"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
6 bulan berlalu…
Perut Shea kini tampak terlihat membesar. Pagi itu Shea berada di taman, ia duduk sambil memijat kakinya yang terasa lelah usai banyak berjalan.
Hingga langkah seseorang terdengar, tampak lah sosok pria muncul dengan nampan ditangannya. Ia tersenyum menatap Shea yang terlihat kelelahan.
“Love.” Ucapnya pada Shea membuat Shea membalas senyum pria itu.
Sekitar 5 bulan yang lalu, Jane mengenalkan Shea pada seorang pria. Pria yang tak lain adalah sepupu dari Jane sendiri.
Namanya Matthew Cassius, ia berbeda jauh marganya dengan Jane Wilder karena mereka memang sepupu jauh.
Pria ini menjadikan Shea sebagai Istrinya, bagaimanapun bayi yang akan dilahirkan oleh Shea sudah pasti perlu sosok seorang Ayah.
Matthew seringkali memanggil nama belakang Shea Marlove, entah kenapa ia hanya suka dengan panggilan ‘Love’ alih-alih Shea.
Dengan wajah yang masih mempertahankan senyumnya, ia duduk disamping Shea.
“Kenapa selalu melupakan sarapan pagi Love? Apa kau lupa kalau di dalam perutmu ada sosok kecil yang juga perlu makan, benar-benar suka sekali ya kalau aku berisik di pagi begini hm?” Tanya Matthew pada Shea.
Shea tertawa kecil, ia raih susu yang dibawa oleh Matthew lalu ia meminumnya tanpa mendebat pria itu.
Tatapan hangat yang selalu Matthew berikan membuat Shea merasa bersalah, nyatanya Matthew malah harus menikahinya yang sudah hamil bayi orang lain.
“Terima kasih Matt, maaf kalau aku selalu merepotkanmu.” Ucap Shea.
Matthew memangku nampan berisi sarapan roti itu, ia dengan lembut mengambil gelas susu ditangan Shea.
“Apanya yang merepotkan hm? Aku senang bisa menjadi suami yang baik untukmu. Jangan selalu merasa terbebani Love, sekarang makan rotinya ya.” Ucap Matthew.
Shea menerima suapan Matthew untuknya, selama lima bulan terakhir Matthew sungguh menjadi sosok suami yang baik buat Shea.
Mereka menjalani pernikahan ini karena calon bayi bukan karena adanya cinta diantara mereka. Itulah perjanjian yang terjadi antara Shea dan Matthew.
Selain itu. Matthew memilih setuju menikahi Shea dengan juga ada alasan, ia tak mau menerima perjodohan orang tuanya karena ia sudah memiliki perempuan yang ia cintai. Ia menunggu perempuan itu, sedangkan Shea butuh pendamping yang bisa menjadi Ayah buat Anaknya nanti.
Akhirnya pernikahan mereka pun terjadi, untuk saling menguntungkan satu sama lain.
“Matt, apa Jane ada menelponmu?” Tanya Shea.
Matthew menggeleng.
“Tidak ada. Memangnya ada apa? Apa kau ingin ke kediaman dia hm? Kalau kau rindu dia maka aku akan mengantarkanmu kesana, aku tak sibuk hari ini.” Ucap Matthew.
Shea tersenyum melihat betapa baiknya Matthew selama ini, setiap perlakuan Matthew selalu saja terasa tulus sampai Shea bisa mengurangi rasa sakit dihatinya pada sosok mantan kekasihnya yang sudah lama tak lagi ia temui.
“Serius kau tak sibuk Matt? Bagaimana soal pekerjaanmu, ini bukan akhir pekan.” Ucap Shea sambil makan roti pemberian Matthew.
Matthew terkekeh kecil melihat betapa menggemaskannya Shea kalau sedang makan.
“Iya aku tahu itu, tapi kau lupa ya kalau aku ini pemimpinnya? Aku bisa kapan saja datang, lagi pula memang hari ini aku lagi tak sibuk. Jadi bagaimana, mau ke tempat Jane atau tidak?” Tanya Matthew seraya membantu membersihkan sedikit selai coklat yang menempel di sudut bibir Shea.
“Baiklah kalau kau tak sibuk, aku mau ke tempat Jane. Aku memang merindukannya, dia lama sekali tak berkunjung sejak aku mulai tinggal di kediamanmu. Mungkin saja Jane kini sedikit sibuk.” Ucap Shea.
Ya, memang benar. Tepatnya sekitar 5 bulan lalu Shea pindah ke kediaman milik Matthew yang juga berada di Houston.
