Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 10
Rafa dengan cepat meraih tubuh ibunya yang terlihat lemah, membimbingnya ke kursi di warung dengan penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah budenya, Risma, yang sedang duduk dengan santai.
"Apa yang terjadi, Bude?" Rafa bertanya dengan suara yang penuh kecemasan. "Mengapa Mama aku jadi seperti ini?"
Risma memutar bola matanya dengan malas, "Aku tidak tahu, Rafa. Mamamu memang selalu penuh drama."
Rafa seketika berdiri, wajahnya merah dengan marah. "Apa maksud Bude mengatakan hal seperti itu?!" suaranya bergetar dengan emosi. "Mengapa Bude bisa begitu kejam dan tidak memiliki perasaan? Hati Bude memang keras dan tidak memiliki belas kasihan!"
Risma tersenyum sinis, "Aku hanya mengatakan kebenaran, Rafa. Mamamu memang selalu membuat masalah."
Rafa merasa darahnya mendidih dengan kemarahan. Ia tidak bisa membiarkan budenya berbicara seperti itu tentang ibunya. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang.
"Aku tidak ingin mendengar kata-kata seperti itu lagi, Bude," katanya dengan suara yang firm. "Mama aku tidak pantas diperlakukan seperti ini."
Risma berkacak pinggang dengan nada sinis, "Kamu itu anak kecil tidak punya sopan santun, sangat cocok memang jadi anaknya Halimah. Sama-sama pembuat onar!" Ucapannya terdengar tajam dan menyakitkan, membuat Rafa merasa marah dan sedih.
Tanpa berbasa-basi Risma lantas segera pergi meninggalkan mereka. Ia bahkan tak perduli dengan keadaan Halimah yang sedang lemas, ia menatap Halimah sekilas sebelum pergi dari tempat itu.
Dengan wajah panik, Rafa segera berlari ke dalam rumah, mencari bapaknya dengan harapan mendapatkan bantuan. Ia berlari ke dapur, namun tidak menemukan Anton di sana. Lalu, ia bergegas ke kamar orang tuanya, berharap menemukan bapaknya di sana.
Saat memasuki kamar, Rafa melihat Anton tengah tidur lelap, memeluk guling dengan santai. Hari ini adalah hari libur Anton, dan ia memilih untuk bermalas-malasan di rumah, meskipun jam sudah menunjukkan pukul 09:00.
Rafa berjalan mendekat ke arah bapaknya, memukul pelan pundak Anton untuk membangunkannya. "Bapak, bangun! Mamak lagi sakit, ayo kita antar ke rumah sakit!" Ucap Rafa dengan nada panik dan khawatir.
Anton mengeliat, menggosok matanya yang masih berat dengan tidur. "Ada apa sih, pagi-pagi udah berisik aja. Gak bisa liat bapak santai sebentar apa?" Ia berbalik menatap ke arah Rafa dengan nada kesal.
Rafa menatap bapaknya dengan mata yang berbinar dengan khawatir. "Mak e sakit pak, kayaknya jantungnya kambuh." Ucapnya terdengar panik.
Anton menepis tangan Rafa dengan nada sinis. "Alah mak mu tu emang penyakitan, dikit-dikit sakit, dikit-dikit lemah. Bosen bapak. Emang gak ada sehatnya tu orang satu." Ucapannya terdengar tega dan tidak berperasaan.
Rafa menggeleng mendengar perkataan bapaknya yang begitu kejam. Ia perlahan sadar jika ibunya sakit juga semua ini karena ulah bapaknya yang tidak pernah memperhatikan dan menghargai ibunya. Rafa merasa marah dan sedih, ia tidak bisa membiarkan bapaknya terus-menerus menyakiti ibunya.
Dengan suara yang stabil, Rafa berkata, "Kalo bapak mau cerai sama mamak silakan, mungkin itu lebih baik dari pada mamak harus hidup dengan lelaki tak berperasaan seperti mu." Ucapannya terdengar kesal dan penuh emosi.
Anton terkejut mendengar perkataan Rafa, ia tidak menyangka bahwa anaknya bisa berbicara seperti itu. Ia merasa marah dan kesal, Ia hanya bisa menatap Rafa yang sudah pergi keluar dari kamar.
Rafa segera meninggalkan bapaknya yang masih terkejut dengan perkataannya. Hatinya sakit dan marah, ia tidak bisa membiarkan bapaknya terus-menerus menyakiti ibunya.
Ia berjalan menuju garasi, di mana mobil barunya terparkir. Mobil itu adalah hadiah dari bapaknya, agar Rafa bisa bekerja sebagai supir bersamanya. Namun, sekarang mobil itu menjadi simbol kebebasan bagi Rafa, kebebasan untuk meninggalkan bapaknya dan membantu ibunya.
Rafa menyalakan mesin mobil dan keluar dari garasi, ia berhenti di depan warung milik ibunya. Ia segera keluar dari mobil dan menghampiri Halimah, yang masih duduk di kursi dengan wajah pucat.
"Ayo, Mak," ajak Rafa dengan suara lembut. "Kita ke rumah sakit, biar dokter memeriksa Mamak."
Rafa memegang pundak ibunya, membantunya berdiri. Halimah terlihat lemah dan sakit, namun ia masih berusaha untuk tersenyum.
"Kita mau kemana, Le?" tanya Halimah dengan suara lemah.
"Kita ke rumah sakit, Mak," jawab Rafa dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Nanti kalau Mama kenapa-napa, gimana?"
Halimah menggeleng, "Gak usah, Le. Mama gak apa-apa. Mama hanya capek aja."
Rafa tidak percaya, ia tahu bahwa ibunya tidak hanya capek. Ia bisa melihat bahwa ibunya sedang menderita, dan ia tidak akan membiarkannya sendirian. Ia membantu ibunya masuk ke dalam mobil, dan segera memulai perjalanan ke rumah sakit.
"Gak! Pokoknya kita kerumah sakit. Mamak ikut aja," kata Rafa dengan tegas, membimbing Halimah masuk ke dalam mobil. Halimah menengok ke belakang sebelum masuk ke dalam mobil, mencari sosok Anton yang tidak terlihat.
"Bapak kamu mana?" tanya Halimah dengan nada khawatir.
Rafa tidak menjawab, ia hanya membantu Halimah masuk ke dalam mobil. "Udah gak usah tanya bapak, Mak. Ayok kita masuk aja," kata Rafa dengan suara yang sedikit keras.
Rafa mengambil uang yang ada di laci meja warung, memastikan bahwa mereka memiliki cukup uang untuk biaya pengobatan. Ia segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan berlalu dari sana.
Halimah memandang Rafa dengan mata yang lemah. "Kita pergi ke klinik aja ya, Le. Mamak gak mau ke rumah sakit. Nanti pasti suruh menginap kalo di sana," katanya dengan suara yang bergetar.
Rafa mengangguk mengiyakan permintaan ibunya, memastikan bahwa ia akan membawa Halimah ke tempat yang aman dan nyaman. Ia memandang jalan di depannya, berusaha untuk mencapai klinik secepat mungkin.
Rafa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, melaju di jalan yang berliku-liku. Jarak antara rumahnya dan klinik yang baru saja diresmikan memang cukup jauh, namun Rafa tidak ingin membuang waktu. Ia ingin membawa ibunya ke tempat yang aman dan nyaman, di mana ia bisa mendapatkan perawatan yang tepat.
Halimah duduk di samping Rafa, memandang jalan di depannya dengan mata yang lemah. Ia ingin memeriksakan penyakit jantungnya, dan klinik baru itu terkenal memiliki peralatan yang lengkap. Berbeda dengan rumah sakit di daerah pedesaan, yang peralatannya belum lengkap.
Rafa mempercepat laju mobilnya, melaju di jalan yang lurus. Ia bisa melihat klinik baru itu dari kejauhan, bangunan yang megah dan modern. Rafa merasa lega, ia tahu bahwa ibunya akan mendapatkan perawatan yang tepat di sana.
"Kita sudah hampir tiba, Mak," kata Rafa dengan suara yang lembut. "Klinik itu terlihat bagus, kan?"
Halimah memandang Rafa dengan mata yang lemah, namun ia tersenyum. "Ya, Le. Kita sudah hampir tiba."