NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:545
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 - RIKO FERNANDEZ

Riko Fernandez adalah pria berusia 27 tahun dengan tubuh atletis yang terlatih dari tahun-tahun di dunia pertarungan bawah tanah dan MMA profesional. Rambutnya hitam, selalu tampak berantakan, seolah mencerminkan hidupnya yang penuh ketidakpastian. Matanya tajam dan penuh rahasia, seolah selalu menimbang setiap situasi dengan hati-hati sebelum bertindak. Luka-luka bekas pertarungan menghiasi tubuhnya—beberapa dari lawan di atas ring, beberapa dari pertarungan yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Sebagai sahabat dan rival Zaine, Riko adalah satu-satunya orang yang bisa berdiri sejajar dengannya dalam pertarungan. Namun, tidak seperti Zaine yang bertarung dengan semangat membara, Riko lebih dingin dan kalkulatif, selalu memiliki rencana cadangan untuk setiap situasi. Dia bukan hanya petarung yang hebat, tetapi juga orang yang paham bagaimana dunia gelap bekerja—siapa yang menarik tali di balik layar, dan bagaimana cara bertahan hidup di dalamnya.

Setelah kematian Zaine, Riko menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu apakah dia melarikan diri karena sesuatu yang ia ketahui atau karena ia sedang mencari kebenaran. Satu hal yang pasti, jika ada seseorang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Zaine dalam pertarungan terakhirnya, itu adalah Riko.

Orang-orang yang pernah mengenalnya berkata bahwa dia seperti bayangan—kadang muncul tanpa peringatan, kadang menghilang seperti asap. Beberapa mengatakan bahwa dia masih bertarung di bawah nama lain, sementara yang lain percaya dia sedang memburu seseorang. Namun, jika ada seseorang yang mencoba mencarinya, mereka hanya akan menemukan jejak yang membingungkan dan sebuah pesan tersirat: Jangan ikut campur dalam urusan ini.

Revan menghela napas, merasakan detak jantungnya yang masih cepat. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bukan karena kelelahan, tetapi karena firasat buruk yang semakin kuat dalam benaknya.

Dia tahu bahwa pertarungan ini baru saja dimulai.

Tanpa menunggu lebih lama, Revan bergegas kembali ke tempat latihan. Begitu ia masuk, Riko sudah menunggunya, duduk di atas meja kayu dengan sebatang rokok yang belum dinyalakan di antara jarinya. Tatapan pria itu langsung menajam begitu melihat Revan.

"Lo ketemu mereka, kan?"

Revan mengangguk. "Dua orang. Kuat, tapi mereka nggak berniat membunuh gue. Mereka mungkin menguji sesuatu... seperti sedang memastikan sesuatu tentang gue."

Riko mendesah, meletakkan rokoknya ke atas meja. "Itu berarti mereka sudah mulai bergerak."

Revan mengerutkan kening. "Siapa mereka, Riko? Dan siapa bos yang mereka bicarakan?"

Riko terdiam sesaat, lalu menatap Revan dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Ada organisasi di balik pertarungan bawah tanah ini. Mereka bukan sekadar bandar taruhan atau mafia biasa. Mereka adalah orang-orang yang menentukan siapa yang menang, siapa yang kalah… dan siapa yang harus mati di atas ring."

Revan merasakan darahnya berdesir. "Lo bilang mereka yang menentukan siapa yang mati…" Dia menatap Riko tajam. "Apa mereka yang membunuh Zaine?"

Riko mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. "Gue gatau pasti. Tapi gue punya alasan kuat untuk mencurigai mereka."

Revan mengepalkan tinjunya. "Kalo gitu, gue harus nemuin mereka."

Riko tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. "Dasar bocah, lo bahkan ga siap menghadapi mereka. Mereka mengincar lo karena satu alasan—karena lo pewaris teknik Zaine. Dan jika mereka tertarik pada lo, itu artinya mereka punya rencana besar."

Revan menatap lurus ke arah Riko. "Kalo gitu, ajari gue lebih banyak. Gue ga akan kabur dari sini."

Riko mengamati Revan sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Lo emang keras kepala kayak dia, batu."

Dia berdiri, meraih jaketnya. "Baiklah, kalo lo pengen bertarung, kita pastikan lo nggak akan mati dengan mudah. Besok kita mulai latihan yang sebenarnya."

Revan mengangguk. Api di dalam dirinya semakin membara. Apapun yang terjadi, dia akan mencari tahu kebenaran di balik kematian Zaine. Dan dia tidak akan berhenti sampai orang-orang di balik layar itu menerima ganjarannya.

...***...

Matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika Revan tiba di tempat latihan. Namun, Riko sudah menunggunya. Pria itu berdiri dengan tangan disilangkan di dada, tatapannya tajam seperti biasa.

