Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Mitha memandang Teddy dengan serius, tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang membumbung. "Kak, kamu tahu kan kalau aku benar-benar bahagia mengetahui kamu sudah bisa berjalan lagi... Tapi aku masih bingung, kenapa kamu pura-pura lumpuh? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?"
Teddy menarik napas panjang, seolah berpikir keras untuk memilih kata-kata yang tepat. Dia tahu Mitha adalah orang yang bisa dipercaya, tetapi situasinya jauh lebih rumit dari yang tampak. "Mitha, aku tahu ini sangat membingungkan. Tapi, ada banyak hal yang terjadi di balik ini semua. Selama ini, aku pura-pura lumpuh untuk melindungi keluarga, terutama papa dan perusahaan. Ada orang-orang yang mencoba mengambil alih Sinar Grup dengan memanfaatkan Ronny, dan aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan segalanya."
Teddy menarik napas lagi, kemudian menjelaskan dengan pelan, "Ada beberapa pihak yang t akan melakukan apapun untuk menguasai perusahaan, mereka bahkan sudah bersikap terang-terangan mendukung Ronny"
"Ronny berpikir aku benar-benar lumpuh dan tidak akan mampu menjadi penerus Sinar Grup. Tapi aku ingin merebut kembali kendali, untuk itu aku butuh informasi dari dalam perusahaan. Aku butuh seseorang yang bisa membantu mengumpulkan data dan melawan mereka secara diam-diam. Dan aku butuh seseorang yang bisa dipercaya—itu adalah kamu, Mitha."
Mitha terdiam sejenak, memikirkan permintaan Teddy. "Aku mengerti. Jadi, kamu ingin aku membantumu dengan informasi yang bisa kita gunakan untuk melawan mereka?"
Teddy mengangguk, matanya penuh harap, "Aku tahu tidak akan mudah bagimu untuk melakukan ini. Apalagi dengan Ronny yang sangat membencimu. Dia pasti akan sangat mewaspadai gerak - gerikmu. Tapi tidak ada cara lain... Kau tahu kan keadaanku, meskipun aku bisa bergerak bebas, tapi aku harus tetap menjalani peranku sebagai pemuda lumpuh supaya Ronny mengendurkan kewaspadaannya terhadap diriku"
"Kau cukup diam dan memantau situasi, aku yang akan melakukan semuanya. Tidak akan ada seorangpun yang mengira seorang pemuda lumpuh akan berkeliaran mengumpulkan bukti untuk menjerumuskan mereka semua" kata Teddy lagi.
Mitha menatap Teddy dengan serius, matanya penuh tekad. "Aku akan kembali ke posisiku sebagai direktur eksekutif di perusahaan. Aku sudah cukup lama meninggalkan posisi itu, tapi selama ini, Papa tidak pernah menunjuk pengganti. Seolah dia tahu, aku akan kembali suatu saat nanti. Dan kenyataannya aku benar-benar kembali sekarang" ucapnya dengan senyum getir.
...****************...
Ronny yang sedang duduk santai di sofa dengan Tari di sampingnya, merasakan getaran di ponselnya. Dia melirik layar dan melihat pesan dari salah satu anak buahnya.
Pesan itu singkat, tapi cukup jelas: "Mitha sudah kembali ke Indonesia."
Ronny tersenyum tipis, senyumnya mengandung kejahatan yang tersembunyi. Sambil menghela napas pelan, dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, tangannya memegang erat ponsel itu. Dengan nada rendah tapi penuh kepastian, dia berkata pada dirinya sendiri, "Jadi Mitha sudah kembali... Menarik."
Tari, yang duduk di sampingnya, menoleh ke arah Ronny dan bertanya penasaran, "Ada apa, Mas? Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?"
Ronny menoleh sebentar ke arah Tari, senyum sinis masih menghiasi wajahnya. "Oh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang. Hanya saja... permainan akan segera dimulai. Mitha berpikir dia bisa kembali dan merebut tempatnya di Sinar Grup? Kita akan lihat seberapa jauh dia bisa melangkah."
Tari tersenyum samar, meskipun dia tidak sepenuhnya mengerti maksud Ronny, dia tahu betul betapa ambisius pria itu. "Kamu selalu punya rencana, Ronny. Aku yakin kali ini juga."
Ronny tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh kepastian. "Tentu saja, sayang. Mitha tak tahu apa yang menunggunya."
...****************...
Ronny mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang sudah tersimpan di kontak. Suara dering terdengar beberapa kali sebelum seseorang di ujung sana mengangkat.
“Sudah lama tak mendengar kabar darimu, Bos,” kata suara di seberang, terdengar penuh kewaspadaan.
Ronny tersenyum tipis, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Aku punya pekerjaan untukmu. Kau tahu siapa yang kumaksud—Mitha dan Teddy. Aku ingin kau mengawasi mereka, setiap langkah, setiap gerakan. Jangan sampai ada yang terlewat.”
