Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia yang Belum Terungkap
Rafael duduk di lantai kamar, napasnya masih tersengal-sengal setelah berhasil melepaskan topeng dari wajah Tristan. Matanya menatap kosong ke arah temannya yang kini tergeletak tak sadarkan diri. Pikiran Rafael kacau, antara ketakutan dan kebingungan yang tak kunjung hilang. Tapi satu hal yang jelas: dia tidak bisa membiarkan orang lain tahu tentang apa yang baru saja terjadi.
‘Mereka pasti akan pikir gue gila,’ batin Rafael, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Rafael berdiri perlahan, lalu mengangkat Tristan ke kasur. Dengan hati-hati, dia menyelimuti temannya, berharap Tristan segera sadar dan kembali normal. Setelah itu, Rafael kembali duduk di lantai, pandangannya terpaku pada topeng yang tergeletak di dekat meja. ‘Topeng itu... harus disingkirkan.’ Keinginan untuk membuang benda mengerikan itu semakin kuat. Tapi di saat bersamaan, dia juga takut untuk mendekatinya.
Belum sempat Rafael memikirkan lebih jauh tentang rencana menyingkirkan topeng, terdengar suara ketukan di pintu. Suaranya membuat Rafael tersentak.
“Raf, lo di dalam?” terdengar suara Bimo dari luar kamar.
Rafael menghela napas dan bangkit dari lantai. Dia berjalan menuju pintu dan membukanya sedikit, memperlihatkan wajah Bimo dan Nasya yang tampak penasaran.
“Tristan mana? Kok gak balik-balik?” tanya Nasya, alisnya terangkat curiga.
Rafael merasa gugup, tapi dia berusaha tetap tenang. “Dia lagi tidur. Kayaknya kecapekan,” jawabnya singkat, sambil berharap mereka tidak menanyakan lebih lanjut.
Bimo langsung menepuk jidatnya. “Yaelah, baru sebentar udah tidur aja dia. Malu-maluin.”
Nasya ikut tersenyum kecil, meski masih tampak khawatir. “Yaudah deh, kalau gitu kita pamit duluan, ya, Raf.”
Rafael hanya mengangguk pelan. “Iya, makasih udah datang.”
Dia mengantar mereka ke pintu depan dengan langkah yang terasa berat. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Rafael kembali masuk ke dalam rumah. Saat dia hendak berbalik menuju tangga, dia melihat Bik Minah yang sedang membereskan gelas dan piring bekas tamu-tamunya.
Bik Minah memandang Rafael sekilas dengan tatapan penasaran. “Temen yang satu lagi mana, Nak?” tanya Bik Minah sambil melirik ke arah tangga.
Rafael terdiam sejenak, pikirannya melayang-layang. Kegugupan dan rasa takut masih menyelimuti dirinya. “Hah? Apa, Bik?” jawabnya pelan, seperti orang yang sedang tersadar dari lamunan.
Bik Minah menatap Rafael dengan alis terangkat. “Kamu kok bengong terus belakangan ini, Nak? Bibik jadi khawatir. Kamu kenapa?”
Rafael menggeleng pelan, berusaha menutupi kegelisahannya. “Nggak apa-apa, Bik. Aku cuma capek.”
Meski masih tampak ragu, Bik Minah mengangguk. “Kalau capek, istirahat yang cukup, Nak.”
Rafael tersenyum tipis sebelum berbalik dan melangkah menuju tangga. Hatinya masih penuh dengan kegelisahan saat menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di lantai atas, dia kembali menuju kamarnya untuk melihat keadaan Tristan. Pintu kamar masih setengah terbuka seperti tadi, dan Rafael mengintip sedikit sebelum akhirnya masuk.
Tristan masih terbaring di kasur, tampak tenang, namun ada sesuatu yang membuat Rafael merasa tidak nyaman. Dia mendekati kasur dengan hati-hati, mencoba memastikan bahwa Tristan baik-baik saja. ‘Apa yang sebenarnya terjadi tadi?’ Pikirannya terus dihantui oleh kejadian mengerikan itu.
Rafael tahu dia tidak bisa terus mengabaikan kenyataan. Topeng itu membawa sesuatu yang berbahaya, dan dia harus segera menyingkirkannya sebelum hal yang lebih buruk terjadi.
