Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 21
"Kayanya mental Mbak Jia terguncang deh gara-gara mau bercerai sama Mas Rangga" Ucap Litta tanpa berkedip.
"Iya kayanya, dia sampai halu jadi pemilik cafe ini." Mayang menggeleng pelan.
"Kita pulang aja yuk Mbak, aku takut nanti dia malah makin ngamuk kalau melihat kita." Litta menarik tangan Mayang.
"Terus ini makanannya gimana dong? Sayang belum kita makan."
"Udahlah tinggalin aja, dari pada nanti kita diamuk Mbak Jia yang hampir gila." Litta masih terus menarik lengan Mayang.
Tapi Mayang tetap berdiri ditempatnya, membungkus beberapa makanan diatas meja dengan tisu lalu memasukannya kedalam tas miliknya.
"Sayang ini, Ta. Biar Mbak bungkus aja." ucap Mayang tanpa rasa malu.
"Mbak ini kampungan banget sih, bikin malu aja." Litta menghentakan kakinya saat melihat beberapa orang melirik mereka sambil tertawa kecil.
Setelah Mayang selesai membungkus beberapa makanan, barulah mereka pergi meninggalkan cafe itu. Meskipun mereka harus kembali dibuat repot saat membujuk Zura yang tak mau pulang karena masih asyik bermain.
***
Beberapa hari berlalu sejak kejadian dicafe, keluarga Rangga justru kini mengira kalau Jia mengalami gangguan mental.
Dan hari ini betepatan dengan hari sidang pertama antara Jia dan Rangga akan digelar. Jia yang sudah siap berangkat, menunggu keluarganya dengan duduk di ruang TV sambil menatap sendu ke arah Amira.
"Aku yakin ini bakal sulit. Hari ini, kamu akan bertemu dengan Ayahmu, tetapi dengan kondisi yang berbeda. Jika kemarin-kemarin kamu bertemu dengan Ayah karena kita satu rumah dengannya. Hari ini kamu akan bertemu Ayahmu untuk mengucapkan salam perpisahan padanya." Gumam Jia yang masih menatap fokus ke arah Amira.
"Kak..." Panggil Jio yang baru saja turun dari lantai dua.
Jia yang di panggil pun menoleh ke arah Jio. Jio tersenyum menguatkan hati sang Kakak. Jia pun membalas senyuman itu dengan tulus.
"Kakak tenang saja, pasti kita yang akan menjadi pemenangnya. Mobil dan hak asuh Amira pasti akan jatuh ke tangan kita." Ucap Jio seraya tersenyum padahal hatinya merasakan apa yang di rasakan oleh Jia.
Jia hanya menganggukkan kepalanya untuk menanggapi ucapan Jio, dia benar-benar sudah tidak peduli dengan mobil itu, dia hanya ingin memenangkan hak asuh Amira itu saja sudah cukup untuknya.
"Oh iya, Papa bilang. Om Yudi mecat salah satu karyawan kita yang berkerja di salah satu cabang perusahaan kita, yang dekat dengan desa Kakak ya?" Tanya Jio yang belum mengetahui secara pasti.
Jia mengangguk dan menoleh ke arah Jio.
"Lebih tepatnya yang di pecat Om Yudi itu Rangga." Jawab Jia tanpa beban.
"Rangga? Kok bisa? Bukankah Om Yudi bilang sama Papa kalau Rangga direkomendasikan temannya untuk naik jabatan?" Tanya Jio yang masih penasaran
"Iya, tapi beberapa hari ini Om Yudi mengawasi Rangga. Dan hasilnya gak bagus. Jadi, mungkin hari itu hari sialnya Rangga." Jawab Jia santai seraya mengangkat kedua bahu.
"Kayanya lebih tepat dibilang karma untuk Rangga. Anggap saja perantara untuk mencari nafkah anak dan istrinya di cabut begitu saja." Ucap Jio yang kini merasa sedikit lega.
Jia menghembuskan nafasnya pelan, dia sebenarnya juga kebingungan. Dia harus mencari manager yang telah menggelapkan uang perusahaan, tetapi waktu untuk melakukan itu masih sulit dilakukan saat ini.
Dirinya masih harus fokus menyelesaikan urusan dengan keluarga Rangga.
"Kenapa Kak?" Tanya Jio yang kini melihat Jia seperti tengah menyimpan beban besar.
"Kamu tau masalah tentang manager perusahaan kan? Nah itu yang membuat Kakak bingung. Sampai sekarang Kakah masih belum sempat mencari dalangnya. Karena Kakak masih harus fokus dengan masalah Kakak, Amira dan di tambah kemarin ada beberapa yang harus Kakak lakukan saat mengunjungi Caffe cabang baru kita." Jawab Jia.
Jio yang mengerti akan beban Kakaknya, dengan cepat mengambil laptop dan mengecek beberapa hal yang berkaitan dengan perusahaan.
Setelah mendapat beberapa hal penting dari orang suruhan Jio, pria itu mengerutkan keningnya karena merasa masih tidak percaya akan hal ini.
"Kenapa Dek?" Tanya Jia penasaran.
Jia kini ikut menatap laptop milik Jio saat Jio menggeser laptopnya kearah Jia.
Jia pun sama halnya dengan Jio, dia terkejut karena beberapa persen dia sudah menemukan ciri-ciri manager yang menggelapkan dan perusahaan.
Jia dan Jio menoleh saling tatap satu sama lain.
