Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngereog
Sesuai janjinya, hari ini Nina akan mengantar Rima ke sekolah, dia juga ingin mengadukan sikap teman-teman Rima yang sering merundungnya.
Rima dan Nina baru akan keluar menunggu mobil pesanannya, kala Yanto mendatanginya.
Nina benar-benar malas sekali berhubungan dengan suami dari saudari tirinya yang tukmis itu. Sedangkan Rima sudah bersembunyi di belakang punggung ibunya.
Sebenarnya, Rima sudah pernah nyaris kena pelecehan oleh Yanto saat di minta mencuci oleh Tyas di rumahnya.
Wajah Rima yang sangat mirip dengan Nina membuat otak Yanto ingin berlaku keji pada gadis remaja itu.
Untung saja Tyas kembali, setelah itu dia meminta sang Bibi untuk membawa pakaian kotor mereka ke rumahnya saja.
Rima takut kalau Yanto akan melakukan pelecehan lagi padanya.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Nina menoleh ke belakang.
"Bu, aku takut sama om Yanto," lirihnya.
"Tenang aja ada ibu, ngga akan ibu biarkan dia macam-macam," ujar Nina menangkan.
"Papah ngapain ke sini sih! Awas aku aduin ke mamah loh!" ancam Ziva.
Biasanya Tyas yang selalu mengantar Ziva ke sekolah, karena Yanto tidak pernah bisa bangun pagi.
Namun karena dia ingin mencari perhatian Nina, jadilah ia semangat pagi ini ingin mengantar anaknya dan juga keponakan tirinya.
"Ayo Rima biar papah, eh Om antar," ajak Yanto.
"Ngga perlu mas, saya akan ke sekolah Rima, jadi kami berangkat sendiri saja!" tolak Nina tegas.
"Kebetulan sekali Dek Nina, mendingan saya antar anak-anak dulu, baru kemudian Dek Nina, gimana?" tawarnya memaksa.
Mobil yang Nina pesan sudah sampai, tanpa ingin menjawab pertanyaan Yanto, Nina bergegas mengajak putrinya memasuki mobil.
"Tunggu Dek!" cegah Yanto memegang tangan Nina.
"PAPAH!" bentak seseorang dari kejauhan.
Nina menghela napas, hadeuh alamat ngereog lagi nih lampir!
"Eh janda gatel! Ngapain kamu sama suamiku!" ketusnya.
Tyas langsung menyentak kasar tangan keduanya.
"Mamah," gagap Yanto.
"Mau ngerayu suami aku kamu!" tuduh Tyas.
Nina tertawa mencemooh, "ngerayu? Hei otak kamu di mana? Kamu lihat ini di rumah siapa? Siapa yang datang dan mendatangi? Pakai otakmu!" balas Nina tajam.
Tyas lalu menatap Yanto sengit, gara-gara kelakuan sang suami dirinya di hina oleh Nina.
"Awas minggir, aku mau pergi!" usir Nina pada Tyas yang menghalanginya.
"Tunggu!" cegah Tyas tak mau kalah.
"Bapak kamu sakit, kamu anaknya kan, sini uang buat berobat," pintanya sambil menengadahkan tangan.
Nina terkejut, kemarin dia masih melihat sang ayah dalam keadaan sehat, mengapa tiba-tiba sakit, pikirnya, ia yakin ada yang tidak beres dengan keluarga baru ayahnya.
"Kamu mau menipuku?" tuduh Nina.
Tyas yang tak terima di tuduh seperti itu menjadi semakin kesal, "liat aja sendiri! Itu karena ulah kamu, jadi anak durhaka yang tega mengusirnya, dia jadi sakit," dustanya.
"Ya udah nanti aku bawa dia ke Dokter," balas Nina tak ingin memperpanjang masalahnya.
Tyas merasa gugup, bisa-bisa kebohongannya terbongkar kalau Nina yang mengajak Dibyo berobat.
"Ngga usah, biar kami aja, dia kan sekarang tinggal di rumahku jadi aku yang bertanggung jawab," elaknya.
"Oh syukurlah, kalau begitu terima kasih mau mengobati bapakku," ejek Nina yang tau otak licik saudari tirinya.
"Eh maksudnya apa?" Tanya Tyas bingung.
Nina menghela napas, "tadi kamu bilang bapak menjadi tanggung jawabmu, ya aku jawab terima kasih, salah?" sindir Nina.
Wanita mandiri itu menatap jam di pergelangan tangannya, waktunya banyak terbuang karena dua orang yang mengusiknya pagi ini.
Sedangkan Tyas menatap terpana barang-barang yang di pakai Nina. Dari jam tangan yang baginya sangat mewah, tas yang bagus, serta penampilan Nina yang sangat jauh berbeda.
Dia lalu menatap penampilannya sendiri, celana kulot dengan kaus kedodoran, sangat timpang sekali dengan penampilan Nina.
"Ya-ya aku emang yang mengurus bapak, kamu lah yang bagian ngeluarin uangnya. Jangan lupa juga nafkah bapak dan ibuku," pintanya tak tahu malu.
Enggan berdebat lebih lanjut, Nina memilih mengalah dan memberikan keinginan Tyas.
Nina mengambil dua lembar uang pecahan seratus ribu rupiah pada Tyas untuk biaya berobat ayahnya.
"Loh kok cuma segini? Kamu pikir cukup?" ketus Tyas tak terima.
"Kamu pikir aku ngga tau berapa biaya periksa ke klinik? Segitu cukup! Mau enggak? Kalau enggak, ya udah sini, biar aku yang periksain bapak sendiri!"
Saat akan mengambil kembali uangnya, Tyas bergegas menarik tangannya, tak mungkin dia biarkan uang itu kembali ke tangan Nina.
"Enak aja! Lalu duit makan bapak sama ibu mana?" pintanya lagi.
Nina menghela napas jengah, ingin sekali dia menolak keinginan Tyas, tapi mengingat bahwa ayahnya itu bergantung pada pemberiannya membuatnya tak tega.
Nina kembali mengambil uang sebanyak lima lembar, mata Tyas sudah berbinar. Namun saat melihat Nina hanya memberinya lima lembar dia kembali kesal.
"Mana cukup lima ratus ribu! Dia hidup di rumahku, udah sewajarnya kamu kasih juga biaya tinggal, listrik dan yang lainnya! Aku minta tiga juta tiap bulan!" pintanya tak tau malu.
Nina bergegas merebut kembali uang yang sudah di berikan olehnya.
"Kamu pikir aku ngga tau pikiran picikmu? Beruntung aku kasih uang ini, setelah apa yang kalian dan bapakku lakukan pada Rima! Kalian memang tak tau diri!" ketusnya lalu memilih masuk ke dalam mobil.
Tyas terperangah karena Nani meninggalkannya begitu saja. Lenyap sudah uang lima ratus ribu dari tangannya karena dia kurang cepat mengamankan uang itu.
"Sial! Awas aja kamu Nina!" monolognya.
"Mah," panggil Yanto dnegan senyuman lebarnya.
Tyas melirik sebal suami yang dia pergoki tengah merayu saudari tirinya.
"APA!" jawabnya ketus.
"Bagi duit," pinta Yanti dengan nada suara lembut, dia mencoba merayu istrinya.
"Enak aja! Sana narik, ngapain minta-minta! Awas aja kalau mamah liat papah deketin janda gatel itu lagi, kupotong si jalu sampe abis!" ancam Tyas.
Refleks Yanto mengapit kedua kakinya mendengar ancaman Tyas.
Dasar cerewet, awas aja kalau aku udah bisa dapetin Nina, aku buang juga kamu mah! Eh jangan ding, Tyas jago maen di ranjang, bikin aku klepek-klepek.
"Ngapain senyum-senyum, sana pergi, noh Ziva dari tadi udah manggil, telat nanti dia!" titah Tyas yang di balas decakan suaminya.
.
.
Sesampainya di sekolah, Rima mengajak Nani ke kantin, sambil menunggu para guru dan kepala sekolah datang.
Di sana Rima juga di temani beberapa teman akrabnya. Hati Nina merasa bersyukur, setidaknya dia tau bahwa sang putri masih memiliki teman baik.
Rima harus melakukan upacara bendera, membuat Nina harus menunggu sendirian, Nina tak mempermasalahkannya, dia meminta sang putri tak perlu mengkhawatirkannya.
Saat sedang sibuk dengan ponselnya karena usaha onlinenya, Nina di kejutkan dengan seorang ibu paruh baya yang tiba-tiba duduk di hadapannya.
"Ibu ini, ibunya Rima?" tanya wanita paruh baya yang merupakan salah satu pedagang di kantin sekolah ini.
"Iya Bu, saya ibunya Rima," balas Nina sambil tersenyum ramah.
"Alhamdulillah, akhirnya ibu pulang, saya sempat khawatir dengan keadaan Rima, saya yakin ibu sudah banyak tau kehidupan Rima," jelas ibu paruh baya itu.
"Apa di sekolah Rima juga mengalami bulian Bu?" tanya Nina khawatir.
Ibu itu menghela napas lalu mengangguk, "tidak hanya dari murid-murid Bu tapi juga dari guru," jelasnya membuat Nina mengepalkan tangan.
"Kurang ajar! Boleh saya tau siapa guru itu bu? Banyak kah? Atau hanya beberapa?"
"Yang lain kebanyakan cuek karena kesal dengan penampilan Rima yang menurut mereka tak pernah mendengarkan teguran sekolah. Tapi wali kelasnya yang paling sering menghukumnya, padahal dia yang harusnya di rangkul, tapi di salahkan Bu," ujar ibu itu sambil menyeka air matanya.
"Aku akan menemui mereka sekarang!"
.
.
.
Tbc