***
Rafael berdiri di depan tas yang sudah terbuka, tangannya bergerak cepat untuk memasukkan topeng ke dalamnya. Dia tahu bahwa dia harus menyingkirkan benda itu secepat mungkin, sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Jantungnya masih berdegup kencang, dan pikirannya terus dibayangi oleh kejadian yang baru saja menimpa Tristan.
Begitu topeng itu tersimpan rapat di dalam tas, Rafael menghela napas lega. Tapi, saat dia hendak berbalik, suara di belakangnya membuatnya tersentak.
“Raf?” suara Tristan terdengar serak.
Rafael berbalik cepat, jantungnya nyaris melompat keluar dari dadanya. Tristan sudah duduk di kasur, wajahnya terlihat bingung dan lelah. “Lo kenapa?” tanya Tristan, melihat reaksi panik Rafael.
Rafael mengerjap, mencoba menenangkan dirinya. “Lo yang kenapa?” balasnya cepat, masih berjaga-jaga kalau temannya tiba-tiba kembali menyerang.
Tristan mengernyitkan dahi, jelas-jelas bingung. “Iya juga, gue kenapa di sini? Perasaan tadi gue cuma mau nyari charger, tapi kenapa sekarang malah di kasur?”
Rafael menatap Tristan lekat-lekat, berusaha mencari tahu apakah Tristan benar-benar tidak ingat apa yang terjadi. “Lo nggak inget?” tanyanya pelan.
Tristan menggeleng, ekspresi wajahnya semakin bingung. “Nggak, sumpah. Gue gak inget apa-apa. Kayak tiba-tiba gue... ada di sini.”
Rafael diam sejenak, berusaha mencerna apa yang terjadi. Tristan tidak ingat apa yang barusan terjadi, atau mungkin... dia benar-benar tidak sadar. Setelah beberapa saat kebingungan, Tristan akhirnya menggaruk kepalanya dan berdiri.
“Kayaknya gue pamit dulu deh. Gue nggak enak badan nih,” ujar Tristan.
Rafael hanya mengangguk, meski dalam hatinya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Dia mengantarkan Tristan sampai ke pintu depan, dan setelah pamitan singkat, Tristan pergi. Pikirannya masih kacau, tapi sekarang Rafael punya satu tujuan yang jelas: menyingkirkan topeng itu sejauh mungkin dari rumahnya.
Begitu Tristan pergi, Rafael langsung bergegas ke kamarnya lagi. Dia mengambil tasnya yang berisi topeng, lalu meraih kunci motor dari meja. Nafasnya terasa berat, tapi dia tahu dia tidak punya banyak waktu. Dia harus cepat.
Di ruang tengah, Rafael berpapasan dengan Bik Minah.
“Nak, mau ke mana bawa-bawa tas gitu? Tadi katanya capek?” tanya Bik Minah heran, “Kamu juga tadi nggak enak badan, malah sekarang mau keluyuran?”
Rafael mencoba tersenyum tipis, “Ada urusan sebentar.”
Tapi Bik Minah tidak begitu saja puas dengan jawaban itu. “Kalau ketahuan bapak, nanti malah kamu dimarahin lagi. Kan baru aja kena semprot kemarin,” lanjut Bik Minah sambil mengomel.
Rafael menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit frustrasi. “Bik, jangan bilang papa. Aku cuma bentar, dan pulang sebelum malam.”
Bik Minah memandangnya dengan tatapan cemas, tapi akhirnya mengangguk. “Yaudah, tapi cepat balik, ya.”
Rafael mengangguk cepat pada Bik Minah sebelum bergegas keluar rumah. Dengan cepat dia menyalakan motor dan melajukannya tanpa tujuan jelas, hanya satu pikiran yang ada di kepalanya: menyingkirkan topeng itu sejauh mungkin.
Beberapa kilometer kemudian, Rafael tiba di sebuah jembatan yang sepi. Sungai di bawahnya mengalir deras, tempat yang tampak tepat untuk membuang benda itu. Rafael turun dari motor, membuka tasnya, dan menatap topeng yang tergeletak di dalam.
Tangannya gemetar saat mengangkat topeng itu, tapi dia tidak bisa membiarkannya menguasai dirinya lagi. Dengan tekad bulat, Rafael berjalan ke tepi jembatan dan, tanpa ragu, melempar topeng itu ke sungai.
Dia mengamati topeng itu terjun ke dalam arus, lalu menghilang dalam derasnya air. Saat itu, Rafael menghela napas lega, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Namun, meski topeng itu sudah lenyap, perasaan gelisah tak sepenuhnya hilang. Rafael tak tau kenapa.