Shea menghabiskan roti itu lalu meminum sisa susu yang tersisa membuat Matthew mengusap puncak kepala Shea dengan lembut.
“Kau memang suka buatan sarapan dari aku kan Love?” Tanya Matthew.
“Hmm, karena aku benar-benar malas membuatnya seorang diri.” Ucap Shea.
“Alasan apa itu, ada pelayan tapi kenapa kau tak meminta mereka hm?” Tanya Matthew.
“Baiklah, aku mengalah. Sarapan buatanmu terasa lebih enak.” Puji Shea membuat Matthew mengukir senyum, tanpa ragu ia mengecup lembut kening Shea.
Shea tak marah karena bagaimanapun status mereka adalah suami-istri. Mungkin mereka kelak akan berpisah jika perempuan yang Matthew katakan itu telah kembali. Begitulah perjanjian yang mereka buat.
****
Kediaman besar Jane.
Tampak perempuan itu uring-uringan di ruang tengah usai mendengar orang tuanya yang memaksa dirinya untuk memimpin sebuah perusahaan.
“Jane.” Panggil Shea yang kini berjalan digandeng oleh Matthew.
Jane langsung menoleh menatap sahabat terdekatnya yaitu Shea.
“Shea.” Ucapnya lemah.
Jane segera berjalan cukup cepat lalu memeluk Shea. Wajahnya bersembunyi di dada Shea lalu dengan lemah ia berucap.
“Aku rasa sebentar lagi aku akan gila, aku hanya manusia biasa Shea mana mungkin aku bisa memimpin sebuah Perusahaan besar milik Daddy ku. Aku benar-benar akan stress. Shea tolong aku.” Ucap Jane mengeluh.
Shea dengan sayang mengusap kepala Jane.
“Tenanglah Jane, aku sangat yakin bahwa kau adalah sosok hebat. Aku yang paling tahu seperti apa kau keren membantuku selama ini, hal yang sedang terjadi padamu sudah pasti bukan masalah yang besar. Aku percaya kau bisa.” ucap Shea membuat Jane memundurkan kepalanya.
Ucapan Shea memang memberikan semangat buat Jane, tapi tetap saja Jane masih banyak pikiran.
“Shea, selama ini aku selalu kabur dan aku masih muda. Aku akan lebih baik menjadi karyawan saja alih-alih menjadi seorang pemimpin, aku juga tak perlu memiliki tahta yang tinggi. Aku mau jadi manusia biasa yang menjalani hidup dengan wajar. Ini membuatku gila.” Ucap Jane mengeluh.
Matthew berdecak kecil, ia menjauh dari dua perempuan yang sepertinya memang perlu waktu untuk berbagi keluh kesah.
“Hanya memimpin bukan hal sulit Jane, kau cukup nikmati saja. Lihat aku, bukankah aku juga sosok pemimpin?” Ucap Matthew.
“Ck! Jangan membuatku kesal Matt. Kau pria sedangkan aku perempuan, lebih baik kau diam saja.” ucap Jane.
Kini Shea yang tertawa kecil. Ia bawa sahabat terbaiknya untuk duduk lalu Shea kembali memeluk Jane dengan sayang.
“Aku memang tak mengerti beban pikiran apa yang sedang kau rasakan Jane, tapi aku percaya bahwa kau pasti bisa. Bagaimanapun kau itu seorang Anak yang harus berbakti pada orang tuamu. Aku yakin pada akhirnya kau akan terbiasa. Jika kau merasa lelah maka jangan ragu datang padaku, sama sepertimu yang berlaku baik padaku selama ini maka jangan sungkan Jane. Kau bisa memelukku kapan saja kalau kau merasa lelah, semoga itu bisa membantu.” Ucap Shea.
Jane mengangguk dalam pelukan Shea.
“Ya, pelukan Shea sangat membantuku. Kau sahabat terbaik yang pernah aku temui.” ucap Jane memejamkan matanya menikmati elusan yang Shea berikan begitu lembut untuknya.
Tak lama setelahnya Jane melepaskan pelukan itu.
“Shea.” Ucapnya menatap wajah Shea.
“Ya?” Balas Shea.
“Jika kau sudah melahirkan nanti, bagaimana kalau kau bantu aku saja? Aku tak akan bisa sendiri Shea, ayo selalu disisiku. Kita kembali ke Los Angeles dan bantu aku memimpin Perusahaan, aku paling tahu bahwa kau adalah wanita yang berbakat selama bekerja waktu itu. Kau serba bisa.” Ucap Jane bersemangat.
Shea mendadak diam mendengar Jane menyebut kota Los Angeles, tempat itu adalah kenangan buruk bagi Shea. Kenangan yang membuat luka paling besar di hati Shea, hidupnya yang terasa direndahkan oleh dua orang sekaligus.
Yumna dan Aslan, nama itu selalu berbekas di hati Shea.
Usai mengatakan itu, barulah Jane sadar kalau ucapannya sudah membuat Shea membuka luka yang lama.
Jane menggeram kesal pada dirinya sendiri.
“Shea maaf, aku…aku tak bermaksud mengatakan itu. Lupakan saja, aku hanya bercanda. Aku…”
Shea tertawa melihat Jane tampak cemas.
“Hei, apa yang kau cemaskan hm? Kalau kau memang mau aku ke Los Angeles maka aku akan menemanimu jika kau perlu aku. Jangan berlebihan Jane, bagiku masa lalu hanya masa lalu. Aku bisa melupakannya, bagaimanapun yang aku jalani sekarang ini masa depan.” Ucap Shea sambil tersenyum.
Jane memilih mengganti topik, ia tak mau membahas yang mungkin akan mengingatkan Shea pada kisah lama.
“Ah, Aunty jadi ingin cepat-cepat lihat keponakan Aunty. Kau apa kabar hm? Mommy mu memperlakukanmu dengan baik kan? Lalu bagaimana dengan Daddy Matt, apa dia jahat padamu baby boy?” Tanya Jane seraya mengusap perut besar Shea.
Matthew tersenyum melihat hal itu, ia jadi ikut angkat bicara.
“Ya, Daddy Matthew adalah kesayangan baby boy. Nanti aku dan Love akan memberikan nama yang paling indah buat baby boy kami.” Ucap Matthew.
Jane menoleh menatap wajah Matthew dengan tatapan sengit.
“Kenapa jadi kau ingin ikut menamai keponakan ku?” Tanya Jane terdengar kesal.
“Hei, aku ini Daddy nya!” balas Matthew tak kalah kesal.
“Matthew sialan! Akulah yang Aunty nya.” Ucap Jane tak terima.
Shea hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat aksi perdebatan kecil di antara Jane dan Matthew.
Dua orang itu memang seringkali ribut kecil karena baby boy yang kini ada di perut Shea.
Tampak Jane mengecup perut Shea membuat Matthew bangkit berdiri, pria itu mendekat lalu duduk di samping Shea juga. Bukan ikut mencium perut Shea, tapi Matthew malah memeluk Shea ke sisinya.
***
Di sisi lain.
Tatapan Aslan datar bahkan senyum miliknya kini tak pernah lagi menghiasi wajah Aslan, ia benar-benar jadi pria yang terkenal dengan sifat yang dingin dan juga kasar.
Yumna terlihat duduk di ruang kerja Aslan yang tampak sibuk.
“Usiamu sudah matang buat menikah, Mommy sudah atur pertemuan mu dengan Putri rekan Mommy. Dia gadis terpandang dan sangat cocok untukmu Aslan. Namanya Flora Kinsley. Besok temuilah dia, Mommy harap kali ini kau tak mengecewakan Mommy.” Ucap Yumna.
Entah kali ke berapa Aslan mengikuti perjodohan, dan yang ini adalah kesekian kalinya.
Hubungan itu tak bisa berakhir pada sebuah pernikahan karena sikap Aslan yang selalu membuat partner kencannya kecewa.
Aslan tak romantis bahkan Aslan selalu saja bersikap secara logika.
“Terserah Mommy.” Jawab Aslan.
“Luangkan waktumu besok, di siang hari.” ucap Yumna sebelum akhirnya ia keluar dari ruang kerja Aslan.
Wajah Aslan seolah kehilangan harapan hidupnya, bahkan rambutnya pun kini kian memanjang.
Hidupnya hanya terisi tentang kerja namun tidak dengan hatinya, karena hanya nama Shea Marlove lah yang terukir di hati Aslan.
Tangan Aslan terkepal, ia tak bohong kalau ia sangat merindukan Shea. Setiap kali ia teringat wajah Shea maka ia akan melampiaskannya pada minuman bir yang selalu tersimpan rapi di lemari ruang kerjanya.
Kakinya melangkah, ia raih satu kaleng bir lalu ia buka.
“Apa kabar Shea? Kau dimana, aku merindukanmu.” Ucap Aslan seraya menikmati bir yang kini membasahi tenggorokannya.
Bersambung…