"Hari ini kita nggak hanya berlatih teknik," kata Riko. "Kita akan melatih naluri bertarungan lo,"

Revan mengernyit. "Bukannya itu yang sudah gue pelajari?"

Riko tersenyum miring. "Belum. Selama ini, lp masih berpikir terlalu banyak. Saat menghadapi lawan seperti mereka yang menemui kita semalam, berpikir itu berbahaya. Lo harus bereaksi, bukan menganalisis setiap gerakan mereka."

Tanpa peringatan, Riko bergerak.

DOR!

Sebuah pukulan lurus melesat ke wajah Revan. Refleks, Revan mengangkat tangannya untuk menangkis—tapi terlambat.

BRAK!

Pukulan itu menghantam dadanya, membuatnya terhuyung mundur. Nafasnya tersengal.

"Kalo lo masih seperti ini, lo nggak akan bertahan lima detik di depan mereka." Riko menggeleng pelan. "Lagi."

Revan menggeram, mengambil kuda-kuda. Kali ini, dia lebih waspada.

Riko bergerak lagi, lebih cepat dari sebelumnya. Pukulan meluncur ke arah perutnya—dan kali ini, Revan berhasil menghindar. Dia berusaha membalas dengan tendangan, tapi—

DUG!

Sebuah serangan siku mendarat di pundaknya, membuatnya terjatuh ke tanah.

"Sialan!" Revan mengumpat, mengusap bahunya yang sakit.

"Lo masih berpikir," kata Riko datar. "Kalo lo pengen bertahan, lo harus membiarkan tubuh lo bergerak sendiri. Reaksi. Bukan rencana."

Revan mengepalkan tinjunya. Dia tahu Riko benar. Mereka mengulanginya lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Selama berjam-jam, Revan dipaksa untuk merespons setiap serangan tanpa berpikir. Dia jatuh berkali-kali, tubuhnya penuh lebam. Tapi sedikit demi sedikit, sesuatu mulai berubah.

Dia mulai bergerak lebih cepat. Tangkisannya lebih efektif. Gerakannya lebih alami.

"Jangan pakai kepalamu. Pakai instingmu." kata Riko sambil menyerang Revan

Dan ketika Riko kembali menyerang—Revan tidak hanya menghindar. Dia membaca pergerakan Riko.

Seakan tubuhnya tahu apa yang akan terjadi sebelum itu terjadi.

Revan menunduk menghindari pukulan, lalu bergerak cepat ke samping. Dalam sekejap, sikunya sudah melesat ke arah Riko.

TAP!

Riko menghentikan gerakan itu dengan satu tangan sebelum tersenyum kecil. "Akhirnya."

Revan tersenyum puas, meski nafasnya masih berat.

Tapi sebelum mereka bisa melanjutkan, suara langkah kaki terdengar di luar.

Riko langsung menoleh, wajahnya berubah serius.

Revan ikut waspada. "Mereka lagi?"

Pintu tempat latihan terbuka, dan seseorang masuk.

Seorang pria dengan setelan hitam, wajahnya tajam, dan tatapan dingin seperti es.

Dia menatap langsung ke arah Revan.

"Revan," katanya pelan, suaranya dalam dan mengintimidasi.

"Kau dipanggil untuk bertemu bos."

Revan merasakan hawa dingin merayap di punggungnya.

Jawaban yang ia cari… akhirnya datang lebih cepat dari yang ia duga.

Ruangan itu sunyi.

Hanya suara napas Revan yang terdengar di antara ketegangan yang menggantung.

Pria berjas hitam itu berdiri di ambang pintu, ekspresinya tetap dingin. Riko melirik Revan sekilas sebelum berbalik menghadap pria itu.

"Gue nggak ingat memberikan lo izin masuk," kata Riko dengan nada datar, tapi ada ketegangan di balik suaranya.

Pria itu tidak gentar. "Ini bukan urusanmu, Fernandez."

Revan mengepalkan tinjunya. "Siapa bos lo?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Revan, seperti sedang menilainya. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia berkata:

"Kau akan tahu sendiri, jika kau ikut denganku."

Revan melirik Riko, mencari isyarat. Namun, wajah Riko tetap keras, sulit ditebak.

"Gue ga punya alasan untuk mengikuti seseorang yang ga akan gue kenal," kata Revan akhirnya.

Pria itu tersenyum kecil, seolah sudah mengantisipasi jawaban itu. "Kau memang seperti yang mereka katakan. Keras kepala."

Tiba-tiba, dia melangkah maju dengan cepat—terlalu cepat. Sebelum Revan sempat bereaksi, sebuah telapak tangan meluncur ke arahnya.

