NovelToon NovelToon
Om, Kawin Yuk!

Om, Kawin Yuk!

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Psikopat itu cintaku
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: YPS

Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.

Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.

"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.

Cegil satu ini nggak bisa di lawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6

Renzo duduk di kursi belakang, menatap Johan dari punggungnya. Sakit yang melanda kepalanya kini perlahan hilang, dan dia merasa hari pertamanya bersama Luna gagal. Dia meninggalkan kecurigaan pada Luna.

"Kenapa kamu tiba-tiba muncul tadi, Johan? Aku tidak menghubungimu untuk menjemputku," tanya Renzo dengan nada dingin.

"Tuan Adrian menyuruh saya, katanya beliau khawatir takut tiba-tiba Anda kelelahan, Tuan. Maaf," jawab Johan, yang duduk di kursi pengemudi, menoleh sebentar ke kaca spion sebelum menjawab.

"Aku baik-baik saja. Kalau aku perlu bantuan, aku akan memanggilmu. Tidak perlu bergerak tanpa perintahku." nada Renzo terdengar penuh perintah, tetapi Johan tetap tenang.

"Saya hanya menjalankan perintah, Tuan. Lagi pula, saya pikir lebih baik memastikan Anda pulang dengan aman."

Renzo mendengus kecil. "Pulang dengan aman," katanya dengan nada mengejek.

"Apa Papa juga menyuruhmu untuk mengawasi aku sepanjang waktu? Seperti aku ini anak kecil yang tidak bisa menjaga diri sendiri."

Johan tidak langsung menjawab. Dia menunggu beberapa detik sebelum akhirnya berkata dengan nada datar.

"Tuan Adrian hanya menginginkan yang terbaik untuk Anda, Tuan Renzo. Tidak lebih dari itu."

Renzo menggeleng pelan, senyumnya samar, tetapi lebih mencerminkan rasa jengkel daripada kebahagiaan.

.

Terra Mansion

Langkah Renzo bergema di sepanjang koridor mansion yang sunyi. Tubuhnya terasa letih, tetapi pikirannya terlalu gelisah untuk membiarkannya istirahat.

Dia melihat papanya sedang duduk di depan ruang keluarga menonton televisi.

"Kenapa Papa menyuruh Johan menjemputku tadi? Aku tidak minta bantuan." Nada suara Renzo tegas, hampir seperti menantang.

Adrian tidak langsung menjawab. Dia hanya meletakkan gelas anggurnya perlahan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Papa khawatir, Renzo. Papa tidak pernah lagi melihat kamu pergi keluar dengan seseorang, apalagi gadis seperti Luna"

Renzo terkekeh sarkastik, langkahnya mendekati sofa yang di duduki papanya.

"Kamu tahu maksud Papa, Renzo. Luna adalah putri Raihan, rekan kerjaku sekaligus sahabat lamaku. Jika kamu benar-benar ingin dekat dengannya, kamu harus serius. Jangan mempermainkan perasaan gadis itu."

"Papa pikir aku mempermainkannya?"

Adrian mendekat, tatapannya menusuk langsung ke mata Renzo. "Papa tahu kamu melebihi dirimu sendiri, Ren. Jangan biarkan hal itu merusak masa depanmu, merusak Luna gadis baik yang menaruh harapannya padamu!"

"Diam!! Aku tidak akan menyakiti dia, aku berbeda denganmu, Sialan!" teriak Renzo

Tangan Renzo meraih leher Adrian, dia mencekiknya sangat keras. Adrian menatap lekat pada mata Renzo yang memancarkan kebencian. Dia sama sekali tidak membalas apa yang di lakukan anaknya.

Tapi tiba-tiba dari belakang Maharani datang membawa jarum suntik dan segera menyuntikkannya di lengan Renzo, hanya dalam hitungan detik Renzo sudah tergeletak.

.

"Papa tidak apa-apa?" tanya Maharani khawatir.

"Sudah kuduga akan seperti ini, Luna membuat sifat tempramen Renzo muncul kembali." ucap Adrian sambil memegangi lehernya yang terluka.

"Bukan salah Luna, kita memang harus menghadapi ini cepat atau lambat. Dengan Luna atau bukan semua ini akan terjadi, Pa." isak tangis Maharani memandang anaknya yang pingsan karena obat penenang yang ia berikan.

Johan dan satu pengawal lainnya mengangkat Renzo untuk di tidurkan di kamarnya.

Setelah mengobati luka Adrian, Maharani masuk ke dalam kamar Renzo yang serba hitam. Kamar yang sangat rapi dan bersih.

Dia memandang bingkai foto kecil yang ada di atas meja, fotonya dan Renzo tanpa Adrian.

"Maafkan Mama, Nak. Gara-gara Mama ceroboh kamu harus mengalami semua ini." Maharani mendaratkan kecupan hangat untuk anaknya.

.

.