"Jangan gegabah, kita cari bukti yang lebih akurat lagi untuk memastikan bahwa apa yang kita lihat ini benar adanya. Ini baru dugaan saja bukan?" Ucap Jia yang langsung di angguki oleh Jio.
"Jangan sampai ada orang yang tau selain kita." Lanjut Jia, membuat Jio semakin paham maksud Jia.
"Keluarga mu ternyata sudah bermain terlalu jauh, Mas." Batin Jia yang semakin merasa kecewa.
***
Sementara itu dirumah Rangga,
"Kamu nanti pura-pura saja untuk menolak perceraiannya lebih dahulu, sampai waktunya mediasi baru kamu gertak Jia." Bu Arum memberi pituah pada Rangga.
Rangga hanya mengangguk mengerti.
"Tapi aku merasa bakalan gagal deh Ma, Mama tau sendiri kan? Sekarang apa yang akan di pertahankan oleh Mbak Jia? Mas Rangga saja di pecat dari kantornya. Sekarang Mas Rangga bukan lagi pekerja kantoran." Ucapan Litta membuat Bu Arum terdiam.
Bagaimana ini, pasti Jia akan semakin semena-mena terhadap Rangga dan keluarganya fikir Bu Arum.
"Lagian ya Ma, Mbak Jia itu sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup lumayan di kotanya. Ya walaupun hanya menjadi pelayan cafe sih, tetapi setahuku cafe ditempat Mbak Jia bekerja itu gajinya lumayan. Untuk setingkat pelayan saja sudah UMR. Dan UMR kota kan termasuk besar." Lanjut Litta, membuat Mayang mengangguk mengiyakan ucapan Litta.
"Kalian kenapa tau kalau Jia bekerja jadi pelayan Cafe?" Tanya Rangga pada Litta.
Litta pun menceritakan pertemuannya dengan Jia beberapa hari lalu, termasuk pemikiriannya yang mengira kalau Jia sekarang mental Jia sedang tidak baik-baik saja.
"Iya nggak Mbak?" Litta meminta persetujuan Mayang akan ceritanya.
"Bener banget apa yang di bilang sama Litta. Dan sewaktu di caffe, Litta sempat mengolok-olok Jia. Ehh Jia malah berani nyolot sama Litta sampai menyiram Litta dengan segelas Jus, dia juga sampai halu kalau dia pemilik Cafe itu, kan gak mungkin." Mayang membenarkan ucapan Litta.
Bu Arum, Rangga dan Rendi pun terdiam setelah mendengar cerita dari Litta dan Mayang. Tapi entah apa yang mereka bertiga fikirkan.
"Alah walaupun orang kota, kerja di cafe ternama. Kalau hanya jadi pelayan ya tetap saja babu mamanya walaupun gajinya UMR dan lumayan gede." Ucap Bu Arum dengan nada yang menyebalkan seperti biasanya.
"Sudahlah, ayo kita berangkat. Ingat pesan Mama tadi." Ajak Bu Arum kepada anak dan memantunya.
"Tunggu dulu dong Ma, Manda belum sampai ini. Katanya sebentar lagi." Ucap Rangga, membuat Bu Arum mau tak mau juga ikut menunggu Manda.
***
Tepat di area parkir pengadilan Agama, keluarga Rangga berpapasan dengan keluarga Jia yang juga baru saja sampai dan baru turun dari mobil.
Melihat penampilan Jia hari ini, dan melihat mobil yang terkenal mewah di pakai oleh keluarga Jia, membuat keluarga Rangga menatap tak percaya.
Mereka memang tau kalau keluarga Jia memang punya mobil, tapi mobil yang sering di pakai oleh Pak Alan dan Bu Dinda hanyalah mobil yang setara dengan milik Litta yang di beli oleh Jia.
"Wauw mobilnya bagus banget." Batin Mayang dan Litta bersamaan.
Bu Arum berjalan menghampiri keluarga Jia.
"Jia, Pak Alan, Bu Dinda, Nak Jio. Baru sampai juga?" Tanya Bu Arum basa basi.
Tidak ada satu pun keluarga Jia yang menjawabnya, membuat Bu Arum seketika merasa malu.
"Oh iya Jia, kamu menghabiskan berapa banyak uang anak ku untuk menyewa mobil seperti ini?" Ucap Bu Arum tak tau malu.
Jia yang mendengar bahwa Bu Maya sedang bertanya dengannya pun menatap ke arah Bu Maya.
"Aku menggunakan uang anak mu untuk menyewa mobil ini?" Tanya Jia tak habis pikir.
Dan bodohnya lagi Bu Arum justru menganggukkan kepalanya.
Jia tersenyum miring melihat respon Bu Arum.
"Tolong sebelum bertanya pada saya. Alangkah baiknya anda bertanya pada putra anda sendiri. Berapa nafkah yang dia berikan pada saya selama ini?" Jawaban Jia membuat Rangga dan Bu Arum merasa malu di depan keluarga Jia.
Jia yang tidak ingin membuat keributan dengan keluarga Rangga pun memilih melangkah meninggalkan keluarga Rangga dan segera masuk untuk duduk dikursi tungu.
Jio, Bu Dinda dan Pak Alan yang sedang menggendong Amira pun juga ikut melangkah meninggalkan keluarga Rangga dengan sopan dan senyuman seadanya, yang mana itu malah membuat Bu Arum merasa tersindir.
********
********
kenp gak tegas .buat mereka kapok