Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kasurnya Terlalu Besar
Satu minggu berjalan, kegiatan Hanung sudah seperti pegawai catering. Yang membedakannya dengan yang lain adalah pakaiannya, karena ia tak mengenakan seragam seperti yang lain.
Catering Surati merupakan catering yang bekerjasama dengan salah satu perusahaan subcon dari pemilik tambang batubara. Setiap pagi karyawan akan mengambil sarapan, pukul 11 makan siang diantar ke tambang, sore mengambil ke catering dan untuk pekerja malam akan diantar sekitar pukul 10 malam.
Di sela-sela kegiatannya, Hanung menyempatkan memberikan kabar kepada Gus Zam dan saat jam istirahat mereka akan melakukan panggilan video. Seperti sekarang ini, Hanung makan siang ditemani Gus Zam di layar ponselnya.
"Kenapa tidak pulang saja? Ini sudah satu minggu kamu membantu."
"Aku sudah mengatakan akan membantu, Mas. Tidak mungkin aku kabur dan ujung-ujungnya Ibu akan menyalahkan Ibu Jam atau pesantren."
"Tapi kamu menjadi tak ada waktu untuk bersantai."
"Tak apa, Mas. Semoga Ibu cepat dapat karyawan, jadi aku bisa bersantai."
Sebenarnya tidak bersantai juga. Hanung mengatakannya untuk menenangkan Gus Zam saja. Karena pada kenyataannya, ia benar menjadi upik abu dirumah Surati. Semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakan karena 2 anak suami Surati beralasan sibuk sekolah dan anak laki-laki hasil pernikahan mereka masih balita. Suami Surati bahkan komplain saat Hanung tak menyiapkan makan malam karena kelelahan. Mereka tak memiliki pembantu karena rata-rata tidak betah dengan sikap diktator suami Surati.
"Sepertinya berat badanmu turun?" Gus Zam memperhatikan wajah Hanung.
"Perasaan Mas saja. Hanung masih kuat makan dan tidur teratur."
"Kuat makan bukan berarti timbangan tidak turun, Hanung." Hanung hanya meringis.
"Sudah dulu ya, Mas. Nanti kalau sudah sampai rumah, Hanung telepon lagi. Kita lanjut balas pesan ya.." Gus Zam mengangguk dan mereka pun mengakhiri panggilan.
Hanung kembali ke posnya karena sebentar lagi jam makan siang. Karyawan yang libur atau shift malam akan makan siang di catering.
"Hanung, seperti biasa!" seru seorang karyawan bernama Puji.
"Iya, Mas. Ditunggu ya.." jawab Hanung yang mencatat pesanan dan mengantarnya ke bagian dapur.
Puji adalah salah satu karyawan yang berusaha dekat dengan Hanung karena merasa seperti memiliki adik. Jika ada laki-laki yang ingin mendekati Hanung, maka Puji akan memberikan informasi penting agar Hanung tidak salah pilih. Tetapi ketika tahu Hanung sudah menikah, Puji menjadi garda depan untuk mengusir laki-laki yang mendekati Hanung tanpa sepengetahuan si empunya.
Sementara itu, Gus Zam kembali dengan ukirannya. Sudah satu minggu ini Gus Zam membantu Pak Kyai dan Gus Miftah dengan manajemen pesantren atau membantu mengajar. Tetapi durasinya tak banyak karena Gus Zam masih susah berbaur dengan keramaian. Ukiran adalah tempat Gus Zam mengalihkan pikirannya.
"Gus Zam!" seru Kang Leman yang berkunjung ke pesantren.
"Hebat juga Gus Zam kepikiran membuat studio seperti ini!"
"Dikamar sudah tidak bisa, Kang."
Karena tak ada tempat untuk mengukir, Gus Zam membuat studio kecil dari kayu di sela-sela bangunan rumah dan pagar. Pak Kyai yang sebelumnya menghubungi Kang Leman tentu mendukung Gus Zam. Selain bisa menyalurkan pikiran positif, ukirannya juga bisa dijual dan menghasilkan. Walaupun bukan untuk mengejar kekayaan, yang penting rejeki dari Allah dimaksimalkan dan disyukuri.
"Ya iya tho, Gus. Masak kamar penganten dijadikan tempat kerja ukir. Yang ada nanti pada gatal-gatal kena serpihan kayu!" Gus Zam hanya tersenyum kecil.
