Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhatan Dan Ketegangan Bu Guru
Di sekolah, Gobed datang dengan penuh semangat. Ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku pelajaran, tapi pikirannya masih terus terbayang pada kejadian malam tadi. Tidak bisa menahan diri, ia mulai menceritakan apa yang terjadi kepada teman-temannya saat jam istirahat.
“Hai, kalian gak bakal percaya apa yang terjadi di rumahku semalam!” kata Gobed dengan nada misterius. Teman-temannya, yang sedang asyik makan jajanan di kantin, segera berhenti dan memasang telinga.
“Ada apa, Gobed?” tanya Roni, salah satu temannya, sambil menggigit cilok. “Ceritain dong!”
Gobed menghela napas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita dengan penuh semangat. “Jadi, semalam, ada pocongan di rumahku! Bayangkan, pocongan! Dia muncul di dapur, terus di kamar, bahkan aku sampai kerasukan!”
Seketika semua temannya terkejut dan memandang Gobed dengan mata lebar. “Pocongan? Serius, Gobed? Apa kamu mimpi?” tanya Siti, temannya yang terkenal suka horor tapi juga penakut.
Gobed menggeleng kuat-kuat. “Serius banget, ini bukan mimpi. Aku beneran kerasukan! Papa sama Mama sampai ketakutan. Pocongannya muncul lagi dua kali! Terus, ada warga yang datang gara-gara ribut.”
Roni menepuk meja, membuat ciloknya hampir terbang. “Wah, gila! Pocong beneran? Kalau aku yang lihat, pasti udah kabur ke luar desa!”
Semua anak tertawa mendengar ucapan Roni, tetapi wajah mereka tetap diliputi ketegangan. Bagaimanapun, cerita Gobed terasa sangat nyata dan menyeramkan. Mereka semua mulai merasa was-was, mata mereka mengarah ke sana-sini, seolah-olah takut ada pocongan yang tiba-tiba muncul di sekitar sekolah.
Di sudut ruangan, tanpa disadari oleh Gobed dan teman-temannya, Bu Ratna, guru mereka yang sedang mengoreksi tugas di mejanya, mendengar percakapan itu. Awalnya ia berpikir Gobed hanya bercerita tentang film horor yang baru ditonton, tetapi ketika ia mendengar kata "kerasukan" dan "pocong muncul dua kali", bulu kuduknya langsung merinding.
Bu Ratna, yang dikenal sebagai guru paling pemberani di sekolah, ternyata sangat takut dengan hal-hal gaib. Ia berhenti menulis dan mulai memutar kursinya perlahan, ingin mendengar lebih jelas cerita Gobed.
“Jadi, pas aku kerasukan, suaraku berubah serem banget, kayak… kayak gini.” Gobed mencoba menirukan suara kerasukannya, mengubah suaranya menjadi serak dan dalam. “Kalian semua akan kena! Hahahaha!”
Semua temannya terdiam, kemudian tertawa terbahak-bahak. Suara Gobed yang mencoba terdengar seram malah terdengar konyol. “Kamu kerasukan atau masuk teater, Gobed?” tanya Roni sambil tertawa hingga hampir tersedak ciloknya.
Tapi di sudut kelas, Bu Ratna tidak merasa lucu sama sekali. Matanya mulai membesar, wajahnya pucat, dan tangannya gemetar memegang pulpen. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya cerita anak-anak, tapi bayangan pocongan tiba-tiba muncul di kepala.
Saat Gobed bercerita lebih dalam, tiba-tiba angin berhembus lewat jendela kelas, membuat tirai bergoyang perlahan. Bu Ratna yang sudah tegang seketika melompat dari kursinya. “Aaaaa!” teriaknya tanpa sengaja.
Seluruh kelas mendadak terdiam. Semua mata tertuju pada Bu Ratna yang berdiri mematung dengan wajah ketakutan. Anak-anak saling bertukar pandang, bingung melihat reaksi gurunya yang biasanya tenang. Gobed mencoba menahan tawa melihat Bu Ratna yang tiba-tiba ketakutan.
“Eh, Bu Ratna, gak apa-apa?” tanya Roni dengan suara penuh kekhawatiran, meskipun mulutnya masih setengah tersenyum.
Bu Ratna mencoba tersenyum untuk menutupi rasa malunya. “Oh, tidak, tidak… Saya hanya… anginnya kencang sekali, ya?”
