Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. FITNAH
Sepanjang perjalanan menuju mansion kediaman El Qavi, Dilara hanya diam. Berada dalam sebuah mobil mewah berdua hanya dengan supir, membuatnya rikuh karena baru kali ini dirinya diperlakukan demikian.
Kendaraan roda empat itu masih melaju menuju pusat kota Surabaya, lalu berbelok ke kanan memasuki kawasan elite, Green Leak Residence.
Mercedes-benz C class hitam yang Dilara tumpangi akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan gerbang besi hitam penuh ukiran bunga tulip.
Bagian fasad depan hunian bergaya Mediterranean teguh menjulang di depannya. Dilara tak berani membuka handle pintu mobil meski sepertinya sang driver mengatakan mereka telah tiba, dia bergeming.
Tok. Tok. Rolex mengetuk kaca mobil dari samping kiri.
Dilara membuka kaca, menatap enggan pada manik mata pria dihadapannya.
"Mari Nona, Tuan sudah menunggu," ajak Rolex sopan sembari membungkukan badan.
"Aku takut," tulis Dilara pada catatan kecil lalu mengetuk dengan pulpen agar Rolex membacanya.
"Beliau pribadi santun terhadap siapapun, ayo!" paksa sang aspri pelan.
Tiada pilihan, akhirnya kaki yang terbalut sepatu slip-on hitam itu turun dari mobil mengikuti kemana Rolex membawanya.
Beberapa pelayan terlihat menyambut kedatangan mereka. Melewati pintu besar terus masuk kedalam ruang keluarga dimana pemilik rumah sedang duduk menghadap televisi yang lebar, bagai layar tancap di kampungnya apabila ada perayaan.
Emery menyadari kedatangan tamu yang telah ditunggu. Dia menoleh disertai senyuman hangat kearah sumber suara yang perlahan mendekat.
"Selamat siang, Tuan. Gadis yang Anda ingin temui, Dilara. Dan ini kedua benda yang dititipkan padanya, aku akan meletakkan diruang kerja. Permisi." Rolex membungkuk lalu meninggalkan mereka.
"Halo Dilara, kita jumpa kembali. Terimakasih Lex, Ezra belum bangunkah? bukannya keputusan sidang hari ini?" tanya Emery kemudian setelah Rolex beberapa langkah menjauh.
"Belum Tuan, aku akan membangunkannya jika Anda ingin. Mengenai putusan sidang, lawyer yang mengurusnya dan sudah resmi jatuh talak kemarin. Tuan Muda minta agar dipercepat karena telah mufakat dengan memberikan tunjangan selama tiga bulan pada Nyonya Cheryl," runut Rolex panjang lebar masih dengan muka datarnya.
"Hmm baiklah, istirahatlah Lex. Terimakasih," ucap Emery kembali masih tak melepaskan pandangan pada Dilara.
Setelah Rolex menyingkir dari sana, Emery memanggil Dilara agar mendekat padanya.
"Kemarilah, kamu belum menjawab sapaanku," ajak pria paruh baya ini ramah.
Dilara lalu duduk diujung sofa berlawanan dengan sang pemilik rumah.
"Assalamu'alaikum?" Dila menyapa, lumayan terdengar jelas.
"Wa'alaikumussalaam. Lebih baik meski masih nyeri, terimakasih Nak. Dilara, maaf, apakah kamu memakai alat bantu dengar? dipasang di telinga?" Emery memeragakan tangannya disekitar telinganya.
Dilara mencerna ucapan serta gerakan bibir pria paruh baya di depannya. Otaknya yang cerdas mampu menangkap maksud lawan bicaranya dengan cepat.
"Dulu pernah punya tapi rusak," Dilara berusaha mengeja suku kata perlahan agar pria yang duduk tak jauh darinya mengerti meski intonasinya kurang tegas. Kemudian dia melanjutkan dengan menulis di catatan kecilnya.
"Ibu tidak punya uang untuk mengganti alatnya, aku hanya memakai alat itu dua kali, saat balita dan remaja. Ketika masuk Aliyah, aku sudah tidak memakainya lagi," Dilara menjelaskan.
Emery trenyuh akan kesabaran gadis belia yang tanpa sengaja dia temui. Kekagumannya pada Dilara terhenti seiring suara manja anak gadisnya yang baru saja tiba dari Bandara mengurus bagasi.
"Pagi Pa, eh ada tamu," sapa Mita ceria dan ramah menyalami Dilara setelah mencium pipi ayahandanya.
"Hai, aku Ermita. Dipanggil Mita, kamu yang menolong Papaku?" sambungnya lagi.
Emery sengaja tak memberitahu Mita bahwa penolongnya seorang tunarungu. Dia ingin anaknya menghormati siapapun tanpa memandang status sosial seseorang.
"Dilara," sahutnya tenang dengan menggerakkan jemari membentuk suku kata namanya.
Mita terlihat bingung sejenak, namun dirinya langsung menguasai keadaan dengan tak menampakkan keterkejutannya.