Kang Leman pun memilah beberapa ukiran yang akan ia bawa ke bengkel kayunya. Sejak bekerja sama 3 hari yang lalu, mereka membuat kesepakatan Kang Leman akan membawakan kayu untuk diukir oleh Gus Zam. Sehingga Gus Zam akan menerima upah jasa ukir. Selain dari design yang diminta pembeli, Kang Leman membebaskan Gus Zam dalam mengukir. Seperti sekarang ini, Gus Zam sedang mengukir kaligrafi berukuran 100cm x 50 cm karena belum ada permintaan.
"Gus, saya bawa yang ini. Pembayaran seperti biasa akan saya transfer." kata Kang Leman menunjuk beberapa ukiran relief lama Gus Zam yang telah disusun di kotak kardus.
"Apakah yang Kang Leman bawa 2 hari yang lalu sudah laku?"
"Sudah. Bukankah uangnya sudah saya transfer?"
"Bukan masalah uangnya, saya kira belum laku."
"Disini tukang ukir itu sedikit sekali, Gus. Jadi kalau ada ukiran model Gus Zam ini, pasti lakunya!"
"Alhamdulillah.."
Kang Leman pun pamit dan Gus Zam kembali dengan ukirannya. Sebelum itu, Gus Zam menyempatkan mengabari Hanung jika ukirannya sudah banyak yang terjual.
Humaira ku: Alhamdulillah.. Senang dengarnya. Tapi jangan memaksakan diri ya, Mas.
Mas Zam: Tidak memaksakan diri. Justru aku merasa tenang saat mengukir.
Humaira ku: (emoji tersenyum dengan tangan memeluk)
Hanung tersenyum sendiri melihat balasannya. Ia sudah sangat merindukan Gus Zam. Ternyata setelah berjauhan, ia menyadari perasaannya terhadap Gus Zam. Bukan obligasi sebagai seorang istri, melainkan cinta pertamanya. Setelah menyadarinya, Hanung menjadi lebih semangat menjalani harinya yang berat. Dengan harapan semuanya akan segera berakhir.
Hari sudah malam, tetapi Hanung belum menyelesaikan cuciannya. Ia pun merendam sisa pakaian dan masuk kedalam kamar untuk istirahat.
"Kenapa lama sekali mengangkatnya?" tanya Gus Zam gusar.
"Maaf, Mas. Hanung mencuci pakaian tadi."
"Bukannya kemarin sudah mencuci?"
"Hanung hanya bawa beberapa setel saja, Mas. Jadi tiap hari nyucinya." alasan Hanung.
"Kenapa tidak beli lagi saja?"
"Hanung belum sempat kemana-mana, Mas. Nanti ya?"
"Kasurnya terlalu besar." keluh Gus Zam yang sedang memperlihatkan tempat tidur mereka.
"Sama, Mas. Disini juga. Andaikan ada Mas Zam disini, pasti pas untuk kita berdua." Hanung tersenyum menggoda.
"Apa kamu benar mengharapkan aku kesana?"
"Tentu saja! Tetapi Hanung tidak memaksa. Mas juga jangan memaksakan diri, biar Hanung yang mendatangi Mas nanti!" suara Hanung mulai melemah.
"Aku menyayangimu, Hanung. Mimpi indah Humairaku." kata Gus Zam saat melihat Hanung telah menutup mata.
Setelah puas menatap wajah Hanung, Gus Zam memutuskan panggilan. Sudah 3 hari ini, durasi telepon malam mereka hanya singkat karena Hanung pasti terlelap. Gus Zam semakin ingin segera stabil agar bisa menjemput istrinya. Ia tak tega melihat Hanung susah payah bekerja dan kelelahan.
Gus Zam pun meletakkan ponselnya di nakas dan beranjak mengambil wudhu. Sholat sunah sebelum tidur kini menjadi kebiasaan Gus Zam untuk mendoakan kebaikan Hanung.
"Adib.." panggil Bu Nyai didepan kamar.
"Kenapa Umi?" Gus Zam membukakan pintu.
"Bagaimana kabar Hanung?"
"Baik, Umi."
"Kenapa hanya mengirim pesan sesekali ke Jam?"
"Hanung.. Hanung bekerja menggantikan karyawan Ibunya yang keluar, Umi." jawab Gus Zam jujur.
"Astagfirullah.. Tega sekali Surati menyuruh anaknya bekerja!"
"Sampai ada karyawan baru saja, Umi."
"Tidak ada yang bisa menjaminnya, Nak! Mencari karyawan kalau atasannya bagus itu cepat. Beda cerita kalau sifatnya seperti Surati. Sudah pasti akan lama dapat karyawannya." Bu Nyai tidak Terima.
"Kita tidak bisa apa-apa juga, Umi." kata Gus Zam lemah.
Bu Nyai mengangguk. Mereka memang tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Mereka hanya bisa percaya dengan Hanung dan mendoakan yang terbaik.