Revan berusaha menghindar, tapi—

DUG!

Perutnya dihantam keras. Udara seakan tersedot dari paru-parunya. Tubuhnya mundur beberapa langkah, matanya melebar karena terkejut. Itu bukan serangan biasa. Itu adalah teknik.

Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. "Jangan salah paham. Aku tidak di sini untuk bertarung."

Revan menggertakkan giginya, mencoba menahan rasa sakit di perutnya.

"Aku hanya ingin memastikan sesuatu," lanjut pria itu. "Dan sekarang aku sudah yakin."

Dia berbalik, berjalan ke arah pintu. "Bos memberimu waktu tiga hari. Jika kau tidak datang… maka kami yang akan datang mencarimu. Dan kali itu, kami tidak akan sekadar berbicara."

Dengan itu, dia menghilang ke dalam malam.

Ruangan itu kembali sunyi.

Revan masih berdiri diam, tangannya mengepal.

Riko berjalan mendekatinya. "Lo gapapa kan?"

Revan mengangkat wajahnya, matanya membara. "Tiga hari, ya?"

Dia menarik napas panjang, lalu menatap Riko.

"Kalo begitu, dalam tiga hari, gue harus siap."

...***...

Revan tahu dia tidak punya banyak waktu. Jika orang-orang itu benar-benar berbahaya seperti yang dikatakan Riko, maka dia harus berada dalam kondisi terbaik saat menemui mereka.

Malam itu juga, latihan dimulai.

Riko tidak menahan diri lagi. Jika sebelumnya dia masih memberi sedikit kelonggaran pada Revan, sekarang semuanya berubah.

Setiap serangan datang lebih cepat. Setiap gerakan harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan.

BRAK!

Revan terjatuh lagi. Keringat mengalir di dahinya. Napasnya berat.

"Dua detik terlalu lambat," kata Riko, berjalan mengelilinginya. "Dalam pertarungan sebenarnya, itu bisa membunuh lo."

Revan menggertakkan giginya. Dia bangkit lagi.

Riko menyerang—pukulan lurus ke arah wajahnya.

Revan menghindar, tapi Riko sudah memutar tubuh, sikunya melesat ke arah rahangnya.

Refleks, Revan mengangkat tangannya, menangkis.

TAP!

Untuk pertama kalinya, dia berhasil membaca gerakan Riko dengan sempurna.

Riko berhenti, tersenyum kecil. "Bagus."

Tapi sebelum Revan sempat merasa puas, sebuah tendangan menyapu kakinya.

DUK!

Dia jatuh lagi.

Riko menatapnya dari atas. "Jangan pernah puas terlalu cepat, dasar bocah."

Revan menggeram. Ia tahu Riko benar. Jika dia ingin bertahan dalam dunia ini, dia tidak bisa hanya sekadar ‘cukup baik’. Dia harus lebih dari itu.

Latihan berlanjut. Setiap gerakan semakin tajam. Setiap pukulan semakin kuat.

Di dalam pikirannya, suara Zaine kembali terdengar.

"Gausah berpikir untuk menang. Berpikirlah untuk bertahan. Jika lo bisa bertahan lebih lama dari lawan lo, kemenangan akan datang dengan sendirinya."

Revan mulai mengerti.

...***...

Di malam kedua, Riko membawa Revan ke sebuah tempat yang berbeda—arena pertarungan bawah tanah.

"Jika lo ingin tau bagaimana dunia ini bekerja, lo harus merasakannya sendiri," kata Riko.

Revan menatap arena kecil di depannya. Lampu-lampu redup. Asap rokok memenuhi udara. Orang-orang bersorak sambil bertaruh.

Dan di tengah ring, dua petarung sedang bertarung habis-habisan.

Darah berceceran di lantai. Tidak ada aturan. Tidak ada wasit.

Revan mengepalkan tinjunya.

"Masuk ke sana," kata Riko.

Revan menoleh. "Apa?"

"Lo butuh pengalaman nyata. Dan satu-satunya cara untuk itu…" Riko menepuk bahunya. "…adalah dengan bertarung."

Seolah semuanya sudah diatur sebelumnya, seseorang dari dalam ring mundur, terkapar tak sadarkan diri.

Seorang pria besar dengan tubuh penuh tato melangkah ke tengah. Matanya menatap Revan dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ada yang berani melawan?" suara penyelenggara terdengar.

Riko menyeringai. "Ini kesempatan lo."

Revan menarik napas dalam.

Jika dia ingin siap dalam tiga hari… maka dia harus menghadapi ini.

Tanpa ragu, dia melangkah maju.

Sorakan menggema di sekelilingnya.

Pertarungan sebenarnya baru saja dimulai

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
nasipadangenakjir: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
nasipadangenakjir: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!