"Halo Dilara, semoga kita bisa jadi teman, ok? aku keatas dulu ya ganti baju, nanti kita ngobrol lagi," Mita berbicara cepat, menguji kemampuan Dilara apakah bisa mengerti ucapannya.
"Iya, silakan. Terimakasih Ka Mita," balas Dilara dengan menulis dan menunjukkan pada Mita.
"Oh wow. Pa, aku salah, dia cerdas," imbuh putri bungsu Emery seraya bangkit dari sofa dengan mengacungkan kedua jempolnya pada Dilara. Lalu menuju kamarnya di lantai dua.
Terdengar tawa Emery memenuhi ruangan megah itu bersamaan dengan Mita yang menjauh pergi.
"Pa, mencariku? aku masih ngantuk...." suara berat seorang pria datang dari belakang Emery.
"Za, kenalkan Dilara ... Dilara, ini Ezra putraku," Emery memperkenalkan keduanya dan diangguki oleh Dilara.
"Hmm ... aku lapar. Makan duluan ya Pa," sahut Ezra cuek melihat ke arah Dilara sekilas lalu tak lagi memedulikan sosok gadis yang duduk dihadapannya.
"Bawa Papa kesana, pake kursi roda saja sekalian ajak Dilara," pinta sang ayah agar Ezra memapahnya.
"Ayo...." ajak Ezra pada Dilara yang masih diam tak beranjak dari duduknya.
Setelah semua lengkap dimeja makan, tidak ada percakapan disana. Hanya bunyi denting peralatan makan yang beradu dengan pinggan.
"Za, antar Dilara pulang ya habis ini...."
"Kenapa aku, dengan Leon atau driver saja kan bisa Pa," ujar Ezra malas.
"Rolex bilang Dilara kesini tanpa sepengetahuan ibunya, juga Papa belum bisa mengucapkan terimakasih pada beliau. Sepatutnya kamu mewakili Papa Za," desak Emery.
"Aku pulang sendiri saja Tuan, tak baik berdua dalam satu mobil karena beliau bukan mahramku." Tulis Dila pada secarik kertas kemudian diserahkan pada Emery.
Pria paruh baya itu membaca dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Enggan berdebat dengan sang ayah, Ezra yang tak melihat interaksi Dilara dengan ayahnya, menuruti permintaan beliau.
Saat akan mengantar Dila.
Ezra heran, mengapa ada supir yang menemani mereka kini. Namun karena masih sangat mengantuk, dirinya berkesempatan tidur selama perjalanan nanti, niatnya dalam hati.
Mobil sedan mewah lalu melaju kembali, setelah Emery mengucapkan banyak terimakasih pada Dilara.
Tiga puluh menit kemudian.
Driver menepuk pelan lengan sang majikan yang duduk disebelah kirinya, memberi kabar jika mereka telah tiba. Driver pun diminta menemani Ezra turun mengantar Dilara dari ujung jalan menuju kediaman gadis itu.
Terlihat dari kejauhan, wanita paruh baya sedang menangis dikerumuni oleh para tetangga. Dilara bingung ada apa gerangan.
"I-buuu," gumam Dila seraya berlari. Ezra yang masih dalam mode bingung ikut panik takut gadis itu terjatuh karena gamisnya yang panjang khawatir terinjak saat berlari.
"Sport jantung gue nih," lirih Ezra mengelus dadanya.
Mendengar suara seseorang datang, Ruhama bangkit mengurai kerumunan untuk memeluk anaknya.
"Dilara, sayang darimana? apa yang kalian lakukan? jawab Nak," ucap Ibu diselingi tangisan tersedu sembari memegang wajah putrinya.
"Apa? lakukan apa?" bisik Dila, menatap wajah Ibu tak mengerti.
"Nah ini dia laki-lakinya, heh, tanggungjawab sudah mesum siang-siang dirumah orang, penampilan aja rapi kelakuan babi!" hardik seorang ibu muda disana pada Ezra.
"Aku kenapa? eh, ada apa ini? lepas," teriak Ezra menepis kasar cekalan beberapa pemuda yang menarik dan menggelandang dirinya menuju ke suatu tempat yang tak dia tahu tujuannya.
"Lepas, jelaskan padaku!" pekik sang duda lagi, mencoba melepaskan diri.
"Sudah zina ga ngaku, kasihan Dilara, biar Kyai Said yang mengintrogasi kalian sekaligus menikahkan. Bikin aib dikampung orang, menebar dosa ke 40 rumah sekitarnya juga. Kurang ajar!" amarah warga meluap.
"Hah, zina, menikah? siapa? aku baru kali ini kesini, kenal dia saja tidak!" Ezra berontak tak terima.
"Bang-sat!!! sudah berbuat tapi ga ngaku!" Ezra ditendang dan dipukul pada bagian perut serta punggungnya.
"Awh," pekik CEO El Qavi, menahan ngilu pada ulu hati sementara dia melihat drivernya diperlakukan sama.
Sh-ittt, ada apa ini.
.
.
...________________________...
⭐⭐⭐⭐⭐