Ada jeda di ujung sana sebelum suara itu menjawab dengan tegas, "Mengerti. Aku akan memastikan semuanya terlaporkan dengan detail. Ada instruksi lain?"
Ronny menggoyangkan gelas minuman yang dipegangnya, mendengar suara es yang berbenturan dengan kaca, lalu menatap ke arah Tari yang masih duduk di sampingnya.
"Ada satu hal lagi," katanya dengan nada rendah, "Aku ingin kau cari tahu keberadaan Dina."
Suara di ujung telepon terdengar ragu sejenak sebelum menjawab, "Dina, maksudmu mantan istrimu? Kenapa kau ingin tahu tentang dia?" tanyanya.
Ronny mendesah pelan, menggoyangkan gelas di tangannya lagi. “Lakukan saja perintahku. Cari tahu di mana dia, siapa yang bersamanya, dan apa yang dia rencanakan. Aku ingin laporan secepatnya."
Suara di seberang sana menyetujui dengan anggukan yang terdengar jelas dalam suaranya, "Baik, Ronny. Aku akan segera mulai mencarinya. Kau akan dapat informasinya dalam waktu dekat."
Ronny menutup telepon, meletakkan ponselnya di meja, dan tersenyum licik. "Untuk saat ini, cukup awasi saja. Tapi jangan sampai ketahuan. Aku ingin mereka tetap merasa aman sampai waktunya tiba.”
Suara di telepon menjawab dengan suara datar, "Seperti biasa, Bos. Aku akan jaga segalanya tetap bersih. Kau bisa mengandalkanku."
Ronny menutup telepon tanpa banyak bicara lagi. Dia tersenyum dingin sambil menatap lurus ke depan. "Permainan ini baru saja dimulai," gumamnya pelan.
...****************...
Tari yang sejak tadi duduk di samping Ronny, langsung menatap tajam begitu mendengar nama Dina disebut. Wajahnya memucat, lalu dengan nada yang terdengar sedikit tajam, dia bertanya, "Kenapa kau tiba-tiba ingin mencari tahu tentang Dina? Bukankah kau sudah membuangnya dari hidupmu?"
Ronny melirik sekilas pada Tari, senyumannya perlahan memudar. Dia mendekat, meletakkan tangannya di bahu Tari, berusaha menenangkan. "Jangan cemburu, sayang. Dina sudah bukan siapa-siapa lagi bagiku."
Tapi Tari tidak mudah diyakinkan. "Kalau memang begitu, kenapa kau masih mencarinya? Kau ingin dia kembali?"
Ronny mendesah panjang, lalu berkata dengan tenang namun tegas, "Aku mencari tahu tentang Dina karena dia bisa menjadi masalah di masa depan. Dia pernah menjadi bagian dari hidupku dan dia tahu terlalu banyak hal. Aku tidak bisa membiarkannya berkeliaran bebas tanpa tahu apa yang dia lakukan sekarang."
Tari tetap diam, tapi matanya penuh rasa curiga dan ketidakpuasan. Ronny menggeleng dengan sedikit tawa sinis. "Tenang saja, sayang. Kau satu-satunya yang ada di pikiranku sekarang."
...****************...
Tari menatap Ronny dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan, matanya penuh harapan. Setelah beberapa saat diam, dia akhirnya bertanya dengan suara sedikit menuntut, "Mas, sudah lama kita bersama. Kapan kamu akan menikahiku? Aku sudah cukup sabar menunggu, tapi rasanya semakin sulit untuk menahan semuanya."
Ronny terkejut mendengar pertanyaan itu, meskipun dia sudah menduga suatu saat Tari pasti akan bertanya. Dia mencoba mengatur kata-katanya, mencari alasan yang tepat untuk menanggapi tanpa mengecewakan.
"Sayang," Ronny mulai, memegang tangan Tari dengan lembut, meskipun wajahnya tetap dingin. "Kamu tahu kan, aku sangat menghargai hubungan kita. Tapi, ada banyak hal yang harus aku pikirkan sebelum kita sampai ke tahap itu. Sinar Grup, keluarga, dan beberapa urusan bisnis yang masih harus aku atasi."
Tari mendengus, tidak puas dengan jawaban itu. "Bisnis? Apa hubungannya bisnis dengan kita? Aku sudah mendukungmu sejak lama, Mas. Aku ingin kita maju ke tahap berikutnya, dan aku rasa sudah waktunya bagi kita untuk serius. Jangan jadikan masalah suksesi sebagai alasan."
Ronny menghela napas, merasa cemas karena merasa terjebak dalam situasi ini. "Sayang, aku memang serius dengan hubungan kita, tapi aku butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya dengan baik. Aku tidak mau ada yang salah. Aku ingin semuanya sempurna."
Tari tidak senang mendengar itu. "Kapan kamu akan menyadari bahwa aku sudah menunggu terlalu lama? Jangan membuatku menunggu selamanya Mas." Suaranya kini terdengar lebih keras, dan matanya penuh dengan tuntutan.
...****************...
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina