Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tujuh
"Tunggu," cegah, mbak Fhitry saat keduanya berada diambang pintu.
Ahnaf dan juga Aliyah menghentikan langkahnya, lalu menoleh kembali ke arah wanita yang memanggilnya.
"Ini ada tante beliin jajanan dari mini market," ucap wanita itu, lalu menuju ruang tengah dan mengambil kantong kresek berisi dua buah kotak susu cair rasa coklat dan dua bungkus snack keripik kentang.
"Nah, ini untuk kalian,"
Kedua bocah itu membolakan matanya. Dua jajanan itu tentu sangat istimewa bagi mereka, sebab sangat jarang sekali mereka dapat membeli jajanan seperti itu, bahkan hampir tidak pernah terbeli, sebab untuk makan saja mereka terkadang harus menahan lapar jika dagangan sang ibu tidak laku terjual, dan terpaksa harus memakan sisa dagangan tersebut.
"Beneran, Tan?" ucap keduanya dengan rasa tak percaya.
Fhitry menganggukkan kepalanya. "Ini hadiah untuk kaliam berdua, karena sudah bantuin cuci piring yang kotor," jawab Fhitry dengan senyum prihatinnya
Keduanya kegirangan dan tak dapat mengungkapkan apapun yang kini menjadi rasa syukur yang sangat luar biasa pada hari ini.
"Makasih, Tante," ucap mereka bersamaan. Lalu beranjak pergi dengan hati yang tak dapat mereka ungkapkan bahagianya.
Sementara itu, Naii berjalan dengan gontai menuju kediamannya. Ia merasakan sakit dihatinya. Bukan karena perceraiannya, tetapi cara Hardi menceraikannya didepan umum yang membuat ia harus menahan malu. Bagaiamanapun setiap manusia memiliki air muka yang harus dijaga.
Ia memasuki gudang dengan hati yang tak dapat lagi diungkapkan. Orang-orang menghinanya dengan segala ketidakberdayaannya. Dan benar kata pepatah 'Sahabat atau keluarga ialah orang yang mengulurkan tangannya disaat kamu terjatuh untuk membantumu'.
"Ibu....," teriak kedua bocah itu penuh kegirangan. Keduanya berlari menghampiri Naii yang seketika terbuyar lamunannya.
Tampak keduanya sedang menghi-sap sekotak kecil susu UHT dengan rasa coklat. Binar mata keduanya tampak begitu bahagia.
Malaikat kecil itu berlari memeluknya, mereka seolah ingin berbagi kebahagiaan bersamanya. "Bu, ini enak, tadi dikasih tante Fhitry," ocehnya dengan penuh bersemangat, "Nih cobain, Bu," ucap Ahnaf, lalu menyodorkan sedotan kecil itu ke pada ibunya.
Naii yang tadi terlihat gundah, seketika membuang kesedihannya agar tidak terlihat oleh kedua anaknya, cukup hanya ia yang tahu betapa hancurnya perasaan yang kini ia rasakan.
"Oh, ya.. Coba sini ibu rasa," ucapnya dengan cepat, lalu menyeruput sedikit susu cair yang diberikan oleh Ahnaf,
"Emmmm.. Enak, bilang apa tadi sama tante?" ucap Naii, lalu mengusap ujung kepala puteranya.
"Ucap Makasih, Tante," Ahnaf menirukan ucapannya saat tadi bersama Fhitry.
"Anak Ibu pinter," puji Naii pada puteranya.
"Bu, cobain punya Liyah," ucap puterinya tak mau kalah, dan juga ingin berbagi dengan sang ibu.
Naii tersenyum tipis, lalu menirukan cara yang sama saat dengan Ahnaf.
Tampak gadis itu kegirangan saat sang ibu menerima pemberiannya. Sebab ada istilah, sesakitnya meminta tak diberi, tetapi lebih sakit saat memberi tetapi menerima penolakan.
"Ayo, kita sarapan," ucap Naii, sembari mengangkat kantong kresek berisi nasi bungkus yang dibelinya tadi.
"Kami sudah sarapan, Bu. Tadi diberi nasi goreng oleh Tante," jawab Ahnaf, "Ibu saja yang makan,"
Naii tak lagi mampu menyembunyikan rasa harunya. Terlalu banyak bantuan yang diberikan oleh mbak Fhitry padanya. Ia merasa hanya wanita itu satu-satunya yang mengerti akan kondisinya saat ini, sementara yang lainnya hanyalah menjadi penonton dan juga penyorak yang handal.
Wanita itu berjalan masuk bersama kedua puteranya. Ia membuka bungkusan nasi tersebut, lalu memakan setengahnya dan menyisakan untuk makan berikutnya.
Perutnya yang perih karena terlambat untuk sarapan, semakin perih saat diisi dan membuatnya merasa sakit pada lambungnya.
Melihat sang ibu meringis kesakitan, Ahnaf langsung tanggap dan mencari minyak kayu putih Aliyah lalu memberikannya pada sang ibu.
Wanita itu merasa tersanjung atas perhatian yang diberikan oleh puteranya, lalu ia menerima botol berwana hijau itu dengan cepat, lalu membalurkannya ke perutnya yang perih.
*****
Hari semakin siang. Naii merasakan jika ia harus kembali mencari penghasilan. Uang yang ia dapatkan barusan hanya dapat untuk memenuhi makan mereka hingga dua hari berikutnya.
"Aku harus mencari pekerjaan untuk tambahan," gumam Naii, sembari bersandar didinding gudang.
Ahnaf datang menghampirinya, lalu tanpa diperintah memijat betis kakinya yang saat ini mengalami keram.
Rasa lelah yang ia rasakan saat ini, sirna seketika saat sang buah hatinya memberikan perhatian yang begitu manis.
"Ahnaf, ibu mau cari pekerjaan disekitar sini, kamu jangan bermain terlalu jauh, jagain adik ya," pesan Naii kepada puteranya.
"Ibu baru saja beristirahat, mengapa harus pergi lagi?" tanya Ahnaf dengan iba.
"Tak mengapa, Sayang. Tugas orangtua itu memberikan perlindungan dan juga makan pada anak-anaknya," jawab Naii dengan penuh kelembutan.
Sebenarnya hati Ahnaf tak rela. Ia masih ingin terlalu lama bermanja dan bermain dengan ibunya, tetapi sepertinya itu sangat sulit ia dapatkan.
"Jika tugas orang tua berkewajiban memberi nafkah, mengapa ayah tidak pernah bekerja? Bahkan selalu meminta uang pada ibu," ucap Ahnaf, yang tentunya hal itu sangat membuat Naii terbungkam. Ia tak menduga jika seorang bocah berusia enam tahun itu ternyata memperhatikan prilaku ayahnya selama ini.
"Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah. Baik dan buruknya prilaku dan perbuatan kita, semua akan ada balasannya," Naii menimpali ucapan puteranya.
Ahnaf menatap ibunya dengan tatapan penuh arti. Kemudian menganggukkan kepalanya.
Naii tersenyum, tipis, lalu akan beranjak pergi untuk mencari pekerjaan tambahan setelah memulung. Ia harus secepatnya dapat mengontrak rumah.
"Bu," panggil Ahnaf.
"Ya," jawab Naii tanpa menoleh ke arah puteranya.
"Ahnaf boleh gak pindah ke pesantren?" ucap sang bocah tib-tiba.
Deeeegh...
Jantung Naii terasa berhenti berdegub. Ia menarik nafasnya dengan berat, lalu memutar tubuhnya dan kembali melangkah menghampiri puteranya.
"Ibu senang mendengarnya. Tetapi masuk pesantren itu mahal, Nak. Ibu tidak punya uang," jawab Naii lirih.
Ahnaf terdiam sejenak. Lalu menatap sang ibu yang terlihat memandang sayu. "Kalau begitu Ahnaf akan bantu ibu memulung, biar bisa menabung kembali," bocah itu meyakinkan tekadnya.
Naii menggigit bibirnya bersama dengan perasaannya yang saat bagaikan tersiram cuka.
"Sayang, masuk pesantren itu mahal. Ada banyak biaya yang harus ibu keluarkan, dan setiap bulannya juga ada biaya yang pastinya menjadi kewajiban," Naii mencoba memberi tahu tentang semua biaya yang harus difahami sang bocah.
Ahnaf terdiam dan mencoba menganggukkan kepalanya, meskipun ia tak rela jika keinginannya itu harus hilang begitu saja sebelum ia dapat berjuang.
Naii melihat rona wajah sang putera tampak sayu. Ia mengerti apa yang sedang difikirkan puteranya.
"Berdoalah, semoga Allah membuka pintu rezeki dari jalan yang lain," ucap Naii, lalu mengecup ujung kepala puteranya, dan beranjak pergi.