha untuk tidak menangis, namun perasaannya semakin tenggelam dalam gelombang kecewa yang tak terbendung. Perasaannya hancur melihat bukti pengkhianatan Romi yang ada di hadapannya. Meski Romi tidur di sampingnya, terasa seperti ada dinding yang memisahkan mereka. Sakit hati yang dirasakannya begitu dalam, namun ia masih terjebak dalam kebingungan. Apakah harus tetap bersama Romi, atau mulai memikirkan untuk melepaskannya?
Dengan mata yang masih merah karena menahan tangis, Vherolla memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Namun setiap kali ia hampir terlelap, bayangan percakapan mesra di ponsel Romi kembali menghantui pikirannya. Hati kecilnya berkata bahwa semua ini harus diakhiri, tapi ia belum siap. Belum siap kehilangan Romi, meskipun pria itu sudah mengkhianatinya.
Malam itu, tidur Vherolla penuh dengan mimpi buruk.