Tapi semua anak tahu, Bu Ratna terkejut bukan karena angin. Dengan cepat, Bu Ratna menyadari kalau dirinya sudah mempermalukan diri di depan kelas. Ia berusaha bersikap normal, tetapi wajahnya masih sedikit pucat.
“Ayo, ayo, lanjutkan belajarnya. Cerita horornya nanti lagi, ya. Kita harus fokus sekarang,” kata Bu Ratna sambil berjalan kembali ke mejanya, tetapi ia berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah-olah takut ada sesuatu yang mengejarnya.
Saat Bu Ratna duduk kembali, Gobed dan teman-temannya tidak bisa menahan tawa. Mereka semua tertawa terbahak-bahak, sementara Gobed memimpin candaan. “Kayaknya Bu Ratna takut pocong, nih!”
Siti menimpali, “Iya, tadi kayak lihat pocongan lewat aja!”
Suasana kelas yang awalnya tegang kini berubah menjadi lebih ceria. Tawa anak-anak bergema di seluruh ruangan, membuat atmosfer horor yang sempat terasa langsung hilang. Bahkan Bu Ratna, meskipun masih merasa malu, tidak bisa menahan senyum kecil melihat tingkah murid-muridnya.
Saat jam pelajaran kembali dimulai, Gobed merasa senang karena bisa menghibur teman-temannya dengan cerita horornya. Meskipun ia tahu kejadian malam itu sangat menakutkan, ia sekarang bisa menertawakannya bersama teman-teman.
Namun, diam-diam di dalam hati, Bu Ratna masih terus merasakan ketegangan. Setiap kali angin bertiup atau suara kecil terdengar, ia langsung menoleh, seolah-olah takut ada yang muncul dari balik pintu atau jendela.
Pada akhirnya, meskipun Gobed menceritakan cerita pocongnya dengan tujuan membuat teman-temannya takut, cerita itu justru menjadi bahan tawa yang menghangatkan suasana kelas.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi nyaring, menandakan bahwa waktunya bagi semua siswa untuk kembali ke rumah. Siswa-siswa bergegas membereskan buku-buku mereka dengan penuh semangat, siap untuk pulang dan bermain, termasuk Gobed yang langsung melompat dari kursinya, siap-siap mengangkat tasnya.
Namun sebelum Gobed bisa melangkahkan kaki keluar kelas, tiba-tiba Bu Ratna muncul di hadapannya, dengan tatapan yang tampak serius namun penuh rasa ingin tahu.
“Gobed, tunggu sebentar!” kata Bu Ratna dengan suara yang sedikit lebih tegas dari biasanya. "Ibu mau bicara sama kamu."
Gobed terdiam, merasa sedikit cemas. “Kenapa, Bu? Saya gak salah apa-apa kan?”
Bu Ratna menggelengkan kepala sambil tersenyum, berusaha terlihat tenang tapi jelas-jelas wajahnya masih ada ketegangan. “Oh, tidak, tidak. Ibu hanya ingin kamu cerita lebih detail tentang pocongan yang kamu sebutkan tadi. Bisa ikut ke ruang Ibu sebentar?”
Gobed bingung. Ia tahu bahwa Bu Ratna adalah orang yang suka sekali kepo, selalu ingin tahu tentang apa saja yang terjadi di sekitar. Tapi cerita tentang pocongan ini ternyata menarik perhatian Bu Ratna lebih dari yang Gobed duga.
Dengan sedikit ragu, Gobed mengangguk. “Ya, Bu, boleh. Tapi, serius nih, Bu? Kenapa Bu Ratna tertarik sama pocong?”
Bu Ratna tersenyum, “Ibu hanya penasaran saja, Gobed. Ibu suka dengan cerita-cerita misteri. Ayo, ikut ke ruang guru.”
Gobed mengikuti Bu Ratna menuju ruang guru. Ketika mereka sampai di sana, Bu Ratna langsung mengunci pintu, seolah-olah tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan mereka. Gobed mulai merasa sedikit aneh, tapi dia tetap duduk di kursi yang ditunjukkan Bu Ratna.
“Jadi, ceritakan semua dari awal,” kata Bu Ratna sambil duduk dengan posisi yang sangat serius, kedua tangannya menopang dagu seperti seorang detektif yang sedang mendengarkan kasus besar.