Hari pertama setelah kencan mereka, Luna terus-menerus memeriksa ponselnya. Setiap notifikasi yang muncul membuat jantungnya berdebar, berharap ada pesan dari Renzo. Namun, layar ponselnya tetap kosong dari namanya.

Di kantor, Luna mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan, tetapi pikirannya terus kembali pada pria dingin itu.

"Apa dia baik-baik saja setelah kejadian kemarin? Dia sama sekali tidak mengirimiku kabar," batin Luna yang sudah menunggu seharian.

Ketika hari mulai berganti menjadi malam, dan masih tidak ada kabar, Luna mulai diliputi rasa gelisah, dia berjalan ke kanan dan kiri seluruh sisi kamarnya seraya memegangi ponsel.

"Sepulang kerja besok, aku harus mendatanginya. Aku harus tahu keadaan pacar gantengku itu, aku sudah mengetikkan nomor ponselku tapi dia tak kunjung memberiku kabar," gumamnya.

.

Malam bergulir lagi, menyambut pagi yang dingin. Sudah dua hari berlalu sejak pertemuan mereka, namun Renzo belum juga menghubungi Luna. Ponselnya tetap sunyi, seolah waktu berhenti bersama harapannya.

Di meja makan yang bergaya modern minimalis, Luna dan seluruh keluarganya menyantap sarapan bersama.

"Muka di tekuk terus, heran deh!" cibir Raihan menatap anak kesayangannya.

"Biasa, Pa. Anak muda galau ya gitu," timpal Difan. Dewi hanya tersenyum melihat candaan mereka.

"Kalian tuh nggak ngerasain, dua hari nggak di kasih kabar!" jawab Luna menopangkan kepalanya di tangan.

Dewi meletakkan cangkir tehnya perlahan, tatapannya lembut tertuju pada Luna. "Mungkin Renzo sedang sibuk, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Laki-laki kadang begitu, fokus sama urusan mereka."

"Tapi tetap nggak sopan, kan? Dia bilang mau jalanin hubungan sama aku, tapi ngilang gitu aja," gerutu Luna, matanya masih menatap piring di depannya tanpa nafsu makan.

Raihan membersihkan mulutnya dengan serbet, kemudian berbicara dengan nada lebih serius. "Luna, Papa cuma ingin mengingatkan. Jangan terburu-buru menaruh hati terlalu dalam. Renzo itu, meskipun kelihatannya baik, tapi Papa merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan."

Luna mendongak, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Maksud Papa apa? Sesuatu yang disembunyikan bagaimana?"

Raihan menghela napas panjang, seakan menimbang kata-kata yang akan diucapkan. "Dia anak yang pintar dan berbakat, tapi sikap dinginnya itu seperti tembok. Papa melihatnya seperti... ada beban berat yang dia pikul tapi tidak pernah diceritakan ke siapa pun."

Difan tertawa kecil. "Wah, drama banget ini. Papa jadi kayak detektif aja!"

"Iya aneh banget ya." mereka tertawa bersama. Luna tak menganggap serius ucapan

"Sudah ah, aku mau ke kantor absen terus pergi ke rumah Renzo." Luna beranjak dari kursi makan dan mengecup pipi mama papanya sebelum meninggalkan rumah.

"Dasar cegil!!" teriak Difan saat Luna menyentil telinga adiknya.

.

.

Langkah kakinya menuju ruang kerja terasa berat. Pandangannya kosong, pikirannya terus tertuju pada Renzo, dia yakin pasti terjadi sesuatu.

Setibanya di kantor, Luna langsung menuju mesin absen di lobi utama.

Bip.

Nama dan wajahnya terpampang di layar kecil itu. Namun, dia sama sekali tidak merasa ada di tempat itu. Kakinya bergerak otomatis menuju ruangannya. Duduk di kursi kepala divisi penjualan yang biasanya membuatnya semangat, hari ini tidak.

Bebeapa jam berlalu, tapi fokusnya tak kunjung kembali. Tumpukan laporan di mejanya tetap utuh. Luna melirik jam dinding—sudah hampir siang. Dengan napas panjang, ia memutuskan sesuatu.

"Ini nggak bisa nih terus begini," gumamnya.

Luna bangkit, mengambil tas dan keluar dari ruangan tanpa banyak bicara.

"Mau kemana?" teriak Desi teman dekatnya.

"Ketemu klient!" sahut Luna dengan cepat.

"Dasar gil4 kerja!" teriak Desi lagi yang tidak tahu alasan sebenarnya Luna meninggalkan kantor.

1
Damar
Keren thor. Aku ngikutin semua novelnya. Sukses selalu
Safura Adhara
bagus menarik cukup bikin penasaran
Safura Adhara
bagus bikin penasaran
Semara Pilu: Aaaa terima kasih, Kak. Semoga lanjut sampai tamat nanti ya 🫶🏻
total 1 replies
Damar
Mantap thor. Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!