Gobed menghela napas panjang, dan mulai bercerita. “Jadi, Bu, semalam itu, saya lagi tidur di kamar, terus tiba-tiba ada suara aneh dari dapur. Saya sama Papa dan Mama keluar buat cek, dan ternyata… pocongan muncul!”
Mata Bu Ratna melebar, “Pocongan di dapur?”
Gobed mengangguk. “Iya, Bu, pocongan itu berdiri di sana, kakinya gak menyentuh lantai, dia cuma melayang. Mama langsung panik dan teriak, sementara Papa mencoba tenang, tapi saya tahu dia juga takut.”
Bu Ratna makin tertarik. “Terus, apa yang terjadi setelah itu?”
Gobed berusaha menahan tawa ketika ingat apa yang terjadi setelahnya, tapi dia tetap melanjutkan cerita dengan nada serius. “Ya, pocongan itu tiba-tiba menghilang, Bu. Tapi gak lama, dia muncul lagi… di kamar saya! Saya langsung kerasukan, terus ngomong dengan suara serem.”
Bu Ratna menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya benar-benar tampak ketakutan, tapi dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Jadi kamu benar-benar kerasukan, Gobed? Apa yang kamu katakan waktu itu?”
Gobed mencoba menirukan suara serak yang tadi dia gunakan di kelas. “Saya bilang, ‘Aku datang untuk membalaskan dendamku! Hahaha!’”
Bu Ratna tampak tegang, tapi di sisi lain terlihat lucu karena mulutnya terbuka lebar seperti sedang melihat hantu beneran. Gobed yang melihat wajah Bu Ratna seperti itu tidak bisa menahan diri lagi. Dia tertawa terbahak-bahak.
“Bu Ratna, serius deh, saya beneran kerasukan, tapi kalau diingat-ingat sekarang, kayaknya saya cuma ngomong ngawur aja karena panik.”
Bu Ratna mengerutkan kening, sedikit kesal karena merasa ditertawakan. “Tapi Gobed, kamu gak mungkin bercanda soal hal-hal seperti ini, kan? Kalau benar pocongan itu ada, kita harus waspada!”
Gobed menenangkan tawa dan mencoba serius lagi, tapi tidak bisa menahan senyum. “Iya, Bu, saya ngerti. Tapi setelah itu, warga datang dan semua jadi heboh. Pocongan itu gak muncul lagi. Cuma… ya, Mama dan Papa kayaknya masih takut sampai sekarang.”
Bu Ratna menatap Gobed dengan tatapan yang penuh kekhawatiran, tetapi kemudian dia menghela napas lega. “Syukurlah semuanya baik-baik saja sekarang. Tapi Ibu penasaran, kenapa pocongan itu muncul di rumahmu? Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan itu.”
Gobed mengangkat bahu. “Entahlah, Bu. Mungkin pocongannya cuma iseng. Atau mungkin dia cuma lapar, soalnya di rumah kami juga gak ada makanan. Mungkin kalau ada mendoan, pocongannya gak bakal ganggu.”
Bu Ratna tertawa kecil mendengar lelucon Gobed. “Hahaha, kamu ini ada-ada saja. Tapi siapa tahu, pocongan memang suka mendoan.”
Setelah momen canggung itu terlewati, mereka berdua tertawa bersama. Bu Ratna akhirnya menyadari bahwa mungkin dia terlalu serius menanggapi cerita ini.
“Baiklah, Gobed, terima kasih sudah cerita. Ibu cuma mau memastikan semuanya baik-baik saja. Kamu boleh pulang sekarang,” kata Bu Ratna sambil berdiri.
Gobed tersenyum lebar, merasa lega karena akhirnya bisa pulang. “Makasih, Bu. Tapi hati-hati ya, kalau pulang jangan sampai ketemu pocongan di jalan!”
Bu Ratna tersenyum sambil melirik Gobed. “Huh, Ibu sudah siap dengan mendoan di tas! Pocongannya pasti lari kalau lihat itu!”
Keduanya tertawa sekali lagi sebelum Gobed akhirnya meninggalkan ruang guru dan bergegas pulang. Sesampainya di pintu sekolah, Gobed masih tertawa sendiri, membayangkan Bu Ratna yang ketakutan gara-gara cerita pocongannya.
Dan hari itu, Gobed pulang dengan senyum di wajahnya, merasa puas telah berhasil membuat gurunya kepo dan ketakutan sekaligus. Pocong atau tidak, hari itu menjadi hari yang tak akan dilupakan olehnya maupun Bu Ratna.